Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 1
Langit pagi itu cerah, sinar matahari memantul di permukaan kap mobil sport hitam mengilap yang melaju angkuh di jalan protokol ibu kota. Di balik kemudi, duduk seorang pemuda tampan dengan kacamata hitam bermerk, senyum puas menghiasi wajahnya. Galih — lelaki berusia dua puluh lima tahun dengan rahang tegas dan tubuh atletis — menjalani hidup seperti yang hanya bisa diimpikan sebagian besar pria.
Hari ini bukanlah hari yang berbeda baginya. Setelah semalam menginap di penthouse salah satu ‘Tante’ langganannya, Galih kini menuju kampus untuk sekadar ‘menampakkan diri’ dan menjaga statusnya sebagai mahasiswa. Akademik bukan prioritas. Kehidupan glamor, pesta, dan wanita, itulah dunianya.
Mobilnya berhenti saat lampu merah menyala. Dia menguap malas, melirik ponselnya, membalas pesan dari seorang wanita paruh baya yang memintanya datang malam ini ke restoran bintang lima.
*BRAK!*
Tubuhnya sedikit terlempar ke depan. Galih refleks menginjak rem kuat-kuat, jantungnya berdegup kencang karena terkejut. Ia segera turun, wajahnya berubah kesal melihat bumper belakang mobilnya penyok cukup parah.
"Astaga...!" gumamnya.
Dari balik mobil sedan putih yang menabraknya, pintu terbuka, dan keluar seorang wanita muda. Rambut hitam tergerai indah, wajahnya bersih, dan tubuhnya dibalut gaun panjang berwarna biru pastel. Tidak mencolok, tapi justru memikat dalam kesederhanaannya.
Tatapan Galih terpaku. Dunia seakan berhenti berputar.
"Maaf ya," ucap gadis itu dengan nada panik namun tetap lembut. "Aku beneran nggak sengaja. Aku buru-buru banget, ada kelas penting. Tapi aku janji akan ganti rugi."
Galih masih diam. Ia merasa seperti baru saja ditampar kenyataan — bukan karena mobilnya rusak, tapi karena sosok gadis itu mengusik sesuatu yang selama ini ia matikan: rasa.
“Oh ya, mobil gue penyok. Lu mesti ganti rugi,” sahut Galih, suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Iya, aku ngerti. Tapi beneran aku nggak bisa lama. Ini kartu nama aku. Kalo ada apa-apa, hubungi aja, ya.”
Gadis itu menyerahkan kartu nama, lalu buru-buru kembali ke mobilnya dan pergi.
Galih menatap kartu nama itu.
Lauren Handoko.
Sudah seminggu berlalu sejak insiden di lampu merah. Tapi nama Lauren Handoko masih terpatri jelas di kepala Galih. Entah kenapa, sejak hari itu, wanita-wanita yang biasanya membuat hidupnya begitu bergairah justru terasa membosankan.
Senyum tante-tante yang biasanya memikat, kini terlihat palsu. Pelukan hangat mereka kini terasa dingin. Bahkan mobil mewah yang biasa dia banggakan kini seperti tak lagi mampu mengangkat egonya.
Galih, lelaki yang tak percaya cinta, kini duduk termenung di balkon apartemennya dengan secangkir kopi hitam yang mulai dingin. Di meja, kartu nama Lauren tergeletak. Berkali-kali ia hampir membuangnya, tapi selalu ragu di detik terakhir.
Hingga akhirnya…
Ia meraih ponselnya, membuka aplikasi pesan, lalu mulai mengetik:
Hai, ini gue Galih, yang mobilnya ditabrak minggu lalu.
Gue cuma mau pastikan lo serius soal ganti rugi. Bisa ketemu?
Ia ragu beberapa detik, lalu menekan tombol kirim.
Belum ada lima menit, balasan masuk.
Hai Galih. Ya, tentu. Aku juga ngerasa nggak enak dari kemarin.
Gimana kalau ketemu di kafe dekat kampus? Sore ini?
Galih menatap layar. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang bahkan dia sendiri tidak sadari.
Sore di Kafe Lantai Dua
Kafe itu tidak mewah. Interiornya sederhana, dengan aroma kopi dan kayu manis yang mengambang di udara. Bukan tempat yang biasa Galih datangi. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa... nyaman.
Saat ia masuk, Lauren sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan sweater abu-abu dan jeans. Rambutnya digerai seadanya. Tidak ber-make up. Namun justru itulah yang membuat Galih terpana. Cantiknya tidak dibuat-buat.
“Maaf aku telat,” ucap Galih sambil duduk di hadapannya.
“Nggak apa-apa. Aku juga baru datang,” jawab Lauren sambil tersenyum sopan.
Galih memandangi wajah itu. Ada ketulusan di balik matanya. Bukan seperti wanita-wanita yang biasanya dia temui—yang pandai bermain peran, pandai menggoda, tapi tidak pernah benar-benar jujur.
“Gue udah bawa estimasi biaya bengkel,” kata Galih, menyerahkan selembar kertas.
Lauren mengambilnya, membaca cepat, lalu mengangguk. “Oke, aku akan transfer malam ini. Tapi... boleh aku minta tolong satu hal?”
Galih mengangkat alis. “Apa?”
Lauren menatapnya sejenak. “Jangan sebut-sebut soal ini ke siapa pun di kampus. Aku cuma nggak mau bikin orang ribut. Aku cukup jaga nama baik.”
Galih tersenyum miring. “Lo anak dosen atau anak pejabat?”
Lauren tertawa kecil. “Nggak. Anak orang biasa. Tapi aku kuliah dari beasiswa, dan banyak mata yang suka ngawasin. Satu kesalahan bisa jadi bumerang.”
Galih mendengarkan dengan seksama. Biasanya ia bosan mendengar cerita hidup orang. Tapi kali ini... ia tertarik.
“Apa lo selalu seserius ini?” tanya Galih, setengah menggoda.
Lauren tersenyum tipis. “Nggak juga. Tapi hidup nggak selalu bisa dijalani santai kalau lo nggak punya privilege, kan?”
Ucapan itu menampar Galih.
Ia terdiam. Tidak tahu harus membalas apa.
---
Malamnya…
Di kamar, Galih membuka laptop. Ia hendak menonton film, tapi pikirannya kacau. Ia membuka akun bank—transfer dari Lauren Handoko sudah masuk. Dia benar-benar menepati janjinya.
Bukan hanya soal uang. Tapi kejujuran, tanggung jawab, dan keteguhan dalam wajah muda itu... membuat Galih merasa kecil.
Selama ini, dia selalu mengira dunia bisa dibeli. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia bertemu seseorang yang membuatnya ingin dikenal, bukan dipuja.
Dan di saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupnya, Galih merasa… kosong.