Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Pada dini hari yang dingin, wilayah Mengwi diselimuti oleh ketegangan yang mencekam. Udara yang menusuk tulang seakan membekukan setiap napas, sementara kabut tebal menyelimuti tanah seperti selimut kematian.
Dari tujuh lumbung pangan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Mengwi, lima di antaranya telah dijarah oleh sekelompok orang tak dikenal. Para penjaga yang bertugas ditemukan tewas. Tubuh mereka tertusuk tombak dengan luka yang mengisyaratkan perlawanan sengit sebelum ajal menjemput.
Namun, nasib para penjarah tak berlangsung lama. Sebelum mereka sempat melarikan diri dari wilayah Mengwi, pasukan Badung telah mengepung mereka dengan cepat. Pertempuran pun pecah, tak terelakkan. Denting senjata tajam yang saling beradu menggema di keheningan malam, memecah kesunyian yang sebelumnya hanya diisi oleh deru angin dingin. Jerit kesakitan dan teriakan perang yang memenuhi udara menciptakan simfoni chaos yang mencekam.
Meskipun pasukan Badung unggul dalam jumlah, pertempuran tidak berjalan mudah. Bukan karena kekuatan para penjarah yang luar biasa, melainkan karena pasukan Badung sengaja menahan diri. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk tidak membunuh para penjarah, meskipun nyawa mereka sendiri terancam.
Ini adalah pengaruh dari pemimpin mereka, I Gusti Ngurah Aryandra Yudistira, seorang pemuda keturunan Raja Badung yang memegang teguh prinsip-prinsip ajaran Hindu. Di usianya yang masih muda, Aryandra telah menjadi sosok yang dihormati, bukan hanya karena garis keturunannya, tetapi juga karena kebijaksanaan dan integritasnya.
Saat ini, Aryandra juga ikut berada di tengah medan pertempuran. Matanya yang tajam memantau setiap gerakan musuhnya. Tubuhnya yang ramping terlihat gesit menghindari serangan, sementara tangannya yang terampil mengayunkan senjata dengan gerakan indah namun melumpuhkan.
Setelah pertarungan sengit yang menguras tenaga, pasukan Badung akhirnya berhasil melumpuhkan dan menangkap puluhan penjarah tanpa menyebabkan luka fatal. Para penjarah itu diikat dan dikumpulkan di tengah kerumunan pasukan Badung. Wajah mereka dipenuhi ketakutan dan keputusasaan.
Aryandra, dengan napas terengah-engah, memutuskan untuk duduk di atas kereta para penjarah yang penuh dengan kentang hasil rampasan. Seluruh bahan makanan yang ada di kereta itu adalah milik masyarakat Mengwi dan tentunya harus dikembalikan lagi pada mereka.
"Syukurlah mereka berhasil kami tangkap." Ujarnya pelan sambil menatap langit yang gelap. Bulan purnama yang seharusnya menerangi malam, kini bersembunyi di balik awan debu seolah enggan menyaksikan kekacauan di bawahnya.
Tak lama kemudian, sebuah langkah berat mendekat. Itu adalah Alex, sahabat sekaligus prajurit terkuat milik Aryandra yang muncul dari balik kerumunan. Tubuhnya tinggi kekar dengan wajah blasteran Indonesia-Kanada. Ia membawa sebuah keris dengan ukiran sederhana di gagangnya, namun penuh dengan bentuk-bentuk yang khas.
"Aryandra." Panggil Alex dengan suara berat.
Aryandra menoleh. "Ada apa, Alex?"
Alex mengulurkan keris itu ke arahnya. Aryandra mengambilnya dengan hati-hati, memeriksa setiap detail ukiran di gagangnya. Ia mengenali seni ukiran itu dengan sekejap. "Ini keris khas Tabanan," ujarnya pelan namun penuh keheranan. "Lihatlah ukiran di gagangnya. Ini pasti buatan tangan pengrajin Tabanan."
Alex mengerutkan kening, lalu mengalihkan pandangannya ke arah para penjarah yang terikat. "Jadi, mereka berasal dari Tabanan? Tapi kenapa? Tabanan adalah wilayah yang punya banyak pasokan makanan. Mereka nggak pernah kekurangan."
Aryandra mengangguk pelan dan matanya mulai menerawang. "Itulah yang membuatku curiga. Pasti ada sesuatu yang terjadi di Tabanan. Sesuatu yang buruk." Ia menatap para penjarah dengan penuh observasi, seolah mencoba membaca pikiran mereka. "Sepertinya, kita harus segera menginterogasi mereka untuk mendapatkan informasi sekarang juga."
Alex mengangguk dengan wajah tegas. "Baiklah, aku akan menunjuk beberapa prajurit untuk menginterogasi mereka."
...***...
Atas apa yang terjadi, Aryandra memutuskan untuk mengadakan rapat darurat dengan para tetua Mengwi. Mereka berada di ruangan rapat yang dihiasi oleh dinding kayu berukir tradisional, dilengkapi dengan lampu minyak yang memancarkan cahaya hangat di setiap sudut.
Tujuh tetua Mengwi, masing-masing dengan wajah yang dipenuhi kerutan kebijaksanaan, duduk di sekitar meja besar berbentuk huruf U. Aryandra dan Alex berada di tengah-tengah untuk memimpin rapat yang akan membahas permasalahan yang sedang dialami oleh wilayah Tabanan.
Alex, dengan postur tegap dan suara yang penuh wibawa, memulai rapat. "Om Swastyastu," sambutnya, sambil menatap satu per satu tetua yang hadir. "Terima kasih telah menyempatkan diri untuk hadir dalam rapat ini. Kita semua tahu bahwa dini hari tadi, wilayah kita diguncang oleh peristiwa tak terduga. Maka dari itu, Aryandra akan menjelaskan lebih detail mengenai apa yang sebenarnya terjadi."
Aryandra berdiri dengan senyuman wajah yang menenangkan. "Terima kasih, Alex," ujarnya, sambil mengangguk hormat kepada para tetua. "Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan, para penjarah yang menyerang lumbung kita berasal dari Tabanan, tepatnya dari Kecamatan Kediri."
Ia mengangkat keris dengan ukiran khas Tabanan yang ditemukan di medan pertempuran. Para tetua, dengan mata yang tajam, langsung mengenali seni ukiran itu. Mereka mengangguk pelan sebagai tanda bahwa mereka mengertahui dari mana keris itu berasal.
"Setelah interogasi mendalam," lanjut Aryandra, "kami menemukan bahwa Tabanan sedang dilanda krisis. Hasil panen mereka menurun drastis, tetapi pemerintah setempat memaksa rakyatnya untuk menyerahkan bahan makanan kepada Pasukan Keamanan Tabanan. Akibatnya, rakyat mereka menjadi kekurangan pasokan makanan."
Ia berhenti sejenak, memastikan setiap kata yang diucapkannya terserap dengan baik. "Yang lebih parah, Pasukan Keamanan Tabanan tidak puas dengan apa yang diberikan. Mereka bahkan menjarah rakyatnya sendiri. Kondisi inilah yang mendorong orang-orang Tabanan untuk nekat menyerang wilayah kita."
Ruangan rapat mendadak riuh oleh bisikan para tetua. Wajah-wajah mereka dipenuhi keheranan bercampur sedikit kemarahan. "Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?" Tanya salah seorang tetua dengan suara gemetar. "Apakah mereka sedang dalam perang? Atau ada alasan lain?" Tanya tetua lainnya.
Aryandra menghela napas. "Mereka sempat terlibat konflik dengan penjarah dari Jembrana, tetapi itu terjadi pada tahun kedua musim dingin. Saat ini, bisa disimpulkan bahwa keserakahan mereka lah yang memicu semua ini."
Ekspresi para tetua berubah menjadi semakin heran mendengar jawaban Aryandra. "Kejam sekali, ya. Lalu, apa rencanamu untuk mengatasi ini?" Tanya seorang tetua lain penuh simpati.
Aryandra berdiri tegak dengan mata berbinar untuk mengusulkan idenya. "Aku akan menemui pemimpin Tabanan untuk membuat perjanjian dengan meminjamkan 500 prajurit kita. Sebagai timbal baliknya, mereka harus memperlakukan rakyatnya dengan baik, karena dengan pinjaman pasukan itu, tidak ada alasan lagi untuk menuntut makanan berlebihan dari rakyat."
Suasana ruangan menjadi sedikit tegang. "Meminjamkan pasukan kita ke Tabanan?" Protes salah seorang tetua dipenuhi keraguan. "Bukankah kita masih berperang dengan Karangasem? Ini pasti akan membebani kita!"
Aryandra mengangguk, memahami kekhawatiran tetua itu. "Tenang, hanya 500 orang saja." Ujarnya dengan suara yang menenangkan. "Selain itu, poin utama perjanjian ini adalah ancaman. Jika Tabanan berani melanggar, mereka harus siap berperang melawan Aliansi Badung, Gianyar, dan Bangli." Ucapnya mencoba meyakinkan para tetua.
"Karangasem juga sedang tidak menunjukkan aktivitas apa pun setelah kekalahan terakhir mereka. Jadi, aku rasa tidak masalah jika meluangkan sedikit waktu dan pasukan untuk membuat perjanjian ini demi kesejahteraan rakyat kita juga." Tambah Alex membantu Aryandra.
Para tetua saling memandang, lalu mengangguk pelan. Ekspresi puas dan lega mulai terlihat di beberapa wajah mereka. "Baiklah, kami percaya padamu, Aryandra." Ujar seorang tetua penuh kepercayaan. "Lakukan saja apa yang harus kau lakukan untuk melindungi rakyat kita."
Aryandra tersenyum kecil dengan rasa syukur terpancar dari matanya. "Terima kasih atas kepercayaan kalian. Aku akan memastikan bahwa keputusan ini membawa kebaikan bagi kita semua."
...***...
Keesokan harinya, Aryandra dan rombongannya berangkat menuju Tabanan. Dari 1.000 pasukan Badung yang dibawa, separuh diantaranya akan dipinjamkan kepada Tabanan jika perjanjian disetujui. Mereka semua berpenampilan gagah dan bersenjata lengkap.
Pagi itu, langit masih gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup bintang-bintang yang tersisa. Udara dingin menusuk tulang, tetapi tekad Aryandra dan pasukannya untuk menyelesaikan masalah ini tak tergoyahkan. Mereka bergerak dengan langkah yang bergemuruh, menyusuri jalan menuju Kota Tabanan melalui Kecamatan Kediri.
Sepanjang perjalanan, Aryandra mengamati keadaan Tabanan dengan hati yang berat. Wilayah yang seharusnya makmur, malah terlihat suram. Penduduknya tertekan dengan wajah-wajah dipenuhi keputusasaan. Banyak dari mereka terlihat kurus dan lesu, tanda bahwa kelaparan telah melanda. Aryandra merasa simpati, sehingga keinginannya menjadi semakin kuat untuk memperbaiki masalah ini.
Berbeda dengan Aryandra, Alex justru menjadi sangat waspada. Matanya yang tajam terus mengawasi sekeliling, seolah merasakan bahaya yang mengintai. "Aryandra," bisiknya, mendekati sang pemimpin yang sedang menunggang kuda. "Ada sesuatu yang tidak beres. Aku merasa kita sedang diawasi."
Aryandra mengangguk pelan, wajahnya tetap tenang meski hatinya ikut waspada. "Kalau begitu, beri sinyal pada pasukan untuk tetap siaga." Perintahnya dengan suara rendah dan tenang.
Alex segera mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Jari tengah dan telunjuknya disatukan sebagai sinyal bagi pasukan untuk meningkatkan kewaspadaan. Meski satu jam berlalu tanpa insiden, Alex tetap tidak menurunkan kewaspadaannya. Instingnya sebagai prajurit terkuat mengatakan bahwa bahaya masih mengintai.
Ketika matahari mulai menampakkan cahayanya, Aryandra memutuskan untuk menghentikan pasukannya sejenak. "Kita akan berhenti sejenak di sini untuk melaksanakan ibadah Tri Sandhya." Ujarnya kepada pasukannya.
Mereka berhenti di sebuah jalan besar yang sepi, dikelilingi oleh gedung-gedung dua lantai yang kosong. Suasana sunyi itu menciptakan atmosfer misterius yang membuat mereka semua semakin waspada.
Aryandra berdiri di depan pasukannya dengan wajah penuh ketenangan. "Baiklah, sebelum melaksanakan kewajiban kita sebagai umat Hindu, mohon letakkan senjata kalian di—" "AARGHHH!"
Sebelum Aryandra menyelesaikan kalimatnya, sebuah tombak melesat dari belakang dan menembus perut salah seorang prajuritnya. Prajurit itu terjatuh dengan darah mengalir deras dari lukanya. Aryandra berbalik dengan cepat, matanya membelalak melihat belasan tombak lainnya melambung di langit dan menghujam ke arah pasukannya.
"Lindungi diri!" Teriak Aryandra, sementara Alex dan beberapa prajuritnya segera membentuk formasi pelindung di sekelilingnya. Perisai kayu mereka diangkat tinggi, menahan serangan tombak yang berjatuhan. Dentingan tombak yang menghantam perisai kayu menggema di udara, menambah ketegangan yang sudah memuncak.
"Mereka menyerang dari atas gedung!" Seru Aryandra memperingatkan pasukannya. "Pemanah dan penembak, bidik ke arah atap gedung di kiri dan kanan kalian! Yang memegang perisai, lindungi mereka!"
Pasukan Badung bergerak dengan cepat dan teratur sesuai dengan komando. Pemanah dan penembak segera mengambil posisi membidik, sementara yang lain tetap memegang perisai untuk melindungi rekan-rekan mereka.
"Siapa kalian?! Keluarlah dan kami tidak akan menembak!" Teriak Alex menggelegar penuh amarah.
Akhirnya, puluhan tombak yang menghujani mereka pun berhenti. Meski begitu, tatapan tajam Aryandra tidak terlepas sedikitpun dari gedung-gedung di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, puluhan remaja dengan pakaian lusuh menampakkan diri dari balik atap gedung. Tubuh mereka kurus dengan wajah-wajah kelaparan dan penuh nafsu untuk mendapatkan makanan.
"Selamat datang di Kediri!" Sambut salah seorang remaja dengan suara lantang. "Tinggalkan gerobak-gerobak berisi makanan itu, lalu kalian diperbolehkan melanjutkan perjalanan!" Ancamnya kepada Pasukan Badung.
Ilustrasi Tokoh:
...I Gusti Ngurah Aryandra Yudistira...
...Alex the Tall...