Anand dan Shan, dua sepupu yang tumbuh bersama, tak pernah membayangkan bahwa hidup mereka akan berubah begitu drastis.
Anand dikhianati oleh kekasihnya—wanita yang selama ini ia cintai ternyata memilih menikah dengan ayahnya sendiri. Luka yang mendalam membuatnya menutup hati dan kehilangan arah.
Di sisi lain, Shan harus menelan kenyataan pahit saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Pengkhianatan itu membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.
Dalam kehancuran yang sama, Anand memutuskan untuk menikahi Shan.
Lantas apakah yang akan terjadi jika pernikahan tanpa cinta dilakukan? Akankah luka dapat disembuhkan dengan mereka menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 6
Mikha duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi cincin di jari manisnya. Cahaya lampu kamar yang temaram memantulkan kilauan halus dari permata kecil yang tertanam di sana. Hatinya terasa berat.
Kata-kata neneknya masih terngiang di telinganya. "Mau sampai kapan dirahasiakan dari Anand? Anand sangat mencintaimu dan menerima kamu apa adanya, jangan menghianatinya, jangan menipunya. Segera beritahu apa yang terjadi pada dirimu."
Mikha menggigit bibirnya, menahan gejolak dalam dadanya. Ia tahu neneknya benar. Anand bukan pria yang pantas dibohongi. Ia terlalu baik, terlalu tulus. Selama lima tahun ini, Anand tidak pernah sekalipun mempertanyakan masa lalunya. Tidak pernah bertanya mengapa Mikha tidak pernah membawanya bertemu keluarganya—karena memang ia selalu bilang tidak punya siapa-siapa selain neneknya.
Anand menerimanya begitu saja. Tanpa ragu, tanpa curiga.
Mikha menutup matanya. Ia ingin berkata jujur. Ia ingin menceritakan semuanya. Namun, ketakutan menguasai dirinya. Bagaimana jika Anand tidak bisa menerima kenyataan? Bagaimana jika setelah mengetahui kebenaran, Anand memutuskan pergi?
Ia tidak bisa kehilangan Anand.
Mikha menarik napas panjang dan menggeleng pelan. Tidak, ia tidak boleh berpikir seperti itu. Anand mencintainya. Ia sudah mengatakan ingin menikah dan membawanya jauh dari segalanya. Dari keluarganya, dari neneknya, dari masa lalunya.
Mikha meletakkan tangannya di perutnya, merasakan degup jantungnya yang tidak beraturan.
"Maafkan aku, Anand."
Malam itu, Mikha kembali tidur dengan kegelisahan yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
Di sisi lain, Anand tengah berada di rumahnya, duduk di sofa dengan tubuh bersandar santai. Ia tersenyum kecil saat mengingat wajah Mikha tadi. Gadis itu tampak bahagia saat pulang kerumah dan bertemu dengan neneknya.
"Kalau sudah menikah, aku akan ajak nenek nya Mikha untuk tinggal bersama kami"
Anand meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Ada banyak foto dirinya dan Mikha di sana. Beberapa foto saat mereka berkencan, saat ia diam-diam memotret Mikha yang sedang tertawa, bahkan ada foto mereka berdua saat liburan ke luar kota.
Tidak peduli berapa kali ia melihat foto-foto itu, hatinya selalu terasa hangat.
Ia benar-benar mencintai Mikha.
Dan sebentar lagi, Mikha akan menjadi istrinya.
Sambil tersenyum, Anand mengetik pesan untuk Mikha.
Anand: "Sayangg?"
Beberapa menit berlalu, namun tidak ada balasan. Biasanya, Mikha langsung menjawab atau setidaknya membalas dengan emoji.
Mungkin dia sudah tidur, pikir Anand.
Tanpa pikir panjang, Anand pun memutuskan untuk beristirahat. Ia tidak tahu bahwa di tempat lain, gadis yang sangat ia cintai sedang bergulat dengan ketakutan terbesarnya.
Mikha membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi oleh kecemasan dan ketakutan.
Ia menghela napas dalam-dalam dan duduk di tepi ranjang, menggenggam cincin di jari manisnya. Cincin dari Anand.
Hari ini ia harus kembali bekerja di sekolah. Ia harus mengajar, tersenyum di depan anak-anak, seolah tidak ada beban yang ia pikul. Seolah hidupnya baik-baik saja.
Mikha bangkit dan bersiap. Setelah berpakaian rapi dengan setelan sederhana yang nyaman, ia keluar kamar dan menemukan neneknya sudah duduk di ruang tamu, menyesap teh hangat.
"Kau terlihat lelah," ujar neneknya sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Mikha tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, Nek."
"Jangan membohongiku, Mikha. Aku ini nenekmu."
Mikha terdiam. Ia tahu neneknya tidak mudah dibodohi.
Nenek meletakkan cangkir tehnya dan menatapnya lekat-lekat. "Kau masih takut untuk memberitahu Anand, kan? "
Mikha menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyangkalnya.
Nenek menghela napas. "Mikha, Anand berhak tahu. Jika kau benar-benar mencintainya, kau nggak boleh menyembunyikan hal ini selamanya."
Mikha menggigit bibirnya, jari-jarinya meremas ujung bajunya. "Aku takut, Nek... Aku takut dia pergi setelah tahu semuanya."
Nenek meraih tangan Mikha dan menggenggamnya erat. "Jika Anand benar-benar mencintaimu, dia nggak akan pergi. Tapi jika dia meninggalkanmu setelah tahu kebenarannya... berarti dia bukan pria yang pantas untukmu."
Mikha menatap neneknya dengan mata berkaca-kaca.
Ia tahu neneknya benar.
Tapi tetap saja, ketakutan itu tidak bisa ia hilangkan begitu saja.
Di sisi lain, di rumah Anand...
Anand baru saja selesai bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Pagi ini ia ada jadwal operasi penting. Namun sebelum berangkat, ia menyempatkan diri membuka ponselnya.
Tidak ada balasan dari Mikha.
Alisnya berkerut. Ini tidak seperti Mikha. Biasanya, meskipun sibuk, Mikha akan membalas pesannya atau setidaknya mengirim pesan singkat.
Tanpa pikir panjang, Anand mengetik pesan baru.
Anand: "Kamu sibuk? Kenapa nggak balas pesanku semalam?"
Beberapa detik berlalu, lalu tanda centang dua muncul. Mikha sudah membaca pesannya.
Namun, tidak ada balasan.
Anand semakin heran. Ada sesuatu yang aneh dengan Mikha hari ini.
Sebelum ia sempat mengetik pesan lain, ponselnya bergetar. Telepon dari rumah sakit.
Anand menghela napas. Ia menepis pikirannya tentang Mikha untuk sementara dan bergegas pergi.
Namun, firasat tidak enak itu masih mengganjal di hatinya.
Di sekolah, Mikha berusaha untuk tersenyum dan mengajar seperti biasa. Anak-anak tertawa mendengarkan ceritanya, namun pikirannya terus melayang.
Sesekali, ia melirik ponselnya.
Pesan dari Anand masih ada di sana.
Ia tahu ia harus membalasnya.
Namun, ia tidak tahu harus berkata apa.
Pagi itu, di rumah keluarga Shan, suasana terasa damai seperti biasa. Malika duduk di ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya, menikmati udara pagi yang masih sejuk. Ia tersenyum saat melihat putrinya, Paramitha, masuk ke ruangan dengan membawa nampan berisi sarapan ringan.
"Bagaimana makan malam di rumah Virzha semalam?" tanya Malika, menyesap tehnya. "Aku yakin pasti seru, apalagi itu pertemuan keluarga. Dan bagaimana calon istri Anand? Seperti apa dia?"
Mitha tersenyum kecil, mencoba menutupi kekacauan yang terjadi semalam. "Ya, cukup baik, Bu. Mikha gadis yang sopan dan manis."
Malika mengangguk puas. "Baguslah kalau begitu. Aku senang mendengarnya."
Namun sebelum percakapan berlanjut, Shan yang baru keluar dari dapur mendengus keras. "Sopan dan manis apanya? Kalau bukan karena nenek Mona yang bikin onar, semuanya pasti berjalan lancar!"
Mitha menoleh tajam ke arah Shan, memperingatkan putrinya agar diam. Namun, Shan tidak menggubris tatapan ibunya.
"Nenek Mona itu benar-benar kelewatan banget, Dia menghina Mikha, meremehkan keluarganya, bahkan berani menghardik Tante Ranika hanya karena tidak menyinggung soal keluarga Mikha!" Shan berkata penuh emosi.
Mata Malika yang tadinya tenang kini menyipit tajam. Wajahnya berubah dingin seketika.
"Apa yang kau katakan?" suaranya bergetar, menahan kemarahan yang mulai membuncah.
Shan duduk di sebelah neneknya dan mulai bercerita dengan detail. Ia menceritakan bagaimana Mona terkejut saat tahu Mikha tidak punya keluarga, bagaimana ia memarahi Ranika karena menerima Mikha begitu saja, serta bagaimana ia terang-terangan menolak hubungan Anand dan Mikha.
Semakin lama Shan berbicara, semakin merah wajah Malika. Ia mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya memburu.
"Mona benar-benar keterlaluan" serunya. "Mona itu nggak punya hak sedikit pun untuk mencampuri urusan keluarga Virzha! Siapa dia sampai bisa bicara seperti itu? Seharusnya sejak awal, Virzha nggak perlu mengizinkan mertuanya tinggal di rumah itu! Dia hanya akan membuat masalah dan memperkeruh keadaan!"
Shan mengangguk setuju. "Itulah yang aku pikirkan, Nek! Nenek Mona terlalu ikut campur! Aku benar-benar kasihan pada Mikha. Dia pasti sangat terluka semalam."
Malika menghela napas berat. "Aku nggak bisa diam aja. Aku harus bicara dengan Virzha mengenai hal ini."
Mitha, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya ikut berbicara. "Bu, aku tahu Ibu marah, aku pun merasa kesal. Tapi ini masalah keluarga Virzha, bukan urusan kita."
Malika menatap putrinya dengan tajam. "Kau salah, Mitha. Aku nggak akan membiarkan Mona menghancurkan kebahagiaan Virzha dan anak-anaknya. Aku tahu bagaimana wanita itu, dan aku nggak akan tinggal diam."
Shan tersenyum puas melihat neneknya akhirnya turun tangan. Ia tidak sabar melihat bagaimana Malika menghadapi Mona.
"Aku yakin, jika nenek yang bicara, nggak akan ada yang berani membantah," ujar Shan dengan nada penuh kemenangan.
Malika menegakkan punggungnya, matanya penuh determinasi.
"Aku akan pastikan Mona itu tahu tempatnya."
Setelah percakapan di ruang tamu itu, Malika tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ia bangkit dari tempat duduknya dengan ekspresi dingin yang jarang terlihat.
"Aku akan bicara dengan Virzha hari ini juga," ucapnya tegas.
Mitha mencoba menenangkan ibunya. "Bu, mungkin lebih baik tunggu dulu. Jangan terburu-buru."
Namun, Malika menggeleng. "Nggak, Mitha. Aku sudah terlalu lama diam melihat Mona bertindak semaunya. Ini sudah keterlaluan."
Shan yang duduk di sofa malah terlihat bersemangat. "Bagus, Nek! Nek mona itu memang harus dikasih pelajaran"
"Shan kamu diam..."
Namun Shan tidak peduli.
Malika tidak membuang waktu. Ia segera meminta sopirnya menyiapkan mobil. Tak lama kemudian, ia berangkat menuju rumah Virzha.
Di rumah Virzha, suasana masih terasa tegang setelah kejadian semalam. Ranika duduk di ruang keluarga dengan ekspresi muram. Ia sudah cukup kesal dengan ibunya, tetapi sebagai anak, ia tidak bisa begitu saja membantahnya.
Mona sendiri masih berada di kamarnya, merasa puas karena bisa mengutarakan isi hatinya. Baginya, Mikha tidak pantas untuk Anand, dan ia tidak akan mengubah pendapatnya.
Namun, ketenangan pagi itu segera terganggu oleh suara bel yang berbunyi keras. Seorang pelayan membukakan pintu, dan di depan sana berdiri Malika dengan wajah penuh wibawa.
"Nyonya Malika?" Pelayan itu tampak terkejut. "Silakan masuk."
Malika melangkah masuk dengan anggun tetapi tegas. Virzha, yang sedang duduk di ruang tamu, segera berdiri ketika melihat ibunya datang.
"Mama? Kenapa nggak kasih tahu kalau mau datang?" tanya Virzha sambil mendekati Malika.
Malika menatap putranya dengan tajam. "Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang penting, Virzha."
Ranika yang mendengar suara ibu mertuanya segera keluar dari ruang keluarga. Wajahnya tampak terkejut, tetapi ia tetap berusaha menyapa dengan sopan.
"Oh mama?, ada apa datang pagi-pagi begini?"
tanya Ranika dengan nada terkejut saat melihat ibu mertuanya berdiri di depan pintu dengan ekspresi tidak bersahabat.
Malika menatap menantunya dengan dingin. "Aku dengar dari Shan tentang kejadian semalam. Kau biarkan ibumu menghina calon istri Anand, dan kau hanya diam?"
Ranika terkejut, tapi berusaha tetap tenang. "Ma, aku nggak ingin memperkeruh keadaan. Lagipula, Mikha sendiri juga nggak mempermasalahkan..."
"Apa? nggak mempermasalahkan?!" Malika memotong dengan tajam. "Jangan bodoh, Ranika. Diamnya Mikha bukan berarti dia nggak merasa sakit hati! Apa kau pikir hanya karena dia nggak punya keluarga, dia pantas diperlakukan seperti itu?"
"Mama, tenanglah dulu. Duduk dan kita bicarakan baik-baik." ucap Virzha.
Malika menatap putranya, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya duduk. "Virzha, aku sudah menahan diri terlalu lama. Tapi apa yang terjadi semalam sudah melewati batas. Aku nggak peduli bagaimana perasaan Mona sebagai ibu mertua di rumah ini. Tapi dia nggak punya hak untuk ikut campur sejauh ini!"
Virzha mengusap wajahnya, merasa situasi ini semakin sulit. "Aku tahu, Mama. Aku pun merasa nggak nyaman. Tapi aku juga nggak mau bertengkar dengan Ranika karena ibunya."
Malika menatap putranya dengan kecewa. "Virzha, kau itu terlalu baik. Tapi kalau kau terus membiarkan ini terjadi, rumah tanggamu sendiri yang akan kacau."
Ranika yang merasa tersinggung akhirnya buka suara. "Mama, aku paham mama nggak suka dengan mamaku, tapi aku nggak bisa mengusirnya begitu aja."
"Aku nggak menyuruhmu mengusirnya, Ranika," Malika menatap tajam. "Aku hanya ingin kau sadar bahwa ibumu bukan pemilik rumah ini. Dia nggak bisa seenaknya menilai dan menghina orang lain hanya karena merasa berhak."
Ranika terdiam, merasa serba salah.
Mona turun dari tangga dengan wajah tak bersalahnya. Ia menghampiri besannya dengan melipat dada.
"Ada apa ini, pagi-pagi sudah buat keributan dirumah orang" Ucap Mona.
Malika menatap Mona dengan tajam. "Aku ingin tahu, apa hakmu berbicara seperti itu tentang calon istri Anand?"
Mona tersenyum sinis. "Aku hanya mengatakan yang seharusnya mereka pikirkan sejak awal. Bagaimana bisa seorang perempuan yang nggak jelas asal-usulnya ingin menjadi bagian dari keluarga ini?"
Virzha mendesah panjang, sementara Ranika tampak gelisah.
"Ma, ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan seperti ini..." Ranika mencoba meredam ketegangan.
Namun, Malika tidak menghiraukan Ranika dan tetap fokus pada Mona. "Kau tahu, aku sudah terlalu lama diam melihat sikapmu yang selalu merasa paling benar. Tapi yang kau lakukan sekarang sudah keterlaluan, Mona."
Mona tertawa kecil. "Oh? Dan apa yang akan kau lakukan? Aku hanya menyampaikan kebenaran. Kalau kau peduli pada keluarga ini, seharusnya kau juga sadar bahwa kita nggak bisa menerima seseorang tanpa latar belakang yang jelas!"
Malika melipat tangannya di dada. "Kau bicara tentang keluarga? Kau bahkan bukan bagian dari keluarga inti, Mona. Kau hanya mertua dari anakku, bukan siapa-siapa di rumah ini. Kau juga nggak punya hak untuk menentukan siapa yang pantas dan siapa yang nggak."
"Lalu siapa yang pantas?" tanya Mona.
"Apakah perlu aku peringatkan? Ini rumah ku"
Ranika terkejut mendengar ucapan Malika. "Virzha, mama..."
Virzha hanya diam.
Mona mulai kehilangan kesabaran. "Jadi, kau ingin mengusirku?"
Malika menghela napas. "Aku nggak sekejam itu, Mona. Aku hanya ingin kau tahu batasmu. Aku sudah pernah bilang sebelumnya, jangan ikut campur dengan urusan keluarga Virzha. Virzha yang berhak memutuskan tentang keluarganya, bukan kau."
Virzha yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Mama ku benar. Aku nggak pernah mempermasalahkan latar belakang Mikha. Yang penting dia mencintai Anand dan bisa menjadi istri yang baik."
Mona mendengus kesal. "Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau sesuatu terjadi di masa depan. Kalian semua akan menyesal."
Setelah mengucapkan itu, Mona berbalik dan pergi ke kamarnya dengan wajah muram.
Malika menoleh ke arah Virzha dan Ranika. "Aku harap kalian nggak akan membiarkan dia ikut campur terlalu jauh lagi. Jangan melanggar batasan yang ada"
Virzha mengangguk. "Aku akan berbicara dengan Ranika nanti."
Malika menghela napas, lalu berkata dengan nada lebih lembut. "Aku hanya ingin kalian berpikir dengan kepala dingin. Jangan sampai keluarga ini hancur karena satu orang."
Virzha akhirnya berkata dengan nada lebih tegas. "Aku akan bicara dengan mertua ku ma. Aku janji, ini nggak akan terjadi lagi."
Malika mengamati putranya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik. Aku percaya padamu. Tapi jika ini terjadi lagi, jangan salahkan aku kalau aku sendiri yang turun tangan untuk mengusirnya dari rumah ku ini."
Setelah itu, Malika bangkit berdiri, memberi satu tatapan terakhir kepada Ranika, lalu berjalan keluar tanpa menunggu jawaban.
Saat pintu tertutup, Ranika menghela napas berat. "Aku tahu mamaku itu keras kepala, tapi aku nggak nyangka kalau mamamu akan semarah ini."
Virzha hanya menatap istrinya dengan serius. "Karena dia tahu apa yang bisa terjadi kalau kita membiarkan ini terus berlanjut."
Di tempat lain, Shan yang baru menerima kabar dari neneknya langsung tertawa puas. "Akhirnya, ada yang bisa membungkam Nenek Mona!"
Namun, Mitha justru terlihat khawatir. "Shan, jangan terlalu senang dulu. Masalah ini belum selesai."
Shan hanya mengangkat bahu. "Ya, kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti."
Virzha sebenarnya mencintai istrinya cuman krn dibawah pengaruh ibu nya Ranika jadi kayak gitu, Anand juga cintanya terlalu besar buat Mikha dan effort nya dia gak main main, sedangkan Mikha? neneknya meninggal gara-gara si Mona dan Ranika, dia nggak cinta tapi demi neneknya dia cuman pengen balas dendam🥺🥺
eps 1 udh menguras tenaga sekale