cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Mungkin?
Taman belakang seperti biasa terasa tenang, dengan semilir angin membawa aroma rerumputan dan suara dedaunan bergesek pelan. Vio, Reina, dan Tissa memilih duduk di bangku panjang dekat pohon besar yang menjadi tempat favorit mereka.
Baru saja Vio membuka bekalnya kembali dan Reina menyodorkan kotak bento miliknya, suara langkah cepat terdengar dari arah jalur samping taman.
“Hah… ketemu!” seru seseorang di kejauhan.
Ketiganya menoleh, dan terlihat Reuxen berjalan cepat dengan kantong plastik kecil di tangan. Nafasnya sedikit terengah, tapi senyumnya lebar.
“Untung kalian belum mulai makan banyak,” ujarnya sambil duduk tanpa sungkan di ujung bangku.
“Aku tadi antre roti cokelat, cuma tinggal satu, jadi harus rebutan dulu,” tambahnya sambil mengeluarkan isinya, roti dan satu kotak susu.
Tissa hanya menatapnya sekilas, lalu melirik Vio dengan pandangan penasaran. Reina mengangkat alis sedikit, tapi tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil dan mulai menyantap makanannya.
Vio sendiri masih agak bingung dengan kehadiran Reuxen, tapi juga tidak merasa perlu menolak.
‘Apa aku terlihat terlalu mudah didekati sekarang…?’ pikirnya sesaat, sebelum akhirnya ikut menyuap makan siangnya, diam-diam mencuri pandang ke arah ketiga orang yang kini duduk bersamanya. Rasanya sedikit berbeda… tapi tak sepenuhnya buruk
Tissa menggigit potongan kecil onigirinya, lalu melirik ke arah Reuxen yang baru saja duduk sambil membuka roti dan kotak susunya.
“Dia siapa?” bisik Tissa pelan pada Vio, cukup lirih agar hanya mereka berdua yang mendengar.
Vio menghela napas pelan dan menjawab setengah berbisik, “Dia yang mendekati duluan… sok akrab, kayak Kak Mei.”
Tissa langsung menoleh dengan ekspresi setengah kaget, lalu menahan tawa. “Serius? Mirip Kak Mei?”
Vio mengangguk pelan, sedikit meringis. “Iya, tapi versi cowoknya.”
Reina yang duduk di sebelah Tissa hanya tertawa kecil, menimpali dengan nada ringan, “Tapi sepertinya dia memang tipe orang yang gampang dekat dengan siapa pun.”
“Dan aku nggak tahu harus gimana nolaknya,” lanjut Vio, menunduk sambil menusuk potongan telur dadar di bekalnya.
Reuxen yang entah bagaimana menangkap aura percakapan mereka langsung menoleh. “Eh? Kalian ngomongin aku, ya?” tanyanya dengan senyum lebar sambil menggigit roti.
Vio menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Iya, sedikit.”
Reuxen terkekeh. “Wah, cepat juga aku jadi bahan obrolan. Pasti hal baik, kan?”
Tissa dan Reina saling pandang lalu tertawa kecil. Vio pun tak bisa menahan senyum tipisnya. Meski awalnya canggung, suasana makan siang di taman belakang hari ini terasa lebih hangat dari biasanya.
Percakapan pun perlahan mengalir di antara mereka berempat. Setelah beberapa tawa ringan dan topik tentang makanan, Reuxen tiba-tiba berkata, “Eh, kayaknya aku cuma kenal Vio doang nih. Sisanya belum sempat kenalan, ya?”
Vio mengangkat alis dan menoleh sebentar. “Kenal, ya?” ujarnya dengan nada tenang. “Rasanya kita baru tukar beberapa kata sebelum pelajaran tadi.”
Reuxen hanya tertawa ketika Vio berkata seperti itu
Tissa yang sedang menyeruput jus kotaknya langsung angkat tangan kecilnya, “Aku Tissa dan aku tinggal serumah sama Vio.”
Reuxen terkejut dengan pernyataan Tissa pun berkata “Serius? Kalian saudara?”
Tissa mengangguk cepat, lalu mengoreksi, “Bukan saudara kandung sih. Aku anak dari teman orang tuanya Vio tapi untuk beberapa alasan aku tinggal disana dan aku sudah kayak adik sendiri!”
Reina tersenyum dan menambahkan, “Dia juga jadi bagian dari rumah itu sekarang, rasanya memang kayak adik-kakak jika dilihat.”
Reuxen mengangguk-angguk, seolah baru memahami sesuatu. “Wah, seru juga ya. Namaku Reuxen, tapi panggil aja Reu. Aku murid pindahan 2 minggu lalu, jadi masih sering nyasar-nyasar.”
“Pantes aja kamu sok akrab banget, kayak Mei,” celetuk Tissa sambil menyeringai.
“Pantas aja kamu sok akrab banget, kayak kak Mei,” celetuk Tissa sambil menyeringai jahil, matanya melirik ke arah Reuxen yang sedang duduk santai di sebelahnya.
Reuxen menoleh dengan alis terangkat, tertarik. “Kak Mei? Siapa tuh?”
Tissa mengangkat bahu ringan. “Aku juga baru ketemu dia tadi pagi, sih.”
“Dia teman kakakku,” sahut Vio sambil menatap Reuxen sesaat. “Sering datang ke rumah dan… ya, cara bicaranya mirip kamu. Terlalu cepat akrab, seolah-olah udah kenal lama.”
Reuxen terkekeh pelan, lalu mengangkat bahu seolah mengakui. “Heh… mungkin itu memang gaya bertahan hidupku. Kalau nggak begitu, aku bisa-bisa kelihatan canggung di tempat baru.”
Di tengah percakapan yang mulai riuh itu, Vio duduk diam, memandangi mereka dengan ekspresi tenang. Tapi dalam hatinya, ia menyadari sesuatu. Cara Reuxen memandang Tissa, bagaimana bahunya sedikit condong saat menanggapi dan antusiasmenya yang berbeda saat menyapa gadis itu- semua cukup jelas bagi Vio yang terbiasa mengamati dengan diam.
‘Jadi begitu… Dia sok akrab bukan karena aku. Tapi karena Tissa yang selalu bersama ku’ pikir Vio, sedikit terasa pahit, namun tidak benar-benar terluka.
Ia tidak mengatakan apa pun. Reina tampaknya tak menyadari dan Tissa hanya menikmati perbincangan tanpa beban. Vio hanya menarik napas dalam, menyembunyikan segalanya di balik senyum tipis, lalu menata kotak makan nya dan Tissa perlahan.
Untuk saat ini, ia memilih tetap diam dan menikmati siang hari yang hangat bersama orang-orang yang bagaimanapun juga penting baginya.