Awalnya Elodie adalah ibu rumah tangga biasa. Istri yang penurut dan ibu yang penuh kasih. Namun sebuah kecelakaan mengubah segalanya.
Sikap dan Perilaku wanita itu berubah 180 derajat. Melupakan segala cinta untuk sang suami dan putra semata wayangnya. Mulai membangkang, berperilaku sesuka hati seingatnya di saat 19 tahun. Namun justru itu memberi warna baru, membuat Grayson menyadari betapa penting istri yang diremehkannya selama ini.
"Mommy."
"Nak, aku bukan mommy kamu."
"Elodie Estelle."
"Grayson Grassel, ayo kita bercerai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 ~ Mulai Kelabakan
"Apa? Belum ada menjemput Cedric?" Gray mengerutkan kedua alisnya disaat guru sang putra menghubungi. Pria itu menarik sedikit lengan panjang kemejanya, lalu melihat jam tangan mewah yang terpasang di sana.
"Sudah jam segini tidak ada yang menjemput?" Aa, ia baru ingat. Sam sopirnya sedang mengantar bibi Erin pulang kampung, sementara Elodie? Apa wanita itu masih keluyuran di luar?
Pria itu segera bangun dari duduknya, berjalan menuju pintu keluar dengan langkah tegas. "Bagaimana jadwalku yang tersisa hari ini?"
Bianca sang sekretaris langsung menjawab dengan cepat. "Selain jadwal makan malam dengan tuan Harrison, Anda tidak memiliki jadwal keluar lainnya."
"Batalkan saja!"
"Baik." Bianca langsung menunduk hormat seakan mengantar kepergian sang tuan. Gadis itu sedikit lega di saat Gray sudah masuk ke dalam lift. Meski sudah lama bekerja pada pria itu, ia masih merasa takut. Pasalnya wajah Gray memang semenyeramkan itu.
Sementara Gray yang sudah di dalam lift mengirim chat pada sang asisten pribadi untuk menyelesaikan dokumen yang belum ia periksa.
Pria itu menghela napas kasar, jika diingat-ingat akhir-akhir ini sudah entah berapa kali ia menghela napas berat seperti ini. Padahal sebelumnya jarang sekali karena semuanya berjalan dengan teratur.
Semua berawal dari sang istri yang kehilangan ingatan. Pria itu menggeleng pelan saat ada keinginan untuk ke rumah Clara menjemput Elodie. Ia tetap yakin, istrinya yang ibu rumah tangga biasa itu pasti tidak akan bisa hidup lama di luar. Apalagi Clara juga orangnya sibuk dengan pekerjaan.
"Ya, jika tidak nanti malam, besok pasti dia pulang."
...
Cedric yang telah menunggu hampir 2 jam itu mendengus saat melihat kehadiran sang ayah. Anak lelaki itu melipat tangan di depan dada, sengaja menoleh pada sang guru yang mendampinginya.
"Eh, daddy-nya sudah datang," ujar sang guru yang membuat Cedric menoleh ke arah lain. Sementara Gray acuh tak acuh saja, pria itu menghampiri sang anak dan menatapnya dengan tajam.
"Pulang," ujar Gray singkat, pria itu bahkan tidak repot-repot menyapa sang guru yang kini terlihat cukup bingung.
"Cedric!"
Anak lelaki itu menoleh, mendapati wajah marah sang ayah ia sama sekali tidak takut. "Maaf, Anda siapa, ya?"
Gray mengeraskan rahang saat melihat anaknya yang sedang ngambek itu. Entah mirip siapa Cedric ini, yang pasti dirinya tidak pernah berperilaku seperti ini. Pasti ibunya, ya pasti mirip Elodie.
"Pulang atau daddy tinggalin. Setelah itu bukan hanya dua jam, kau mungkin bisa semalaman nginap di sekolah sampai besok," ancam Gray yang membuat sang putra mendelik. Mau tidak mau ia ikut sang ayah, meraih tangan besar yang terulur itu dengan enggan.
"Terima kasih," ucap Gray membuat guru yang sebelumnya termenung dengan adegan di depannya tersentak kaget.
"Ah, ya, ya. Sama-sama, Daddy-nya Cedric. Hati-hati di jalan."
Gray mengangguk pelan saja, pria itu tak lagi berniat menjawab dan segera membawa sang anak pergi.
Setelah masuk ke dalam mobil, Cedric kembali memasang kedua tangan di depan dada. Anak itu sama sekali tidak berbicara, bahkan sampai setengah perjalanan mobil itu masih diisi oleh keheningan.
Krukk.
Kedua mata Cedric mendelik, ekor matanya melihat sang ayah yang untungnya tidak terpengaruh. Ia bernapas lega, namun setelah beberapa saat Gray menghentikan mobilnya di sebuah restoran.
"Mau ngapain kesini?"
"Makan, apa lagi?"
"Aku tidak lapar, kau makan sendiri saja."
Gray menggaruk pelipisnya. Putra yang biasanya tampak dingin itu ternyata juga seperti anak kecil pada umumnya. Dulu ia jarang berinteraksi, jadi tidak begitu tahu bagaimana perilaku Cedric. Pria itu mengangguk pelan, lalu melanjutkan kata dengan acuh tak acuh.
"Baiklah, daddy yang makan sendiri. Kau mau menunggu di mobil atau ikut masuk?"
"Di mobil saja."
"Oke."
Cedric mendengus sebal saat melihat sang ayah keluar begitu saja. Anak itu jadi teringat dengan sang ibu, jika itu Elodie pasti akan membujuknya sampai ia luluh. Dalam sekejap kedua matanya berkaca-kaca, ditambah rasa lapar semakin membuatnya ingin menangis.
"Heh, kau menangis?"
Cedric dengan cepat menghapus air matanya dengan lengan baju. Anak itu tidak menyangka Gray akan kembali secepat itu, jadinya ia tidak memperhatikan sekitar dan melanjutkan menangis saja.
"Tidak, siapa yang menangis?" elak anak itu dengan wajah terangkat tegak, seakan menegaskan bahwa ia baik-baik saja. Tidak menangis seperti yang sang ayah katakan.
Namun ia tidak sadar, suaranya yang serak itu benar-benar tidak bisa berbohong. Ditambah dengan mata dan hidung yang merah. Diam-diam Gray menarik senyuman tipis, ternyata putranya yang ia didik dengan keras ini ada sisi menggemaskan.
"Ini, beli satu gratis satu. Sayang tidak diambil." Pria itu melempar pelan sebuah kotak makanan ke pangkuan sang putra. Cedric memandang sang ayah, ingin menolak tapi ia juga lapar.
"Kalau begitu aku juga terpaksa menerimanya," kata anak itu seakan enggan.
Gray menoleh sedikit, melihat sang putra yang makan dengan lahap membuatnya menarik senyum tipis.
.
.
.
"Kamu sungguh tidak mau pulang?" Clara yang sedang memasang masker wajah itu bertanya pada sang sahabat yang tampak betah tinggal di rumahnya. Elodie yang juga melakukan hal yang sama menggeleng.
"Pulang? Aku bahkan tidak merasa itu rumahku." Wanita itu ikut menjatuhkan diri, berbaring di atas kasur yang sama dengan sang sahabat.
"Aku hanya takut kamu kesepian. Besok aku sudah harus kembali bekerja di perusahaan papaku."
"Heh, jangan bilang kamu hari ini cuti?"
"Ya, aku sudah lama tidak menghabiskan waktu bersamamu. Tentu saja harus cuti."
Elodie yang mendengar itu mendadak terharu. "Araaaa." Wanita itu langsung memeluk Clara, membuat gadis itu sedikit bingung namun hanya sesaat. Setelahnya ia ikut memeluk dengan tawa kecil.
"Salahkan papaku yang hanya punya anak satu, yaitu aku. Kalau ada saudara untuk berbagi pekerjaan pasti aku bisa cuti lebih lama dan menemanimu. Selain itu, aku juga bisa lebih fokus menjadi desainer."
Elodie melepas pelukannya, wanita itu mengambil bantal untuk memukul kepala sang sahabat. "Ouch, Elliii!"
"Huh, tidak tahu bersyukur. Menjadi anak tunggal kaya raya itu impian hampir semua orang. Jangan sepertiku, sudah tidak punya orangtua. Hanya punya kakak pun putus hubungan demi menikah dengan pria tua menyebalkan itu."
"Heh, kamu tahu?"
"Dia yang bilang."
"Eh, katakan padaku! Aku benar-benar tidak cerita apapun saat akan menikah dulu? Dipikirkan sampai otakku berasap saja, aku belum bisa menemukan alasan kenapa bersedia menikah dengannya."
Clara menggigit bibirnya. Apa ini saat yang tepat? "Elli."
"Hah, sudahlah. Apapun alasannya, aku juga tidak bisa kembali ke masa lalu untuk menggagalkan pernikahan kami." Elodie memejamkan mata, sementara Clara mengacak rambutnya sebal. Sebenarnya ia juga lega karena entah kenapa merasa belum siap bercerita pada sang sahabat.
Namun tiba-tiba Elodie membuka matanya lagi, dan pertanyaan selanjutnya benar-benar membuat jantung Clara yang sudah tenang kembali berdetak kencang.
"Eh, sejak aku sadar, aku sama sekali belum bertemu Glenca. Kemana dia?"
Clara langsung memejamkan mata. Berpura-pura tidur mungkin lebih baik sekarang. Padahal alasan Elodie menikah dan kemana perginya Glenca adalah sama. Tapi ia benar-benar belum siap, rasanya akan lebih baik jika Elodie benar-benar lupa.
"Ara!" Elodie memanggil saat merasa tidak mendapat jawaban dari sang sahabat. Namun setelah dipanggil pun sama saja. Wanita itu menoleh, mendapati Clara yang sudah memejamkan mata dengan tenang.
"Astaga, dia sudah tidur? Cepat sekali?"
"Baiklah, aku juga akan tidur saja." Elodie ikut memejamkan mata, membuat Clara akhirnya bisa bernapas dengan lega.
.
.
.
Sementara di tempat lain, dua orang pria berbeda generasi itu sedang berkutat di dapur. Gray menatap bingung dengan peralatan di depannya. Sementara Cedric mengekor di belakang sang ayah.
"Daddy sebenarnya bisa memasak atau tidak?" tanya anak itu tidak sabar, pasalnya sudah hampir tiga puluh menit mereka di dapur. Tapi yang dilakukan Gray yang melongo ke sana ke mari.
"Sstt!"
Gray membuka kulkas. Banyak sekali bahan makanan, tapi mau diapakan?
"Sudahlah! Kita pesan saja," ujar pria itu menyerah. Ia menutup kulkas dan berjalan pergi. Sementara pria kecil di belakangnya hanya bisa kembali mengekor dengan wajah kelaparan.
.
.
.
sbnarnya apa sih alasannya El kawin SM lakik model dajall itu
kyknya ada sngkut pautnya SM tmennya si El deh
trus si mertua ada dendam apa sama El ya smpai benci gitu
ksihan si el
emang siapa lagi yg pkai kekerasan dn TDK pyk pri kemanusiaan 😤🙄😒🤬😡😠🤭🤭
jgn mau d rendahkan muku🙄
punya Daddy g ada pendiriannya
tp buat gray kalang kabut biar nyaho😁🤭