"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ada jalan lain
Everly menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah merona, membuang ingatannya jauh-jauh ketika bayangan pria asing malam sebelumnya melintas di pikirannya. Ia masih jelas mengingat rasa bibir pria itu. Namun selebihnya semua ingatannya samar.
Mereka melakukannya atau tidak pun, Everly tidak yakin.
Saat ini Eve tengah berada di dalam mobil yang membawanya untuk menjemput Lilly Anne. Setelah semalaman ia tidak bertemu dengan sang anak, membuatnya jadi merasa bersalah. Meski biasanya ada supir yang menjemput Lilly, untuk hari ini Everly lebih memilih keluar dari pada merasa tertekan karena perbincangan yang ia lakukan bersama ibu mertuanya tadi pagi.
“Mom!” Lilly Anne Zanella menghambur ke pelukan Everly, begitu melihat ibunya di depan gerbang sekolah menunggunya.
“Oh my sweet Lilly Anne!”
“Kemana saja? Lilly rindu.” rengek bocah berambut karamel itu.
“Maafkan ibu sudah meninggalkanmu kemarin, sayang. Ibu memiliki acara bersama teman-teman ibu.”
“Seharusnya ibu mengajakku.”
“Itu bukanlah acara yang baik untuk dihadiri anak-anak, sayang.”
“Lalu, jika aku sudah besar apakah ibu akan membawaku?”
“Tentu, kau akan menjadi teman ibu jalan-jalan. Bagaimana?”
Lilly Anne tersenyum sumringah dan mengangguk semangat. “Aku jadi tidak sabar.”
“Sekarang bagaimana kalau kita pergi membeli es krim sebelum pulang?" Everly mengusulkan sambil mengusap kepala anak perempuannya dengan lembut.
Mata Lilly Anne langsung berbinar penuh semangat. "Benarkah? Yay! Aku mau rasa stroberi!"
Everly tertawa kecil. "Baiklah, kita cari es krim stroberi. Tapi kau harus janji untuk tidak makan terlalu banyak, ya?"
"Promise!" balas Lilly Anne dengan penuh antusias, tangannya menggenggam erat jemari Everly.
Mereka berjalan menuju mobil, di mana sopir sudah menunggu untuk mengantar mereka ke toko es krim favorit Lilly Anne. Di perjalanan, suara ceria gadis kecil itu menghangatkan hati Everly.
Setelah membeli es krim, mereka duduk di sebuah bangku taman kecil dekat toko. Lilly Anne dengan riang menikmati es krimnya, sementara Everly memandangi putrinya dengan penuh kasih.
"Ibu, apakah ibu dan ayah akan bercerai?” Pertanyaan itu keluar begitu tiba-tiba dari mulut Lilly Anne yang dipenuhi Cream.
Mata Everly membulat mendengar ucapan gadis kecil itu.
"Noo, dari mana kau mendengarnya?"
"Teman-temanku bilang, setelah ayah dan ibu mereka bertengkar, mereka pisah rumah. Nenek juga bilang begitu"
Everly merasa dadanya sesak mendengar ucapan polos putrinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab.
"Lilly, dengarkan ibu baik-baik," katanya dengan lembut, menatap mata anaknya yang penuh rasa ingin tahu. "Ibu dan ayah mungkin tidak selalu sepakat tentang segalanya, tapi itu bukan berarti kami tidak sayang padamu."
Lilly Anne memiringkan kepalanya, masih bingung. "Jadi, apa itu artinya kalian tidak akan bercerai?"
Everly tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. "Ibu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, sayang. Tapi yang pasti, ibu dan ayah selalu mencintaimu, apa pun yang terjadi, kau mengerti?"
Gadis kecil itu mengangguk pelan, tampaknya menerima jawaban itu meskipun belum sepenuhnya puas. Ia kembali fokus pada es krimnya, namun Everly tahu bahwa percakapan ini akan kembali lagi suatu saat nanti.
"Rosaline," gumam Everly dalam hati, merasa kesal. Ia yakin ibu mertuanya adalah orang di balik keresahan putrinya. Selalu saja ada komentar-komentar menyakitkan dari wanita itu, bahkan ketika berhadapan dengan seorang anak kecil.
Everly meraih tangan Lilly Anne, menggenggamnya erat. "Sayang, apa pun yang kau dengar, selalu tanyakan langsung pada ibu, ya? Jangan percaya begitu saja pada orang lain."
"Baik, Mom," jawab Lilly Anne sambil tersenyum kecil, membuat hati Everly sedikit lega.
Mereka duduk diam sejenak, menikmati angin sejuk di taman, meskipun pikiran Everly dipenuhi kekhawatiran. Hubungan dengan Mason, tekanan dari Rosaline, dan bayangan pria asing tadi malam—semuanya terasa begitu menyesakkan.
Sepertinya ia harus segera mengambil keputusan untuk mengurai masalahnya satu per satu.
...***...
“Kau harus segera memberikan jawaban kepada Mr. Vaughan, Mason. Kau sudah mengulurnya terlalu lama,” ujar Luca, pria dengan rambut keriting kepada Mason yang tengah meneguk martini nya menikmati pemandangan lalu lintas di bawah gedung melalui jendela kantor.
“Dia bertanya padaku lagi saat bertemu kemarin. Apa yang kau khawatirkan? Bukankah ini impianmu sejak lama?” kata pria itu lagi, mengingat pertemuannya dengan Mr. Vaughan pada jamuan makan malam partai DOVA.
“Aku masih membicarakannya dengan, Eve, Luca.”
“Bagaimana respon nya?”
Bola mata Olive Mason menusuk Luca dengan tatapan iritasi, “Menurutmu? Apa ada istri yang bahagia ketika diceraikan?” sarkasnya.
“Ada, mantan istriku.” tukas Luca singkat.
“Jangan samakan rumah tanggaku dengan kacaunya rumah tanggamu.”
“Auch!” ringis pria berambut kriting itu.
“Dia menolak ide itu, Luca.” ucap Mason kembali.
“Well, sudah kuduga. Tapi dia tidak ada di posisi yang bisa menolak juga. Yang dibunuh ayahnya adalah istri Mr. Vaughan, For God Sake. Apa dia tahu itu?”
“Kecilkan suaramu, Bangsat!” mata Mason mendelik pada Luca.
“Aku serius, kau bayangkan kesempatan yang telah di depan mata ini akan hilang selama-lamanya berikut karirmu yang akan rata dengan tanah, jika orang-orang tahu ayah dari istrimu adalah pembunuh istri ketua partai DOVA.
“Cukup, Luca!” ucap Mason meletakan dengan keras gelas martini nya di meja kaca. Matanya gelap tersirat Amarah, namun Luca menyeringai menantang sahabatnya.
"Aku hanya mengatakan fakta, Mason. Kau tahu, Mr. Vaughan bukan hanya ketua partai. Dia punya pengaruh yang cukup untuk menghancurkanmu, bahkan jika kau tidak melakukan apa-apa. Dan sekarang kau punya kartu mati yang menggantung di atas kepala—istri yang keluarganya menjadi akar dari tragedi terbesar dalam hidup orang itu."
"Aku tahu semua itu. Kau pikir aku belum mempertimbangkannya?"
"Kalau kau sudah mempertimbangkannya, kenapa masih ragu? Cerai, dan beres. Kau bisa menyelamatkan dirimu sendiri.”
Mason menoleh, matanya menyipit. "Ini bukan hanya soal karirku, Luca. Ini tentang keluargaku, anakku. Kau tahu bagaimana Lilly sangat terikat dengan Eve. Apa aku harus menghancurkan hidup anakku juga?"
Luca mendesah, mengusap wajahnya frustasi. "Lilly akan baik-baik saja. Kau bisa memberikan semua yang dia butuhkan. Eve, di sisi lain… Dia hanya akan membawa masalah besar di hidupmu Mason."
“Sekali lagi, hentikan Luca. Aku tidak mau kita terlibat baku hantam disini.” ujar Mason dengan ekspresi mengeras.
Luca mengangkat tangan, memberi isyarat menyerah. "Baiklah, aku paham. Aku hanya takut kau kehilangan semuanya hanya karena tidak bisa melepaskan satu hal."
“Aku akan mencari cara lain.”
Luca memutar bola matanya kesal. “Kau tau tidak ada cara lain yang lebih baik selain bercerai.” gumam Luca membuat Mason kembali menyipit padanya.
“Maksudku, sampai kapan kau mengulur waktu kandidat bukan hanya kau, Mason. Akan banyak manuver untuk mengambil alih posisimu jika kau tidak cepat bertindak.”
Mason diam, tangannya terkepal erat, kata-kata Luca membuat dadanya bergemuruh, tetapi bahkan dia tidak bisa memaki karena apa yang dikatakan Luca memang benar. Kesempatan ini yang dia tunggu-tunggu dan tidak mungkin dia lepaskan begitu saja.
...****To be Continue****...
Salam kenal dari penulis pemula
boleh sumbang like nya kalau kalian suka cerita ini.
Supaya aku semangat up. Thankyou! ><