NovelToon NovelToon
AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Ada yang bertanya, "Ada apa ini, ramai sekali?" Aku mengenali suara itu. Itu suara Laras, ia datang bersama Doni. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan.

Melihatnya membuat hatiku terasa panas.

"Mama!" teriak Melati. Ia melompat kegirangan dan berlari menghampiri Laras.

"Hentikan, Melati!" bentak Laras.

Sungguh, hatiku terasa sakit mendengar Melati dibentak seperti itu.

"Kenapa, Mah? Melati nakal, ya? Melati enggak boleh peluk Mama, ya?"

Rentetan pertanyaan Melati membuat hatiku hancur berkeping-keping. Di mana hati nurani Laras? Apakah ia sudah sepenuhnya buta karena cinta?

"Melati ikut Ayah saja. Mama mau pergi," ucap Laras datar, tanpa sedikit pun bergerak dari tempatnya.

Harusnya Laras memeluk Melati. Harusnya ia rindu. Kenapa wajahnya masam? Aku saja, yang bukan siapa-siapa, merindukan Melati setelah dua hari tak bertemu.

Melati berbalik, berjalan lunglai ke arahku. Aku segera memeluknya.

"Melati nakal ya, Yah?" tanyanya.

Hatiku hancur mendengar Melati mengucapkan itu. Dia selalu merasa bersalah setiap kali Laras bersikap dingin.

"Melati anak pintar, kebanggaan Ayah. Mama cuma lagi sakit gigi," kataku berusaha menenangkan Melati.

Dalam hati, aku memaki Laras, “Laras, kamu bodoh. Laras, kamu tolol. Laras, kamu tega menyakiti anak semanis ini.”

Namun, itu tak mungkin kuucapkan. Aku tak mau Melati tumbuh dengan membenci ibunya.

Suasana hening, dan tiba-tiba ibu mertuaku berkata,

“Laras, untung saja kamu datang,” ucap ibu mertuaku.

“Ada apa memang, Bu?” tanya Laras.

“Si Riko ini mau mengambil Melati dari Ibu. Tolong cegah, Nak. Ibu dan Bapak akan merawat Melati, Nak, walau kamu tak mau mengurusnya,” ucap ibu mertuaku, mulai dramatis, sok jadi kakek dan nenek yang menyayangi cucunya.

“Alah... Ibu dan Bapak sudah tua. Sudahlah, Pak, Melati itu masih pakai popok, masih minum susu formula. Ibu akan keluar uang banyak. Belum lagi, Melati harus sekolah sebentar lagi,” ucap Laras. Seperti sedang mempertimbangkan untung rugi padahal mereka sedang membahas memebesarkan anak.

Entahlah, aku harus bahagia atau kecewa mendengar pernyataan itu dari Laras. Bagaimana mungkin mengurus anak dimasukkan ke dalam kategori beban? Mengurus anak itu anugerah.

Di luar sana, banyak pejuang garis dua yang mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkan anak, sedangkan di sini, anak semanis Melati justru disebut beban. Sungguh, aku tidak mengerti.

“Sudah jelas, Bu. Lebih baik Melati bersama ayahnya,” ucap Pak Yusuf dengan nada dingin. Mungkin dia juga heran mendapati wanita seperti Laras.

“Tidak bisa. Melati harus bersama ibunya!” ucap ibu mertuaku, masih dengan kekerasan kepalanya.

Aku semakin curiga, apa sebenarnya motif mertuaku yang begitu ngotot ingin mengasuh Melati..

Sedangkan Melati sekarang jadi pendiam. Mungkin dia kecewa.

Anak mana, coba, yang tak ingin dipeluk ibunya? Dan hari ini, di usia yang masih sangat dini, Melati ditolak oleh ibunya—padahal hanya sekadar pelukan.

Aku khawatir dengan kondisi Melati.

“Ibu, aku tidak mau mengurus Melati. Ada Riko yang mau, kenapa Ibu jadi repot, sih?” ucap Laras dengan nada ketus.

Tapi ada yang aneh. Pria gendut itu ke mana? Kenapa dia pergi tanpa bilang-bilang? Padahal, aku ingin bertanya—benarkah dia akan mengadopsi Melati, atau malah ingin menjualnya?

Jika mertuaku benar-benar berniat menjual Melati, sampai kapan pun tidak akan aku maafkan.

“Sudah jelas, Bu. Ini sudah malam, Melati juga mengantuk. Kami harus pulang,” ucap Pak Yusuf.

Ini yang sedari tadi ingin aku katakan. Sebenarnya, tak baik jika Melati terus-menerus mendengarkan pertengkaran orang dewasa.

Dan akhirnya, aku pergi meninggalkan rumah mertuaku.

Melati tak menangis, tak tersenyum, tak cerewet seperti biasanya.

“Laras, kurang ajar kamu! Kamu sudah menyakiti Melati,” gumamku dalam hati.

Aku naik mobil Pak Yusuf.

“Yah, Mama kenapa marah sama aku? Aku nakal, ya?” ucap Melati dengan nada pelan.

“Melati tidak nakal. Melati anak pintar. Melati kesayangan Ayah,” ucapku lembut.

 “Ayah bohong,” ucap Melati.

Aku mengernyitkan dahi. Baru kali ini Melati menyangkal ucapanku. Padahal, dongeng yang tak masuk akal pun selalu ia percayai—asal aku yang bercerita. Tapi sekarang, Melati mengatakan bahwa aku berbohong.

“Kalau Melati pintar, kenapa Mama nggak sayang sama Melati?” ucap Melati lirih.

“Melati,” ucap Pak Yusuf.

“Apa, Paman Tampan?” jawab Melati.

“Melati sayang Ayah Melati, nggak?” tanya Pak Yusuf.

“Sayang banget, Paman... Waktu Nenek bilang Ayah mau dikubur, aku takut. Soalnya, Nenek Ros—teman aku main—dikubur, besoknya dia nggak main lagi sama aku,” ucap Melati polos.

“Kalau Melati sayang sama Ayah Melati, Melati harus ceria, harus semangat.”

“Mama biarkan saja. Dia butuh teman baru. Melati, jangan sedih. Ada Paman dan Ayah yang akan jadi teman baru Melati,” ucap Pak Yusuf.

“Yey... Aku punya Paman Tampan, kaya lagi!” ucap Melati.

“Paman hebat!”

“Ayah kamu yang paling hebat. Paman tidak bisa dibandingkan dengan Ayah kamu,” ucap Pak Yusuf.

“Iya... Ayah, maafin Melati, ya,” ucap Melati sambil memeluk pinggangku.

Aku memangkunya dan mencium keningnya.

“Demi Melati, Ayah akan lakukan apa pun,” ucapku.

“Melati janji tidak akan sedih lagi... Melati nggak mau lihat Ayah sedih.”

Tiba-tiba terdengar suara petasan.

“Dor!”

“Dor!”

“Dor!”

“Ayah, kenapa ada petasan? Ada yang sunat, ya?” tanya Melati polos, matanya membulat heran sambil menatap ke arah jendela.

Aku tersenyum bingung. Jujur saja, aku juga tidak tahu. Tapi rasa penasaran Melati membuatku ikut menengok ke luar jendela. Di luar, jalanan tampak semarak. Banyak bendera merah putih terpasang di sepanjang pagar dan tiang-tiang bambu. Lampu-lampu hias berkelip-kelip, menghiasi malam dengan warna-warni yang hangat dan meriah.

“Oh... sekarang tanggal 17 Agustus, Nak. Hari ini adalah hari kemerdekaan Indonesia,” jawabku sambil mengelus rambutnya.

Itu mungkin jawaban paling masuk akal yang bisa kuucapkan saat itu. Tapi lebih dari itu, aku ingin menanamkan rasa cinta tanah air dalam benak kecil Melati. Usianya masih sangat muda, tapi momen-momen seperti inilah yang bisa jadi kenangan indah sekaligus pelajaran berharga untuk masa depannya.

“Oh, gitu ya...” jawab Melati singkat, lalu mengangguk pelan.

Dan seperti biasa, ia kembali mempercayai apa pun yang aku katakan

,,,

Kita kembali ke rumah Ferdi.

“Besok kami mau menikah di rumah Riko,” ucap Laras.

“Enggak ada pesta, Nak?” tanya Rosidah.

“Sudahlah, Bu. Aku enggak mau kehilangan Mas Doni lagi,” jawab Laras.

“Ya sudah, kalau itu memang maumu,” ucap Ferdi.

Selama empat tahun ini, Laras seperti mayat hidup. Sepertinya, menikah dengan Riko adalah penyiksaan paling menyakitkan dalam hidupnya. Tapi, apa daya? Jika Laras ketahuan hamil di luar nikah, mereka tidak sanggup menanggung malu.

“Besok, Bapak siap-siap jadi wali, Pak,” ucap Laras.

Mereka berdua mengangguk.

“Terus, minggu depan rahimku mau diangkat,” ucap Laras santai.

Mata Rosidah terbelalak.

“Kenapa, Nak?” tanyanya dengan suara tercekat.

“Aku dan Mas Doni sepakat enggak mau punya anak,” jawab Laras dengan tegas.

“Tapi, Nak...” ucap Rosidah, mencoba menghalangi.

“Bu, biarkan aku bahagia, Bu. Empat tahun aku menikah dengan pria tak berguna. Sekarang aku mau bahagia,” ucap Laras, suaranya penuh tekanan.

Cinta memang buta, ya. Mereka mencintai Laras, tapi juga tega menyakiti Laras.

Laras dan Doni bahkan belum resmi menikah, tapi mereka sudah dibiarkan satu kamar.

Ponsel jelek milik Ferdi terus berdering. Dan siapa lagi kalau bukan Darmo.

Beberapa pesan masuk dengan isi yang sama:

“Kembalikan uangku.”

Ferdi memijat pelipisnya, bingung. Uangnya memang belum dipakai, tapi sayang sekali kalau harus dikembalikan.

Lalu, bagaimana dengan Arsyad, adiknya?

1
Tismar Khadijah
Banyak riko2 dan melati2 lain di dunia nyata, ttp berjuang dan berharap
Inyos Sape Sengga
Luar biasa
Sri Lestari
thor....aku salut akan crita2mu...n othor hebat ngegrab kog bs sambil nulis....mntabbb/Good/
adelina rossa
astagfirullah laras...belum aja kamu tau aslinya doni ...kalau tau pasti nyesel sampe.nangis darah pun rahim kamu ga bakalan ada lagi...lanjut kak
SOPYAN KAMALGrab
tolong dibantu likekom
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
menunggu karma utk laras
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dari sini harusnya tau donk, kalo gada melati, gakan ada riko
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
teruslah maklumi dan dukung anakmu yg salah.. sampaii kau pun akan tak dia pedulikan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
salahin anakmu yg bikiinyaa buuukkk
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
ayah
Su Narti
lanjutkan 👍👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪
mahira
makasih kk bab banyak banget
Nandi Ni
Bersyukur bukan dari darah para pecundang yg menyelamatkan melati
SOPYAN KAMALGrab
jangan fokuskan energimu pada kecemasan fokus pada keyakinan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
alhamdulillah
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apa? mau duit ya?
mahira
lanjut
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apalagi ini..? mau dijual juga laras?
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dirumah doni thoorrrr
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
untung mood anak cewek gampang berubah 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!