Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SURAT YANG MENGUBAH SEGALANYA
Udara malam di apartemen Adrian terasa tenang, hanya suara detik jam di dinding yang memecah kesunyian. Dari balkon, lampu-lampu kota Jakarta berkedip seperti bintang yang enggan mati. Maya duduk di sofa panjang berwarna abu-abu, memeluk tasnya erat seakan isinya nyawa. Matanya mengikuti Adrian yang berjalan keluar dari dapur, membawa dua cangkir teh hangat.
"Aku pikir kamu sudah bawa sertifikat rumah itu," ucap Adrian sambil meletakkan cangkir di meja. Nada suaranya tenang, tapi tatapannya tajam, seperti sedang menimbang setiap gerak Maya.
Maya menunduk, meremas jemari. "Aku… nggak punya sertifikat rumah itu, Adrian."
Kening Adrian sedikit berkerut. "Maksud kamu?"
"Rumah itu… bukan atas nama aku. Aku cuma bawa ini," Maya membuka tasnya, mengeluarkan sebuah map cokelat yang sudah lusuh. Di dalamnya, hanya ada beberapa dokumen yang disatukan klip besar.
Adrian mengambilnya, membukanya perlahan. Matanya langsung berhenti di selembar kertas tebal dengan lambang Garuda di atasnya.
"Surat nikah," gumamnya, menatap Maya lagi. "Dan… tidak ada surat perceraian."
Maya mengangguk pelan. "Kami memang belum resmi bercerai. Reza… dia cuma pergi. Tidak pernah menuntut cerai secara hukum. Aku juga… nggak pernah ajukan."
Adrian bersandar, menatap kosong ke arah meja sebelum kembali menatap Maya. "Ini… bisa mengubah segalanya."
Maya mengerutkan dahi. "Mengubah bagaimana?"
"Kalau secara hukum kamu dan Reza masih terikat pernikahan, artinya ada jalur yang bisa kita manfaatkan. Bukan hanya soal hak asuh, tapi juga soal harta bersama, bahkan tuntutan balik terkait penelantaran rumah tangga." Suara Adrian terdengar semakin mantap.
"Tuntutan balik?" Maya tampak ragu.
"Ya. Kita bisa ajukan bahwa Reza meninggalkan rumah tanpa alasan sah, tidak memberikan nafkah, dan membiarkan kamu mengurus Nayla sendirian. Itu akan memperkuat posisi kamu di pengadilan," jelas Adrian, jemarinya mengetuk pelan map dokumen itu.
Maya menatapnya lekat-lekat. "Tapi Nayla…" Kalimatnya terhenti, seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya.
Adrian memiringkan kepala. "Apa?"
"Sudahlah," Maya buru-buru mengalihkan pandangan. "Kalau aku bisa menang, itu sudah cukup."
Adrian memandangnya lama, seolah mencoba membaca rahasia yang Maya sembunyikan. Tapi ia memilih tidak memaksa.
"Baik. Kalau begitu, kita mulai dari sini."
Ia meraih buku catatan dan mulai menyusun strategi. "Pertama, kita akan kumpulkan bukti bahwa Reza tidak pernah memberikan nafkah sejak dia pergi. Ada transfer? Catatan rekening?"
Maya menggeleng. "Nggak ada. Semua kebutuhan Nayla aku yang tanggung. Bahkan uang sekolahnya."
"Bagus. Itu akan memperkuat argumen kita. Kedua, kita butuh saksi. Tetangga yang tahu kamu ditinggal Reza. Ada?"
"Ada, Bu Ina. Dia sering bantu jaga Nayla. Dia tahu semuanya."
Adrian mencatat cepat. "Ketiga, kita manfaatkan status pernikahan ini. Kalau dia ingin rebut hak asuh, dia harus ajukan cerai dulu. Dan proses itu bisa lama. Kita akan manfaatkan waktu itu untuk memperkuat posisi kamu."
Maya terdiam sejenak, menatap Adrian yang begitu fokus menulis rencana di hadapannya. "Kamu… benar-benar serius, ya?"
Adrian menghentikan tulisannya, menatap Maya. "Aku nggak pernah main-main di kasus yang aku pegang. Apalagi ini."
Maya menelan ludah. "Kenapa?"
Tatapan Adrian menusuk. "Karena aku benci melihat orang yang meninggalkan keluarganya seperti sampah."
Maya tercekat, tak berani bertanya lebih jauh.
Suasana kembali hening, hanya suara pena Adrian yang menggores kertas. Tapi di antara diam itu, Maya merasa jantungnya berdetak terlalu cepat—bukan karena tegang, tapi karena ia menyadari bahwa pria di depannya ini… mungkin satu-satunya harapannya yang tersisa.
kamu harus jujur maya sama adrian.