Seorang mafia ayam 🐓
Renardo adalah seorang pria yang baru saja bekerja di perusahaan mafia yang aneh. sistemnya menggunakan ayam, jadi setiap pekerja punya rekan kerja ayam masing-masing untuk menjalankan tugas.
ayam-ayam bisa dilatih dan dilengkapi senjata. Para ayam juga bisa memakan obat tertentu untuk mendapat kekuatan.
Renardo yang saat itu hanya disuruh membawa ayam tanpa informasi tambahan membawa ayam jagonya yang berasal dari perternakan biasa bernama Kibo.
Akankah Renardo dan Kibo melakukan pekerjaan mereka dengan baik?
🥚 Peringatan Organisasi Ayam: Segala perdagangan obat-obatan ayam, undian ayam, atau pemerasan peternak dalam cerita ini hanya terjadi di dunia fiksi. Jika Anda mencoba di dunia nyata, Anda bukan mafia ayam… Anda hanya mencari masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radit Radit fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakek Tua di Kota
Langkahku terhenti sejak mendengar percakapan mereka tadi. Aku mendorong gerobak itu memutar, kembali menghampiri kakek itu.
"halo kek, apakah boleh kita kenalan?" tanyaku, sambil mengulurkan tangan.
"memangnya kenapa kamu bergitu peduli dengan urusan tadi?" kakek itu tidak menerima jabat tanganku, tapi balik bertanya.
"karena aku tertarik dengan hal itu, mungkin aku bisa membantu. Lagipula... Aku juga sebenarnya adalah penjahat." kataku menjelaskan.
"untuk apa aku peduli ke seseorang yang mengakui dirinya penjahat?" kakek itu tetap tidak peduli, balik kanan hendak kerumah.
"tapi tadi kakek sendirikan yang bilang, tidak semua orang yang kamu kira jahat itu benar-benar jahat." perkataanku membuat kakek itu menghentikan langkahnya.
"kamu jeli juga ya ternyata." kakek itu tersenyum kembali membalikkan badannya menghadap ke arahku.
"baiklah kalau begitu, apa yang mau kamu ketahui?" tanya kakek itu.
"aku hanya mau tau. Kenapa kakek benar-benar berfikir kalau orang tadi itu hanya kena tuduhan?" tanyaku.
"dia putraku. Karena aku tau sejak dulu kalau dia itu orang baik, walau sudah dewasa dia jarang melakukan hal-hal buruk yang dilakukan orang-orang di usianya." jelas kakek itu.
"tapi kan, kalau semua orang yang kita jahat bukan berarti benar-benar jahat. Berarti kebalikannya juga ada, seseorang yang dikira baik belum tentu benar-benar baik." kataku.
Kakek itu menghela nafas. "itu benar, aku juga tidak tau sebenarnya dia memang melakukan itu atau tidak. Karena dia juga jarang sekali di daerah-daerah sepi, apalagi untuk menjual hal seperti itu."
"dan juga kalau kamu, tadi kenapa mengakui dirimu penjahat?" tanya kakek itu, kali ini dia menatapku curiga.
"e-eh, bukan apa-apa kok." aku buru-buru bela diri.
"ngomong-ngomong. Kakek tau soal pemalsuan sidik jari itu dari mana?" aku memutuskan untuk mengalihkan topik.
"dikira mentang-mentang aku sudah tua aku ngak update soal teknologi? Jangan salah ya, aku tau banyak soal teknologi zaman sekarang, banyak yang berguna, tapi bisa juga digunakan untuk kejahatan." jawabnya.
"oh... Baguslah kalau begitu. Aku duluan dulu ya kek, masih ada pekerjaan." kataku, sambil kembali memegang pegangan gerobak ayam.
"iya, hati-hati." jawab kakek itu dengan tangan melambai saat aku membalikkan jalur gerobakku ke jalur semula.
Aku mengangguk untuk menjawab salam perpisahan dari kakek itu. Lalu tanganku kembali mendorong gerobak itu kembali ke rumahku.
Sampai akhirnya tiba dirumahku. Kedua orang tuaku sudah menunggu di teras rumah.
Mereka berdua tersenyum menyambutku. Aku juga tersenyum melambaikan tanganku kepada mereka.
Sebelumnya lewat ponsel juga sudah kuberitahu mereka kalau aku akan pulang hari ini.
Aku ini anak tunggal, dan sampai sekarang masih tinggal bersama orang tuaku. Hidup selalu didampingi mereka, Jadi wajar jika saling rindu setelah berpisah satu bulan.
Aku meletakkan gerobaknya di depan teras rumah dulu. Memutuskan menjabat tangan mereka berdua dulu.
"bagaimana pekerjaanmu, apakah lancar?" tanya ibuku.
"jelas saja, coba lihat dia membawa sepuluh ayam begitu. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengabarkan kalau pekerjaannya lancar." ayahku tertawa.
"ya-ya-ya... Apapun itu yang penting kamu sehat dan selamat sampai kesini sekarang." balas ibuku.
"benar... Pekerjaanku cukup lancar. Aku taruh dulu ya ayam-ayamku ini ke kandangnya." kataku sambil memegang kembali gerobak kandang ayamku.
"iya, silahkan." jawab ayahku.
"oh ya, ayam-ayammu yang lama juga masih sehat. Kami beri makan terus setiap harinya." jawab ibuku.
Aku tersenyum mengangguk. Lalu kembali mendorong gerobakku ke halaman belakang rumah.
Sesampai di kandang ayam belakang rumah. Dua ayam sudah menunggu, dan ada lima anak ayam baru.
Aku tertawa. Kalau begini ayamku sudah ada tujuh belas, ditambah Kibo jadi delam belas. Perkembangan yang pesat dalam sebulan.
"Hei Kibo, bangun." aku menepuk pelan badan Kibo yang tertidur di tumpukan kandang ayamnya.
Bisa-bisanya dia tertidur dengan keributan yang ada di jalanan kota. Sepertinya tadi dia bosan mendengarkan pembicaraanku ke kakek tadi.
Baru setelah aku tepuk pelan badannya. Kibo terbangun, dia mengerti dan langsung turun dari tumpukan kandangnya.
Aku meletakkan gerobak berisi sepuluh ayam beserta kandangnya di samping kandang ayam yang lebih besar.
Ini kandang ayamku yang dipagari dengan pagar kayu. Tapi ruangan kecil untuk ayamnya baru ada tiga, mungkin aku bisa sekalian coba membuat kandang kecil lagi untuk ayam lain nantinya.
Untuk sekarang. Aku mengambil satu-persatu kandang ayamnya, memindahkannya kedalam kandang kayu, lalu membuka dan melepaskan ayamnya.
"kalian jangan bertengkar ya." kataku saat para ayam itu sudah dikeluarkan.
Ayam lamaku dan yang kudapat dari ruangan hadiah undianku mulanya saling tatap dulu. Karena masih asing.
Tapi untungnya mereka tidak saling berkelahi. Aku memutuskan membawa kandang-kandang besinya kembali besok.
Karena bisa jadi untuk membawa ayam lainnya di hadiah undianku. Sementara ayam yang belum punya kandang kecil, bisa tidur di lahan kandang kayunya dulu.
Aku memberikan semua ayam-ayamku makan. Termasuk Kibo yang makannya diluar kandang kayu.
Aku tidak mengizinkan Kibo masuk. Nanti malah bisa diganggu ayam lain kacamatanya.
Karena Kibo sejak pertama kali bekerja di mafia ayam. Masih terus memakai kacamata itu hingga sekarang.
Itu dari penyamaran kami saat misi memeras peternak pertama kami. Aku juga masih menyimpan kacamataku.
Setelah itu aku memasuki rumah lewat pintu belakang.
"kenapa ayamnya dibawa ke dalam Nardo?" tanya ibuku sambil menunjuk Kibo.
Panggilan Nardo memang dipakai orang tuaku sejak masih kecil. Itu panggilan khusus dari mereka.
"tenang aja buk, Kibo udah terlatih, dia ngak bakal ganggu kok di dalam rumah." kataku.
Atau lebih tepatnya, aku tidak mau Kibo malah keliling entah kemana. Nanti malah susah mencarinya.
"oke." jawab ibuku, untungnya diizinkan.
Setelah itu aku hendak dibantu kedua orang tuaku mengemasi barang di kamarku, tapi aku menolaknya.
"tidak apa kok, aku kayaknya bakalan cuman satu malam disini. Soalnya masih ada tugas lain di kantor, jadinya gak perlu diberesin agar mudah bawanya besok." kataku sambil tersenyum.
Kedua orang tuaku mengangguk. Walau jelas ada sedikit kekecewaan tergambar di wajah mereka.
Aku tidak bisa ambil resiko berlibur lama. Karena aku belum tau bagaimana ketentuan berlibur di mafia ayam.
Nanti bisa-bisa aku dipecat tanpa sadar. Jadi mungkin aku akan menginap lamanya saat memang ada liburan panjang.
Kegiatan selanjutnya berlangsung lancar. Kami melakukan kegiatan seperti keluarga biasanya yang baru bertemu anggota keluarga yang telah lama berpisah.
Krang tuaku menanyakan tentang pekerjaanku. Aku menjawab sebisanya tanpa menyebutkan kata "mafia" dengan jelas.
Mereka juga pernah bertanya kenapa Kibo pakai kacamata. Aku mengarang kalau di tempat kerjanya ayam harus modis dan sebagainya.
Tapi aku merasa senang bisa pulang walau untuk sementara. Karena aku bisa kembali ke suasana yang sudah lama tidak aku temui.
Saat malam, aku mengurung Kibo di kandang besi kecil. Itu tempat tidurnya untuk malam ini.
Baru di keesokan harinya. Aku berpamitan dengan mereka berdua di pagi hari.
Jujur saja aku juga sedih harus pergi sore pulang pagi. Jadinya terlalu cepat.
Walau salahku juga karena tidak mencari informasi tentang liburan. Aku dan Kibo kembali ke bangunan mafia ayam kami.