Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 – Menara Tenebris
Menara Tenebris berdiri menjulang di tengah kota Drakthar, meski tubuhnya penuh retakan dan batu-batu hitamnya nyaris runtuh. Dari kejauhan saja, bangunan itu tampak seperti luka menganga di langit kelabu.
Saat rombongan Kael mendekat, hawa dingin semakin menusuk. Suara bisikan samar terdengar, bukan hanya di kepala Kael, tapi kini juga menggema di telinga yang lain.
Lyra menoleh cepat ke kanan dan kiri. “Kalian mendengarnya juga, kan?”
Soren mendengus. “Ya, suara-suara aneh. Seperti orang berdoa… atau meratap.”
Elira mengangguk muram. “Itulah doa Pemuja Malam yang masih terikat di sini. Ritual mereka meninggalkan gema abadi. Semakin dekat kita ke menara, semakin kuat bisikan itu.”
Kael menggenggam pedangnya lebih erat. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah tanah itu sendiri mencoba menariknya ke bawah. Tapi panggilan dari menara membuatnya tak bisa berhenti.
---
Gerbang besar Menara Tenebris sudah roboh, meninggalkan celah lebar yang menyerupai mulut raksasa. Begitu mereka melangkah masuk, kegelapan pekat menyambut.
Obor kecil yang dibawa Elira menyala, memperlihatkan dinding batu hitam penuh ukiran. Relief-relief itu menggambarkan manusia berlutut di hadapan sosok bayangan besar, dengan lingkaran hitam di belakangnya.
Lyra mengerutkan alis. “Semua ukiran ini… mereka memuja sesuatu yang jelas bukan dari dunia ini.”
Elira menelusuri dinding dengan jari. “Menurut catatan kuno, mereka menyebutnya Erebos—bayangan purba, asal mula semua kegelapan. Gerbang Bayangan hanyalah pintu kecil yang menghubungkan dunia kita dengan kekuatan itu.”
Soren mendengus sinis. “Dan mereka benar-benar cukup bodoh untuk membuka pintu itu? Tak heran kota ini hancur.”
Kael menatap relief itu lama. Ada bagian tertentu yang terasa hidup, seperti bergerak. Matanya hampir tak bisa berpaling, hingga Lyra menepuk bahunya.
“Kael. Jangan terlalu lama menatap. Ukiran itu bisa menjerat pikiranmu.”
Kael mengangguk pelan, meski dalam hati ia mendengar suara lain: “Aku menunggumu di dalam, Kael. Kau adalah pewaris yang mereka gagal ciptakan.”
---
Mereka naik ke lantai-lantai menara melalui tangga batu berdebu. Setiap langkah menimbulkan gema panjang. Lantai pertama dipenuhi reruntuhan meja altar, sisa lilin hitam, dan lingkaran ritual berkarat.
Di lantai kedua, mereka menemukan deretan patung batu. Wajah patung-patung itu semuanya sama: kosong, tanpa mata, mulut menganga.
“Ini…” Elira bergumam, “patung para pendeta bayangan. Konon, saat ritual terakhir gagal, tubuh mereka berubah jadi batu, tapi jiwa mereka masih terjebak di dalamnya.”
Tiba-tiba, salah satu patung bergerak. Dari mulut yang terbuka, keluar suara serak:
“Gerbang… harus dibuka… pengorbanan belum cukup…”
Patung itu bergetar, lalu retak, pecah menjadi kabut hitam yang menyerang mereka.
Soren berteriak, “Sial! Mereka hidup!” dan langsung menebas kabut dengan kapaknya.
Lyra meluncurkan panah bercahaya, Elira membacakan mantra pengikat, sementara Kael merasakan pedangnya bergetar, seolah haus untuk memakan bayangan itu.
Pertarungan berlangsung cepat, dan akhirnya kabut itu lenyap. Tapi seluruh patung di ruangan mulai bergetar, bersuara serentak, menciptakan gema yang menggetarkan menara:
“Gerbang akan terbuka… darah baru… pewaris bayangan…”
Mereka semua menoleh pada Kael. Wajah Lyra tegang, Elira pucat, dan Soren menggertakkan gigi.
“Pewaris…? Mereka bicara tentangmu, Kael,” ucap Lyra pelan.
Kael terdiam. Hatinya bergetar hebat, karena di dalam dirinya Umbra tertawa lirih.
“Kau mendengarnya sendiri. Takdir tak bisa kau tolak.”
---
Akhirnya mereka tiba di lantai puncak. Ruangan itu luas, dengan langit-langit runtuh yang memperlihatkan langit kelabu. Di tengah ruangan, sebuah altar hitam berdiri.
Altar itu retak, namun dari celahnya muncul cahaya gelap berputar—sebuah pusaran kecil, nyaris seperti mata.
Elira menelan ludah. “Itu… pecahan Gerbang Bayangan. Sumber kutukan yang masih aktif.”
Kael melangkah mendekat. Tubuhnya bergetar hebat, matanya terpaku pada cahaya hitam itu.
Soren menahan bahunya. “Jangan, Kael! Jangan dekati itu!”
Tapi sudah terlambat. Suara dari dalam pusaran bergema jelas, lebih kuat dari sebelumnya:
“Kau telah kembali, pewaris. Kau adalah kunci. Datanglah… buka pintu…”
Kael menutup matanya, menahan bisikan itu. Namun di dalam dirinya, ia tahu—menara ini hanyalah gerbang awal. Yang sebenarnya masih menunggu jauh di bawah.
---