NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:572
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Muka dua

Vera terhenyak setelah tamparan itu, namun buru-buru menegakkan tubuhnya. Dengan wajah yang memerah bukan hanya karena tamparan, tapi juga emosi dan rasa malu, ia bersuara keras.

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa, Tasya! Jangan seenaknya nuduh aku tanpa bukti jelas!" sergahnya, matanya melotot menahan panik.

Tasya mendengus, napasnya masih memburu. "Jangan pura-pura nggak tahu, Vera. Kamu sengaja ngunci aku di gudang dengan alasan konyol kamu! Dan gara-gara kamu ..." suaranya tercekat, tapi ia buru-buru menguatkan diri, "aku hampir jadi korban peleceh4an!"

Fira buru-buru menahan bahu Tasya, berusaha menenangkan. "Tasya, tolong tenang dulu. Aku tahu kamu syok. Tapi sekarang kamu nggak ada bukti kuat untuk nunjuk Vera …" katanya lirih, takut keadaan makin memanas.

Revan melangkah maju, suaranya tegas. "Cukup!" Semua tatapan langsung tertuju padanya. "Fira, tolong bawa Tasya masuk ke dalam villa. Biar dia istirahat dulu."

Fira mengangguk, lalu perlahan menggiring Tasya yang masih menatap Vera dengan sorot penuh amarah.

Sementara itu, Revan menoleh pada warga yang masih berdiri di dekat pria asing yang sudah dilumpuhkan. "Tolong amankan dia baik-baik. Pastikan dia nggak bisa kabur. Saya akan urus laporan lebih lanjut."

Tak lama kemudian, semua anggota tim berkumpul di aula villa. Udara di dalam ruangan terasa berat, seakan dinding pun ikut menahan ketegangan yang ada. Revan berdiri di depan, mencoba terlihat profesional meski wajahnya tetap menyimpan kekhawatiran.

"Aku nggak mau tim ini retak gara-gara masalah pribadi," ucapnya dengan nada menahan emosi. "Maka malam ini, aku ingin semuanya bicara di sini. Supaya jelas."

Tasya duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya, sorot matanya tak pernah lepas dari Vera. Sementara Vera menatap ke arah sebaliknya, namun berusaha tetap lantang.

"Aku sama sekali nggak ada hubungannya dengan hilangnya Tasya," kata Vera tegas, meski nadanya terdengar sedikit bergetar.

"Pembohong!" balas Tasya dingin. "Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan terkunci di gudang. Kamu mau aku ngomong di sini alasan kamu ngunci aku, hah?"

Ruangan menjadi sunyi. Semua orang menahan napas, menunggu apa langkah Revan selanjutnya.

Semua mata kini tertuju pada Tasya. Napasnya memburu, wajahnya memerah karena amarah dan luka batin yang baru saja ia alami. Dengan suara bergetar, ia akhirnya buka suara.

"Alasan Vera ngunci aku di gudang itu karena cemburu," ucap Tasya lantang, membuat semua orang terkejut. "Dia nggak suka aku bisa dekat sama Revan!"

Vera tersentak, tapi cepat-cepat tersenyum miring, seolah menutupi rasa paniknya. "Astaga, Tasya … kamu sadar nggak kamu lagi ngomong apa? Aku cemburu sama kamu? Untuk apa? Aku ini udah punya tunangan dan sebentar lagi mau nikah!"

Beberapa orang di aula berbisik-bisik, wajah mereka dipenuhi kebingungan. Vera melangkah maju sedikit, nadanya terdengar meyakinkan. "Bahkan Fira kenal sama tunanganku. Fira, bilang sama semua orang kalau kamu kenal sama tunanganku."

Semua tatapan kini berpindah ke Fira. Gadis itu tampak gelisah, menunduk sesaat sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya … aku kenal tunangannya Vera. Mereka memang sudah lama bertunangan."

Ucapan itu membuat dada Tasya serasa dihantam keras. Matanya melebar, sulit menerima kenyataan bahwa kata-katanya seakan dipatahkan di depan semua orang.

Vera mendengus kecil, lalu menatap Tasya dengan sorot penuh simpati palsu. "Tasya … aku ngerti banget kamu lagi dalam tekanan besar. Kerjaan kita belakangan ini berat. Ditambah kamu sempat mengalami kejadian nggak menyenangkan barusan. Wajar kalau kamu jadi halu, melihat orang lain sebagai musuh."

"Vera!" Tasya membentak, matanya berkilat penuh amarah. "Aku nggak halu! Kamu pikir aku segitu lemahnya sampai harus bikin cerita ngawur?!"

Tapi Vera tetap berdiri tenang, bahkan menoleh ke arah tim lain. "Aku bener-bener kasihan sama dia. Tekanan kerja jelas bikin dia capek. Aku cuma berharap dia bisa istirahat dan nggak terus-terusan nyalahin orang lain."

Ruangan menjadi semakin sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang terasa begitu lambat. Semua orang saling berpandangan, bingung harus berpihak ke siapa.

Revan menghela napas panjang, matanya menyapu semua orang sebelum akhirnya berhenti di wajah Tasya. Wajah yang masih dipenuhi luka, tapi juga keberanian.

Dia akhirnya menengahi keributan, suaranya tegas namun tetap tenang. "Cukup. Semuanya masuk kamar masing-masing, istirahat."

Mau tidak mau, semua mengikuti. Pintu kamar satu per satu tertutup, menyisakan keheningan.

Di dalam kamar, Fira duduk di sisi ranjang Tasya. Wajahnya penuh penyesalan.

"Tasya … maafin aku, ya. Aku memang kenal sama tunangannya Vera."

Tasya menatap sahabatnya sebentar, lalu mengangguk singkat. "Nggak apa-apa, Fir. Kalau kamu memang kenal sama tunangannya Vera, ngapain kamu minta maaf sama aku?"

Fira tersenyum tipis, lalu meraih tangan Tasya yang terluka. "Sini, aku bantu obatin."

Tasya segera menarik tangannya. "Nggak usah, aku bisa sendiri." Suaranya dingin, tapi Fira memilih tidak memaksa. Ia bangkit, hendak memberi ruang.

Saat itulah pintu kamar terbuka. Revan masuk dengan langkah mantap.

"Fira, bisa keluar dulu? Aku mau ngobrol sama Tasya berdua."

Fira sempat ragu, tapi akhirnya menuruti. Pintu menutup pelan, menyisakan keheningan di antara mereka. "Jangan lama-lama."

Revan duduk di kursi dekat ranjang. Pandangannya jatuh pada luka di tangan Tasya. "Sini, aku obatin," katanya sambil meraih kotak P3K.

"Aku bilang nggak usah! Aku bisa sendiri!" Tasya menepis dengan nada dingin.

Revan terdiam sejenak, lalu menatapnya dalam. "Sya, aku percaya sama ucapan kamu."

Kalimat itu bukannya menenangkan, justru membuat hati Tasya semakin panas. Ia bangkit, menatap Revan dengan mata berkaca-kaca. "Kalau kamu percaya, kenapa tadi kamu diem aja?! Kenapa kamu nggak belain aku?!"

"Anastasya ..." Revan hendak menjawab, tapi Tasya lebih dulu mendorong tubuhnya.

"Keluar! Aku bilang keluar dari kamar ini" serunya dengan nada tinggi. "Aku nggak butuh kamu di sini!"

Revan bergeming. "Kalau kamu mau marah, marah sama aku. Kalau kamu mau mukul, mukul aja aku. Luapin semuanya sama aku! Tapi jangan suruh aku pergi dari sini, Sya."

Tasya kembali mendorongnya, lebih keras kali ini. "Aku benci kamu, Revan!" Air matanya mulai jatuh.

Revan tetap tidak bergerak. Suaranya rendah, bergetar, tapi tegas. "Sekeras apa pun kamu paksa aku untuk pergi, aku nggak akan pergi. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Jadi kalau kamu harus meluapkan semua marahmu ke aku, lakukan. Aku tetap di sini."

Tasya terdiam, dadanya naik turun karena emosi. Tangannya masih gemetar, air matanya terus mengalir. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ditahan bukan dengan genggaman, tapi dengan ketulusan.

Keduanya terdiam, saling menatap tanpa kata. Mata Tasya basah, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Hatinya campur aduk antara marah, sakit, dan lelah.

Melihat itu, dada Revan ikut sesak. Sekuat apa pun ia mencoba menahan diri, ia tak kuasa lagi. Perlahan, ia melangkah mendekat. Tanpa meminta izin, Revan merengkuh Tasya dalam dekapannya.

Pelukan itu erat, seolah ingin menenangkan badai yang sedang berkecamuk di hati wanita yang ia cintai.

"Maafin aku, Sya."

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!