"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Liburan
"Astaga, mau liburan kok mendadak bilang. Kalau aku tahu aku akan ikut kalian," protes Justin saat mengantar Jessy ke bandara.
"Sori, Justin. Satu minggu ini Fika bakalan jadi pacarku dulu," ledek Fika.
Fika merangkul erat lengan Jessy seraya menyandarkan kepala dengan manja. Ia sangat bahagia liburan kali ini akan dilewati bersama teman baiknya.
Justin merasa kalah kali ini dengan Fika. Seandainya tidak ada jadwal pertandingan tim basket, ia pasti akan memaksa ikut Jessy ke Inggris.
"Fik, jangan ajari pacarku hal yang aneh-aneh, ya! Awas kamu!" ancam Justin.
"Ye! Memangnya aku kelihatan anak nakal?" Fika menjulurkan lidah meledek.
"Jess, hati-hati di sana nanti. London banyak penjahatnya." Justin memberikan nasihat.
"Jangan terlalu khawatir deh, Jessy kan jago Bahasa Inggris, dia tidak akan hilang di sana. Santai saja ...."
Salah satu alasan Fika mengajak Jessy karena temannya itu mahir berbahasa asing. Ia tidak akan kesulitan jika ingin berbelanja sendiri tanpa Leon. Kesibukan pekerjaan tidak akan memungkinkan Leon untuk terus menemaninya di sana nanti.
"Tapi Jessy bisanya American English, Fika, bukan British!"
"Memang bedanya apa? Yang penting kan bahasanya sama-sama Inggris!" kata Fika dengan polos.
Justin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Fika terlihat bodoh sebagai orang yang katanya sudah beberapa kali pergi ke luar negeri. Ia heran mendengar cerita Fika bisa pergi ke luar negeri sendiri padahal tidak bisa berbahasa asing.
"Sudahlah, jangan terlalu khawatir. Aku akan baik-baik saja," kata Jessy menenangkan.
"Ya sudah, selamat liburan. Kalian harus pulang dengan selamat," kata Justin.
Jessy memberikan pelukan perpisahannya kepada Justin selama beberapa saat. Fika yang melihat jadi iri dan ingin segera bertemu pacarnya, Leon. Apalagi saat melihat kedua muda-mudi itu saling berciuman tanpa sungkan di hadapannya.
"Sudah, Jess! Kita masuk! Nanti keburu pesawatnya berangkat!" gerutu Fika.
Jessy dan Justin mengakhiri ciumannya. Keduanya saling beradu tatap seolah enggan untuk berpisah.
"Aku pergi dulu," pamit Jessy dengan berat hati.
Ia berjalan mengikuti Fika menuju antrean pemeriksaan tiket. Pandangannya terus tertuju pada Justin yang melambaikan tangan padanya, hingga akhirnya tak terlihat karena Jessy telah masuk ke bagian pengecekan barang.
Fika membelikan tiket kelas bisnis yang sangat nyaman. Pengalaman pertama Jessy naik pesawat langsung disuguhi dengan fasilitas mewah di pesawat.
"Bagaimana, Jess, enak kan, naik pesawat?" tanya Fika sembari meneguk segelas wine dintangannya.
Fika duduk di sebelah Jessy. Dengan gayanya yang sok anggun, temannya itu berlagak seperti orang kaya. Jessy hanya senyum-senyum melihatnya.
"Kalau di kampus penampilanmu tidak sekeren ini, Fik," kritik Jessy.
"Kalau aku berpenampilan se ksi seperti ini, nanti banyak yang naksir. Mas Leon bisa marah," katanya.
Fika yang biasanya lebih memilih penampilan casual. Kali ini, ia tampil modis, se ksi, dengan make up tebal dan berani.
"Berapa lama kita akan sampai?"
"Sekitar 15 jam."
"Hah, 15 jam?" Jessy agak kaget mendengarnya.
"Santai saja, Jess. Aku sudah sering bolak-balik luar negeri, aman kok ...." Fika berusaha menghilangkan kepanikan Jessy. Kalau sampai Jessy minta turun di tengah penerbangan, bisa repot seluruh pesawat.
"Lama banget, ya! Kalau kehabisan bensin bagaimana?" pikir Jessy.
"Hahaha ... Di depan ada pom bensin kok, Jess. Tenang ...." Fika tertawa mendengar kekonyolan Jessy.
"Jangan bercanda kamu, Fik! Apa nanti kita akan transit dulu?"
"Tidak, pesawat ini akan langsung terbang ke Inggris tanpa transit."
Jessy semakin memikirkan hal yang tidak-tidak seperti jika pesawat macet atau kehabisan bensin dalam perjalanan yang terhitung lama itu.
"Sudahlah, kamu tidak usah banyak pikiran. Aku mengajakmu jalan-jalan untuk bersenang-senang. Lupakan dulu bebanmu."
"Aku hanya bercanda, pesawat ini sudah memperkirakan jarak tempuh dan kebutuhan bahan bakarnya. Kamu tidak usah khawatir. Di atas sini kita juga tidak akan kekurangan makanan, nanti akan disajikan oleh para pramugari."
Tak berselang lama setelah perbincangannya dengan Fika, waktu makan telah tiba. Pramugari yang bertugas berkeliling membagikan makanan kepada penumpang.
Seperti yang Fika bilang, Jessy tidak akan kelaparan. Bahkan menu yang dihidangkan setara dengan menu-menu hotel bintang lima. Rasanyapun enak. Pelayanan di kelas bisnis memang memuaskan penumpang.
Usai menyantap makanan, Jessy kembali merasa sedih. Jessy memikirkan uang kuliahnya yang belum terbayar. Ia juga memikirkan biaya perawatan Nino di rumah sakit.
Uang 20 juta yang digunakan untuk membantu Pak Dasiran ternyata masih jauh dari kata cukup. Selain harus memikirkan cicilan bank, Pak Dasiran dibebani biaya tagihan perawatan Nino. Belum lagi rencana operasi cangkok ginjal senilai ratusan juta yang harus dipersiapkan jika ingin Nino sembuh.
Ingin rasanya Jessy fokus pada diri sendiri, egois memikirkan dirinya sendiri, namun tidak bisa. Padahal Pak Dasiran juga sudah merasa pasrah jika Nino harus meninggal jika tak mampu membayar biaya operasinya.
Ketika Jessy berusaha ingin menyelamatkan kuliah dan nyawa Nino, sepertinya kedua hal itu akan sia-sia. Jessy tak punya uang untuk menyelesaikan masalahnya.
Setelah memalui perjalanan selama 15 jam, akhirnya pesawat mendarat di negara tujuan, Inggris. Ini pertama kalinya Jessy berpergian sangat jauh.
Di bandara, mereka dijemput oleh Leon, pacar Fika. Ini juga pertama kali Jessy bertemu langsung dengan sosok lelaki yang sering Fika ceritakan kepadanya.
Secara tampilan, Leon lebih cocok menjadi ayah atau paman Fika. Usianya sekitar 40 tahunan, dua kali lipat dari umur Fika. Namun, Jessy tak mau banyak berkomentar. Temannya itu tampak bahagia saat bertemu dengan Leon.
"Sayang, kenalkan, ini yang namanya Jessy," kata Fika memperkenalkan temannya kepada Leon.
"Halo, Jessy. Fika banyak bercerita tentangmu. Terima kasih sudah menjadi teman baik untuknya," kata Leon sembari mengulurkan tangannya. Leon terlihat seperti orang yang ramah.
Jessy membalas jabatan tangan itu. "Terima kasih juga Anda sudah mengizinkan saya datang bersama Fika ke negeri ini," ucap Jessy.
Keduanya dibawa menaiki mobil milik Leon. Ia mengantarkan mereka ke hotel yang telah disewa. Tentunya kamar Fika dan Jessy terpisah.
Jessy tahu diri jika Fika akan sekamar dengan Leon. Mereka sudah lama tidak bertemu, pastinya akan saling melepas rindu.
Jessy menikmati kesendiriannya di dalam kamar hotel yang cukup luas. Hotel yang ditempatinya tergolong hotel mewah. Ia bahkan bisa melihat Tower Bridge yang menjadi ikon London dari balik jendela kamarnya.
Memikirkan hubungan antara Fika dan Leon yang terlihat bahagia, terlintas keinginan di pikirannya untuk menjadi seperti Fika. Kehidupan Fika kelihatannya enak, segalanya tercukupi.
"Andai ada yang mau menjamin kehidupanku juga," guman Jessy. Ia menyandarkan kepalanya pada jendela sembari memandangi suasana sore Kota London yang indah.
realistis dunk