Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Family Gathering
Hari ini adalah hari yang cukup ditunggu para karyawan: family gathering tahunan Vance Corporation. Tahun ini, acara digelar di sebuah resort mewah di luar kota — tempat yang cukup jauh dari hiruk-pikuk kota, dikelilingi pepohonan pinus dan udara yang jauh lebih sejuk.
Daren memutuskan untuk membawa keluarganya.
Weekend, acara santai, dan yang terpenting: Arunika tidak perlu bolos sekolah.
---
Pagi itu, Daren menutup koper kecil mereka dan menatap Selena yang sedang membantu Arunika memakai jaket tipis.
“Sudah siap, sayang?” tanya Daren sambil meraih tas ransel kecil putrinya.
Arunika mengangguk cepat, rambut kuncirnya bergoyang lucu.
“Siap! Aru mau lihat kolam renangnya!”
Selena tersenyum kecil, tetapi Daren sempat menangkap sesuatu yang aneh di matanya. Sejak semalam, Selena terlihat… terlalu banyak menghela napas. Terlihat waspada. Seolah jauh di dalam dirinya, ada hal yang membuatnya tak sepenuhnya tenang.
Namun ia tidak mendesak.
Ia berharap suasana baru ini bisa membuat Selena lebih rileks.
---
Mobil melaju mulus di jalan tol, melewati deretan pepohonan dan langit pagi yang masih pucat. Arunika sudah tertidur di kursi belakang, kepalanya bersandar miring dengan boneka kesayangannya dipeluk erat.
Daren melirik ke arah Selena yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela sambil mengusap perutnya pelan.
“Sayang…” panggil Daren lembut.
“Perut kamu gimana? Aman? Ada yang sakit nggak? Dedek bayinya nggak rewel kan?”
Selena menoleh, lalu tersenyum kecil. Senyum lembut yang selalu membuat hati Daren menghangat.
“Nggak kok, Mas. Perutnya cuma agak kenceng dikit, tapi nggak sakit,” jawab Selena sambil membetulkan posisi duduknya. “Dedeknya juga anteng banget dari tadi.”
Daren mengangguk, tapi sorot matanya jelas masih khawatir.
“Kamu pasti nggak capek? Jalanan lumayan jauh loh.”
“Enggak,” Selena menggeleng. “Aku malah seneng bisa ikut. Sekalian refreshing. Butik juga lagi nggak terlalu penuh pesanan.”
Daren tersenyum lega.
“Bagus kalau kamu seneng. Aku juga pengin kamu rileks. Gathering ini kan acara santai, nggak ada presentasi, nggak ada formalitas. Paling cuma main sama keluarga besar kantor.”
“Dan makan-makan,” sahut Selena sambil terkekeh kecil.
Daren tertawa. “Iya. Dan makanan buffet hotel yang kamu tunggu.”
Selena mencibir sambil menahan tawa. “Halah, Mas. Yang ngidam kan bukan aku, tapi bayi ini.”
Ia mengusap perutnya lembut.
Daren ikut melirik perut istrinya dengan penuh sayang.
“Dedek pintar banget, ya. Nggak rewel, tapi doyan makan.”
“Kayak bapaknya,” Selena menggoda.
“Loh?” Daren memasang muka pura-pura tersinggung. “Masa dedek bayi baru sebiji gini udah ikut diajarin nuduh?”
Selena tertawa kecil akhirnya menyerah, menggenggam tangan Daren.
“Tapi serius, Mas… aku bahagia banget hari ini. Rasanya kayak… akhirnya bisa jalan bareng lagi tanpa mikir kerjaan.”
Daren mengusap punggung tangan istrinya dengan ibu jarinya, pelan dan lembut.
“Aku juga, sayang. Kamu, Aru, sama dedek bayi… itu alasan terbesar aku semangat kerja.”
Selena menatap suaminya dengan tatapan hangat, mata berkaca sedikit—bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang mengembang di dadanya.
“Aku sayang banget sama kamu, Mas,” bisiknya.
Daren menoleh dan tersenyum miring, mata teduhnya penuh cinta.
“Aku lebih sayang sama kamu.”
Mobil melaju pelan memasuki gerbang resort.
Udara pegunungan menyambut mereka, dingin dan bersih. Arunika mulai terbangun dan mengucek mata, langsung berseru pelan melihat bangunan hotel besar dengan taman luas.
“Waaah! Kita udah sampai? Besar banget!” serunya heboh.
Daren tertawa. “Iya, Aru. Hari ini kita main sepuasnya.”
Selena mengelus kepala putrinya.
“Mamah juga mau jalan-jalan sama Aru. Tapi pelan-pelan ya, mamah lagi bawa dedek.”
Aru mengangguk cepat. “Aru janji nggak lari-lari!”
Daren menatap kedua gadis kecilnya — istrinya dan putrinya — dan hatinya seolah penuh sampai meluber.
Inilah keluarganya.
Dunianya.
Dan hari itu baru saja dimulai.
---
Dengan koper kecil di tangan dan Arunika yang berjingkrak pelan saking semangatnya, keluarga kecil itu memasuki lobi resort. Aroma kayu pinus bercampur wangi kopi pagi menyambut mereka. Langit-langit tinggi, jendela kaca besar, dan suara air pancuran membuat tempat itu terasa hangat sekaligus mewah.
Arunika menatap sekeliling sambil menganga.
“Mamah… lihat! Ada kolam ikan!” serunya menunjuk ke kolam kecil di tengah lobi.
Selena terkekeh. “Iya, cantik ya? Nanti kita lihat setelah check-in.”
Daren melapor ke resepsionis.
“Nama Daren Aurelio Vance, dua dewasa satu anak.”
Petugas tersenyum, mengecek komputer.
“Selamat datang, Pak Daren. Room 702, sudah kami siapkan. Kamarnya menghadap hutan pinus ya, Bu.”
Selena mengangguk kecil. “Wah, bagus banget pasti.”
Setelah menerima kartu kamar, mereka naik lift. Arunika berdiri di tengah, memegang kedua tangan orang tuanya sekaligus, melonjak-lonjak kecil setiap lantai berganti angka.
“Mas, nanti acara gathering jam berapa?” tanya Selena begitu pintu lift terbuka.
“Mulai jam empat sore, outdoor. Games keluarga sama barbeque,” jawab Daren sambil membuka pintu kamar. “Pagi sampai siang kita bebas.”
Selena tersenyum lega. “Syukurlah, jadi bisa istirahat dulu.”
---
Kamar hotelnya luas
Terdapat ranjang king size, sofa empuk, dan balkon yang menghadap ke panorama pinus memanjang sejauh mata memandang. Arunika langsung berlari ke jendela dan menempelkan wajahnya ke kaca.
“Mamah! Lihat! Banyak pohon tinggi!”
Selena tertawa kecil. “Iya, sayang. Besok pagi kita bisa jalan-jalan ke bawah situ.”
Daren meletakkan koper dan memeriksa ruangan, memastikan semuanya aman dan bersih. Kebiasaan seorang ayah yang perfeksionis, terutama sejak Selena hamil.
“Kamu duduk dulu, Sel. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk sofa.
Selena mengangguk, melepas sepatu dan duduk perlahan sambil mengusap perutnya. “Aduh… enak banget rasanya duduk. Baru kerasa ternyata capek juga.”
“Aku beliin minum dulu, ya? Atau pengin teh hangat?” tawar Daren.
“Teh hangat, Mas,” jawab Selena lembut.
“Aru ikut!” seru Arunika.
Daren mengusap kepala putrinya. “Oke, tapi pelan-pelan. Jangan lari, Aru. Ingat janji kamu tadi.”
Aru mengangguk, memegang tangan ayahnya, lalu mereka keluar sebentar meninggalkan Selena sendirian di kamar.
---
Beberapa menit setelah Daren dan Aru turun…
Selena bersandar di sofa sambil mengatur napas. Ia menatap langit-langit kamar, merasakan dada yang terasa hangat… campuran antara lega dan gugup.
Ini pertama kalinya ia bepergian cukup jauh sejak kehamilan memasuki trimester kedua. Dan meski tubuhnya baik-baik saja, ada rasa takut kecil yang sulit ia kendalikan.
Tak apa… Daren ada di sini. Aru juga. Aku nggak sendiri.
Ia mengusap perutnya pelan.
“Tumbuh yang baik ya, sayang…,” bisiknya.
Perutnya baru saja bergerak sedikit ketika pintu kamar berbunyi. Selena menoleh.
Pintunya terbuka perlahan—dan wajah Daren muncul sambil membawa dua gelas kertas dan Arunika yang memegang dua biskuit.
“Ini tehnya, Nay,” ucap Daren sambil tersenyum.
“Hihihi Ma, Aru dapet biskuit gratis!” Arunika menunjukkan biskuitnya dengan bangga.
Selena tertawa kecil. “Wah, untung ya ikut ayah. Kalau Mamah yang ikut pasti cuma dapet teh.”
Arunika mendekat dan duduk di samping Selena. Daren menyerahkan teh hangat itu dengan hati-hati.
“Hati-hati panas,” ucapnya.
Selena mengangguk dan meniup perlahan sebelum menyeruputnya. Hangatnya langsung menyebar di tubuhnya, membuat seluruh ototnya terasa lebih rileks.
“Mas…” panggil Selena setelah beberapa saat.
“Hm?” Daren duduk di depannya, memperhatikan wajah Selena dengan penuh perhatian.
“Terima kasih ya… udah bawa aku sama Aru ke sini. Aku seneng banget,” ucap Selena dengan mata yang melunak.
Daren tersenyum lembut. “Ya iyalah. Kamu itu istriku. Aku cuma pengin kamu bahagia.”
Arunika yang duduk di samping Selena tiba-tiba memeluk ibunya.
“Aru juga sayang sama mamah.”
Selena terkekeh kecil sambil mengusap kepala putrinya.
“Mamah lebih sayang sama Aru.”
Daren berdiri, menghampiri keduanya, lalu memeluk mereka berdua dari depan.
Satu keluarga kecil yang saling menempel di tengah kamar hotel yang hangat.
“Yang paling aku sayang di dunia cuma kalian,” gumam Daren lirih.
Selena menatap suaminya, hatinya mencelos lembut—rasa aman yang tak pernah ia dapatkan dari siapa pun selain Daren.
---
Setelah beberapa menit saling memeluk, Daren melepaskan posisi dan berkata sambil tersenyum:
“Sekarang… ayo kita jalan-jalan keliling resort. Sebelum acara sore dimulai.”
Arunika langsung bersorak. “Ya! Ayo lihat kolam renang!”
Selena tertawa kecil dan berdiri perlahan sambil memegang pinggangnya.
“Pelan-pelan, Aru… mamah juga ikut ya.”
Dan begitu mereka keluar kamar, terasa benar bahwa perjalanan kecil ini bukan hanya tentang gathering kantor, tapi juga tentang merawat kembali kebahagiaan keluarga mereka.
---
Malam itu, suasana resort benar-benar tenang. Angin dari hutan pinus berhembus lembut, membuat tirai kamar bergoyang sedikit. Setelah acara gathering selesai—games, BBQ, dan sedikit acara musik—keluarga kecil itu kembali ke kamar hotel dalam keadaan lelah namun bahagia.
Arunika sudah tertidur pulas di ranjang kecil yang disediakan hotel. Selena juga sudah mandi air hangat dan berbaring, sementara Daren merapikan barang-barang ringan di koper.
Lampu kamar dibuat redup.
Hening.
Damai.
Hingga…
“Mas…”
Suara lirih itu memecah ketenangan.
Daren yang sedang menggulung selimut menoleh cepat. “Hm? Kenapa, sayang?”
Selena tampak meringis kecil sambil mengelus perutnya. Rambutnya masih lembap, wajahnya pucat karena ngantuk tapi… matanya berbinar aneh.
“Mas…” ulangnya, kali ini lebih pelan.
“Ya?” Daren mendekat.
Selena menggigit bibir, menatap Daren seperti seseorang yang akan mengungkapkan sesuatu yang sangat serius.
“…aku lapar.”
Daren langsung menghela napas lega.
“Kirain kenapa,” ucapnya sambil duduk di pinggir ranjang.
Selena menggeleng cepat. “Bukan lapar biasa.”
Daren langsung tahu. Ia menatap istrinya penuh kehati-hatian.
“Oh… ngidam ya?”
Selena menatapnya sangat serius.
“Mas… aku mau makan tahu gejrot.”
Daren terdiam.
Hening.
Lalu menatap jam.
00:47 AM.
“Tahu… gejrot?” ulang Daren dengan suara yang sama hati-hatinya seperti orang menanyakan lokasi bom.
Selena mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
“Yang pedas. Yang kuahnya banyak. Yang biasanya ada abang-abangnya itu loh… tapi yang di sini pasti nggak ada, ya?” suaranya mulai goyah.
Daren langsung panik. “Eh eh jangan nangis dulu! Kita pikirin dulu, ya? Kita cari cara.”
Selena mengusap mata yang mulai berair. “Maaf ya Mas… aku tau ini nggak mungkin. Udah jam segini, kita jauh dari kota. Aku cuma… kepengin banget.”
Daren berdiri.
Dengan wajah penuh tekad, seperti ksatria yang siap berangkat perang.
“Sayang. Denger aku.”
Ia memegang kedua pipi Selena.
“Selama aku hidup… aku nggak akan biarin istriku nangis cuma gara-gara tahu gejrot.”
Selena terisak kecil. “Tapi… Mas… di sini nggak ada yang jual—”
“Siapa bilang?”
Ia meraih ponselnya.
Tidak peduli jam berapa.
Tidak peduli sinyal pas-pasan.
“Mas mau ngapain…?” tanya Selena bingung.
“Pesan tahu gejrot,” jawabnya mantap.
Selena membesarkan mata. “Mas… jam segini nggak ada yang buka.”
“Tunggu di kamar. Aku keluar dulu bentar.”
“MAS DAR—”
Terlambat.
Daren sudah mengambil jaket, kunci kamar, sandal hotel, dan wajah penuh ambisi ayah dua anak yang siap menaklukkan dunia.
Selena menatap pintu kamar yang tertutup di hadapannya.
Ia sampai ingin tertawa dan menangis sekaligus.
“Tuh kan… Masnya gitu lagi…” gumamnya sambil menyeka air mata kecil yang entah karena ngidam atau karena terharu.
---
20 menit kemudian…
Pintu kamar terbuka.
Selena langsung menoleh, separuh yakin Daren kembali dengan tangan kosong.
Tapi…
Daren masuk sambil mengangkat sesuatu dengan wajah bangga campur lelah:
SEKOTAK TAHU GEJROT.
Selena sampai duduk tegak dengan mulut terbuka.
“Mas… MAS… itu dari mana???”
suaranya naik satu oktaf.
Daren menutup pintu, mengatur napas seperti habis sprint marathon.
“Ada pegawai dapur malam. Aku bilang istriku ngidam. Dia kasihan, Masakan staf. Bukan tahu gejrot asli… tapi kuahnya mirip. Aku suruh pedesin.”
Selena sampai menutup wajah, antara terharu dan ingin ketawa.
“Mas beneran sampai ke dapur?!”
Daren mendekat sambil membuka kotaknya.
“Aku sampe jelasin cara bikin tahu gejrot ke chef-nya. Chef-nya bilang, ‘Oh begitu, Pak?’ dan langsung masakin.”
Selena menatap kotak itu… lalu menatap suaminya…
Lalu mendadak matanya berair.
“Mas… aku sayang banget sama kamu…” bisiknya sebelum mengambil tahu itu dan mencicipinya.
Begitu suapan pertama masuk…
Selena memejamkan mata, menghela napas panjang seperti menemukan surga.
“Enak?” tanya Daren sambil duduk di sampingnya.
Selena mengangguk cepat sambil melahap lagi.
“Mas… ini enak banget. Kayak mau nangis.”
“Aku tau,” gumam Daren bangga. “Perjuangan tengah malam nggak sia-sia.”
Selena memakan dengan lahap sementara Daren hanya menatapnya dengan senyum yang tak pernah gagal muncul setiap lihat istrinya bahagia.
Setelah habis setengah kotak, Selena bersandar di bahu Daren.
“Mas…”
“Hm?”
“Besok aku pengin makan… pempek.”
Daren menutup mata.
Menarik napas.
Pelan.
“…yang lenjernya panjang atau yang kapal selam?”
Selena tersenyum manja.
Daren pasrah.
Tapi bahagia.
Karena untuknya…
ngidam Selena adalah misi suci yang tak boleh gagal.
Dan malam itu, di kamar hotel yang hangat, Daren sadar:
Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada melihat dua orang yang ia cintai—istrinya dan anak dalam kandungan—tersenyum puas karena tahu gejrot tengah malam.
---
Gimana bab hari ini? Seru?