Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sementara itu, Alisha berjalan di sisi kanan dengan aura yang sepenuhnya berbeda. Kebaya modern berwarna putih mutiara yang ia kenakan memantulkan kilau lembut dari payet emas yang dipasang di beberapa sisi. Rambutnya disanggul tinggi, dihiasi mahkota kecil yang menegaskan statusnya sebagai calon menantu pilihan keluarga Wiranegara. Kecantikannya tampak tegas, kuat, dan hampir seperti pengumuman bahwa ia adalah perempuan yang pantas menjadi menantu keluarga Wiranegara sekaligus pusat perhatian hari ini.
Di antara dua perempuan itu, Aditya berdiri di depan, menunggu mereka bergabung dengannya. Tuksedo berwarna putih yang ia kenakan terlihat sempurna, namun sorot matanya tidak. Ada kecanggungan, tekanan, dan rasa bersalah terselubung yang berusaha ia sembunyikan. Sesekali, tanpa sadar, pandangannya tertuju pada Reina. Sangat singkat, tetapi cukup bagi Alisha yang memperhatikannya dari kejauhan, untuk merasakan gelombang kecil yang menusuk dadanya.
Ketiganya kemudian duduk di kursi yang telah disiapkan: Reina di kiri, Aditya di tengah, dan Alisha di kanan. Penghulu duduk di hadapan mereka. Para saksi dari dua keluarga besar pun bersiap.
Suasana yang awalnya ramai berubah sunyi. Seakan udara tidak berani bergerak.
Penghulu membuka acara dengan salam dan doa panjang. Reina menundukkan kepalanya dalam, berusaha menahan getaran halus di tangannya. Aditya duduk dengan kaku, matanya memandang lurus ke depan, seolah satu gerakan kecil bisa menjatuhkan dirinya sendiri. Sedangkan Alisha menatap dengan anggun, wajahnya tetap tersenyum tipis, kendati dalam dadanya ada rasa gelisah yang tidak ia biarkan terlihat.
Penghulu kemudian memanggil nama Reina terlebih dahulu.
Hampir seluruh tamu menoleh ke arah gadis itu. Reina merasakan tubuhnya menjadi ringan, seperti tidak berpijak pada tempatnya. Setiap kata yang diucapkan oleh penghulu meluncur dengan jelas namun terasa jauh, seolah ia mendengarnya dari balik air.
Hingga akhirnya penghulu mengucapkan kalimat ijab qobul yang telah ia takuti sekaligus ia yakini sebagai jalan yang tidak lagi bisa ia ubah.
“Aditya Pratama Wiranegara, saya nikahkan engkau dengan Reina Amara Lysandra binti Fajar suseno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat 17 gram, dibayar tunai!!”
Reina memejamkan mata sesaat, menahan napas. Dan suara Aditya yang menjawab, meski terdengar stabil, mengirimkan rasa sakit yang tajam ke dadanya.
“Saya terima nikahnya Reina Amara Lysandra binti Fajar Suseno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Doa mengalun pelan. Beberapa tamu bertepuk tangan kecil sebagai bentuk penghormatan. Namun tidak sedikit tatapan iba yang mengarah kepada Reina, menyadari bahwa kebahagiaannya tampak begitu tipis dan nyaris tidak ada.
Tidak lama kemudian, penghulu memanggil nama Alisha. Atmosfer ruangan berubah; banyak tamu tampak lebih antusias. Alisha tersenyum, mengatur duduknya agar tetap terlihat anggun. Dan ketika penghulu mengucapkan akad nikah untuknya, ekspresinya sedikit melembut—mungkin karena untuknya, pernikahan ini masih bisa diartikan sebagai langkah besar menuju masa depan yang ia inginkan.
“Aditya Pratama Wiranegara, saya nikahkan engkau dengan Alisha Permadi binti Hendra Permadi dengan seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat 17 gram, dibayar tunai!!!”
Jawaban Aditya kembali terdengar, kali ini lebih datar namun jelas.
“Saya terima nikahnya Alisha Permadi binti Hendra Permadi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Suara tepuk tangan terdengar sedikit lebih meriah. Beberapa tamu tampak mengangguk puas. Sebagian bahkan tersenyum kepada keluarga Wiranegara dan Permadi, seolah pernikahan inilah yang sebenarnya mereka tunggu. Di tengah panggung itu, tiga pengantin duduk berdampingan. Tetapi tidak ada yang benar-benar saling bahagia.
Reina menatap ke bawah, jemarinya menggenggam ujung kebayanya untuk menahan rasa perih di dadanya. Aditya berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Namun sorot matanya yang sesekali mengalihkan pandang ke Reina tidak bisa ia sembunyikan dari siapapun yang memperhatikan. Dan Alisha, meski wajahnya tetap tersenyum, bibirnya sedikit menegang ketika ia menangkap pandangan suaminya yang mencuri curi pandang ke arah gadis kampungan itu.
Setelah doa penutup diucapkan, para tamu mulai mengobrol satu sama lain untuk mencairkan suasana kembali. Musik lembut kembali mengalun. Namun bagi tiga orang di panggung pelaminan itu, dunia mereka tidak tenang dan tidak bahagia.
Pernikahan itu sah.
Kedua perempuan kini resmi menjadi istri Aditya. Dan kehidupan masing-masing dari mereka baru saja memasuki bab yang jauh lebih rumit dari sebelumnya.
Bahkan di antara cahaya lampu kristal yang indah itu, ketiganya dapat merasakan bayangan panjang yang menunggu mereka di depan. Sebuah bayangan yang mungkin tidak akan bisa mereka elakkan. Karena hari ini bukanlah awal kebahagiaan. Ini adalah hari ketika takdir mulai menagih harga yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/