Ardi, seorang ayah biasa dengan gaji pas-pasan, ditinggalkan istrinya yang tak tahan hidup sederhana.
Yang tersisa hanyalah dirinya dan putri kecil yang sangat ia cintai, Naya.
Saat semua orang memandang rendah dirinya, sebuah suara asing tiba-tiba bergema di kepalanya:
[Ding! Sistem God Chef berhasil diaktifkan!]
[Paket Pemula terbuka Resep tingkat dewa: Bihun Daging Sapi Goreng!]
Sejak hari itu, hidup Ardi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hamei7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andai Saja Aku Berusia 20 Tahun Lebih Muda
Di mata Pak Joko dan para tetangga, mereka terbelalak melihat Ardi menurunkan kukusan besar dari atas gerobaknya dengan gerakan cekatan.
Bukan main, kukusan bambu milik Ardi ternyata bertingkat tujuh, bahkan ada delapan lapisan!
Dan ukurannya bukan kaleng-kaleng. Tiap lapisan bisa menampung belasan bakpao isi daging berbumbu.
Itu artinya… satu pagi saja, Ardi sanggup menjual ratusan bakpao!
“Wah… Mas Ardi, daganganmu laris banget ya!” seru Pak Joko sambil manggut-manggut penuh kagum.
Maklum, Ardi baru pindah ke lingkungan ini. Gerobak listriknya pun masih kinclong, jelas-jelas baru dibeli. Sebagai pendatang baru, kenyataan kios Ardi bisa langsung meledak laku jelas bukti kalau kemampuan memasaknya bukan main.
Ardi tersenyum ramah.
“Ah, nggak seberapa, Pak. Ini semua berkat dukungan Bapak-Ibu juga.”
Sambil menyalakan kompor, ia sempat bertanya,
“Ngomong-ngomong, ada pantangan makanan nggak? Tumisan daging sapi saya ini ada bumbu pedas sedikit.”
Mendengar itu, Pak Joko langsung tergelak.
“Ardi, jangan khawatir! Justru makin pedas makin mantap! Mie daging sapi goreng itu kalau hambar, mana enak dimakan!”
Belum sempat Ardi menjawab, salah satu bibi di samping melotot.
“Ah, jangan dengerin dia, Di! Lidahnya aja yang kebal. Kita nggak kuat pedas. Masak normal aja, jangan terlalu berminyak juga.”
Ardi mengangguk. “Oke, siap.”
Dengan gerakan terlatih, ia tuangkan sedikit minyak. Kompor menyala terang, suara cesss terdengar, membuat para tetangga menelan ludah.
Melihat keterampilan Ardi, rasa penasaran makin besar. Mereka saling berbisik. Dari mana anak muda ini belajar masak sehebat itu? Jangan-jangan dia lulusan akademi masak terkenal?
Saat Ardi sibuk menumis mie daging sapi, Pak Joko tiba-tiba melirik ke arah dua bibi di sebelahnya sambil mengedipkan mata.
Kedua bibi itu langsung paham maksudnya.
“Eh, Mas Ardi,” salah satu mulai membuka pembicaraan, “katanya kamu sekarang sendiri ya? Anaknya juga masih kecil, kan?”
Ardi tetap fokus mengaduk wajan. “Iya, Bu. Tapi saya nyaman kok. Naya anaknya nurut, nggak merepotkan. Alhamdulillah sehat dan pintar.”
“Wah, Naya memang gemesin,” timpal bibi lain. “Mana ada tetangga sini yang nggak sayang sama dia. Semua suka main sama Naya. Apalagi pertama kali ketemu Pak Joko, langsung dipanggil kakek, haha!”
Bibi pertama mendekat sedikit, suaranya dibuat pelan penuh arti.
“Ngomong-ngomong, cucu perempuannya Pak Joko kan baru lulus kuliah. Umurnya 21 tahun, cantik, baik hati, sayang anak juga… kamu udah lihat belum?”
“…”
Ardi langsung terdiam. Jelas arah obrolan ini: perjodohan!
Saat melirik Pak Joko, orang tua itu malah pura-pura serius menatap wajan, seolah-olah aroma mie daging lebih penting daripada pembicaraan barusan.
Ardi menghela napas dalam hati. Ya ampun, Pak Joko… baru kenal dua hari udah mikir jodohin cucunya denganku? Aku ini duda beranak satu, kerjaan baru sekadar jualan gerobak. Apa nggak salah pilih?
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, aroma harum dari wajan langsung menyambar.
Asap tipis mengepul, terbawa angin, menyebar ke seluruh halaman. Bau daging sapi tumis bercampur kecap asin, bawang putih, dan minyak wijen langsung bikin perut keroncongan.
“Eh, Mas Ardi… bau apa ini? Wangiii banget!” seru Pak Joko tak tahan.
Dua bibi yang tadinya semangat soal jodoh langsung diam, terhipnotis oleh aroma masakan. Mereka menelan ludah, mata berbinar menatap isi wajan.
Mie kuning terbalik indah di udara, bercampur dengan daging sapi empuk, tauge segar, bawang, dan telur orak-arik keemasan.
Ardi menambahkan bumbu dengan takaran pas. Gerakan tangannya cepat, luwes, seolah sudah puluhan tahun berlatih.
Aroma gurih makin pekat, meresap sampai ke ubun-ubun.
Sebelum mie itu disajikan, wajah para tetangga sudah berubah ceria.
“Ya ampun, Mas Ardi! Masakanmu ini… luar biasa!” salah satu bibi hampir berteriak saking kagumnya.
Bahkan Pak Joko yang tadinya serius soal perjodohan, kini matanya berbinar melihat Ardi menumis luwes, lebih cekatan dari koki restoran besar.
Kalau cucuku bisa berjodoh sama dia… tenanglah hidupku sampai mati, batin Pak Joko.
Tak lama, Ardi menyajikan hasilnya. Tiga piring besar mie goreng daging sapi tersaji rapi, porsinya sama rata, membuktikan betapa telitinya dia.
Para tetangga melongo. Salah satu bibi hampir keceplosan,
“Pantesan aja Pak Joko maksa ngajak aku ke sini pagi-pagi begini…”
Untung bibi lain cepat menyikut lengannya sebelum rahasia terbongkar.
“Mas Ardi, kamu belajar masak di mana sih? Selama hidupku, belum pernah lihat orang bikin mie sapi begini. Bahkan sebelum dicoba, sudah kelihatan kelasnya!”
“Iya betul! Lihat tampilannya aja udah bikin puas. Ini bukan sekadar makanan, ini seni!”
Salah satu bibi menepuk pipinya sendiri sambil tertawa kecil.
“Aduh, kalau saja bibi ini masih dua puluh tahun lebih muda… eh, nggak ding… empat puluh tahun lebih muda!”
Ardi: “???”
tapi untuk menu yang lain sejauh ini selalu sama kecuali MIE GORENG DAGING SAPInya yang sering berubah nama.
Itu saja dari saya thor sebagai pembaca ✌
Apakah memang dirubah?
Penggunaan kata-katanya bagus tidak terlalu formal mudah dipahami pembaca keren thor,
SEMAGAT TERUS BERKARYA.