NovelToon NovelToon
Ishen World

Ishen World

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Fantasi Isekai / Anime
Popularitas:65
Nilai: 5
Nama Author: A.K. Amrullah

Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia Jun

Malam menggantung tenang di langit ibu kota Sedressil. Bintang-bintang bersinar malu-malu, dan angin malam berembus lembut di balkon mansion para pahlawan.

Kouji duduk sendiri, secangkir teh hangat di tangannya, matanya memandangi langit.

Namun ketenangan itu segera pecah oleh suara lembut dan manja yang melayang di udara.

“Sendirian, Kouji~?”

Kouji hampir tersedak tehnya.

Ia menoleh, dan di sana berdiri Murakami Jun, dengan gaun tidur tipis yang mengekspos lekuk tubuhnya yang… memikat namun membingungkan. Rambut birunya tergerai, dan senyum nakalnya bermain di bibir.

“Jun?” Kouji mengerutkan alis. “Sudah malam begini… kau kenapa belum tidur?”

“Aku suka udara malam~” kata Jun, melangkah perlahan… mendekat… lalu mendekap Kouji dari belakang.

Tangannya melingkar lembut ke dada Kouji, wajahnya bersandar ke pundak pria itu.

Kouji kaget dan hampir menumpahkan tehnya. “Jun, hey…!”

“Hmm~ Kau wangi ya…” bisik Jun pelan, suaranya terdengar seperti mantera lembut yang bikin bulu kuduk meremang.

Kouji terdiam sejenak. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena cinta, tapi karena bingung harus bereaksi bagaimana.

“Aku laki-laki, Jun.”

Jun terkikik pelan. “Aku tahu~ Tapi, siapa bilang laki-laki tak bisa saling menyukai?”

“Karena… aku suka perempuan.” Kouji mencoba melepas pelukan, tapi Jun malah mengeratkan diri.

“Kalau aku seperti perempuan, tapi bukan… itu artinya aku istimewa, kan?” katanya sambil menatap langsung ke mata Kouji, mata bening dengan bulu mata lentik, nyaris terlalu indah untuk seorang pria.

Kouji menghela napas, mencoba mengalihkan pandangan.

“Jun… tolong… jangan ganggu pikiranku malam-malam begini.”

Tapi sebelum ia bisa mengambil napas dalam-dalam…

“Chu~”

Sebuah kecupan mendarat manis di pipi kirinya.

Kouji membeku.

“…Hah?”

Jun tersenyum manja dengan kepala miring sedikit, bibirnya masih dekat dengan wajah Kouji. “Sebagai tanda malam yang menyenangkan~”

“JUN!!” Kouji langsung berdiri dari kursi, memegang pipinya yang kini panas luar biasa.

Jun terkikik seperti gadis remaja. “Kouji… kau makin imut saat panik~”

Kouji menatap ke langit dengan penuh frustrasi, menggenggam tangan ke udara seperti akan berdoa… atau memaki.

“DEWI ELYSIA!! KENAPA DIA NGGAK JADI WANITA SEKALIAN?! APA KAU SENGAJA MAU MENYIKSAKU?!”

Kouji masih berdiri terpaku di balkon, menatap langit penuh bintang dengan kesal. Pipinya masih terasa hangat akibat ciuman Jun.

Tiba-tiba…

Suara langkah ringan mendekat dari belakang.

“Ngomong-ngomong…” bisik Jun pelan, kini berdiri sangat dekat di belakang Kouji. “Kau sadar nggak… sekarang ini semua orang sudah tertidur?”

Kouji perlahan menoleh, waspada. “J-Jun… kamu jangan aneh-aneh.”

Jun tersenyum kecil, tatapannya berbeda. Lebih dalam. Lebih berani.

“Berarti sekarang… hanya ada aku… dan kamu…” bisiknya dengan suara sengaja dilirihkan, hampir seperti alunan angin lembut yang menggoda.

Kouji mundur setengah langkah, “Oi, jangan deket-deket!”

Tapi Jun malah maju, tangannya menyentuh dada Kouji, perlahan menyusuri bagian pelindung yang biasa ia pakai saat latihan.

“Tubuhmu keras sekali…” katanya dengan nada genit. “Kouji… kau terlalu menggoda untuk seorang pria…”

Kouji langsung panik, wajahnya memerah setengah mati. “WOI, JUN!!”

Suasana balkon masih senyap. Angin malam membelai lembut rambut panjang Jun yang berkibar pelan. Kouji masih duduk, bingung harus bertahan atau kabur dari godaan makhluk misterius di hadapannya.

Jun mendekat lagi, makin agresif. Ia duduk di pangkuan Kouji dengan lembut.

“Jun, berhenti… ini kelewatan,” bisik Kouji, wajahnya makin merah.

Jun tersenyum nakal. “Lalu kenapa tanganmu nggak menjauh, Kouji?”

Kouji baru sadar… salah satu tangannya... karena panik dan dorongan refleks... menyentuh sesuatu(dada) di tubuh Jun.

Seketika, seluruh tubuh Kouji membeku.

“…Eh?”

Ia pelan-pelan menarik tangannya, matanya membulat. Wajahnya makin merah. Bahkan telinganya ikut merah.

Jun hanya menatapnya sambil tersenyum misterius. Tidak ada reaksi membantah. Tidak ada "Aku cowok, lho!" seperti biasanya.

Hening beberapa detik.

Kouji: “T-tunggu… Jun… k-kau…”

Jun mengangguk pelan, kali ini suaranya berubah lembut… seperti angin musim semi yang penuh rahasia.

“Aku tidak pernah bilang aku laki-laki, kan?”

“…AKU KENA PRANK APAAN INI…” Kouji menjerit dalam hati.

Jun memeluknya erat, lalu berbisik:

“Kau satu-satunya yang tahu sekarang, Kouji…”

Kouji masih terdiam, tubuhnya kaku seperti patung. Jun bersandar di dadanya, dengan senyum kecil yang tidak lagi nakal… melainkan sedih.

"Aku mau cerita," kata Jun lirih, "tapi janji jangan bilang siapa-siapa. Bahkan Akari, Yui… siapa pun."

Kouji menelan ludah, masih setengah kaget. "...Oke."

Jun menarik napas dalam, lalu mulai bicara dengan suara yang terdengar jauh… seperti kenangan yang dipaksa bangkit.

"Aku... sebenarnya cewek, dari lahir. Tapi ibuku... dia benci anak perempuan. Dia terobsesi punya anak laki-laki yang bisa meneruskan 'nama keluarga' katanya."

"Sejak aku kecil, aku disuruh potong rambut pendek, pakai baju cowok, masuk klub bela diri, sekolah di lingkungan cowok, dan... menyembunyikan tubuhku."

"Kalau aku protes, dia akan marah besar. Kadang... dia lempar barang. Jiro-lah yang selalu lindungin aku."

Kouji hanya bisa terdiam. Tangannya mengepal.

Jun melanjutkan, suaranya bergetar tapi tetap tegar. "Setelah ayah kami ketahuan selingkuh dan kabur, rumah makin kacau. Jiro mulai bekerja paruh waktu, dan aku... harus terus berpura-pura jadi anak lelaki yang diinginkan ibu."

"Jiro satu-satunya orang yang tahu aku perempuan. Dia janji akan jaga rahasiaku sampai kapan pun."

Jun menunduk, lalu melanjutkan, "Waktu dunia ini memanggil kita semua... aku sempat mikir, mungkin aku bisa jadi diriku sendiri di sini. Tapi... aku takut. Takut kalau orang-orang tetap nggak bisa nerima aku. Jadi aku terus main peran."

Lalu Jun menatap mata Kouji, jujur dan lemah.

"...Tapi setelah malam ini, aku nggak bisa terus sembunyi darimu. Aku ingin... seseorang selain Jiro, mengenal diriku yang asli."

Jun menunduk, menghindari tatapan Kouji, tapi suaranya kembali terdengar begitu berat, seakan ada beban besar yang ingin dikeluarkan.

"Dan...," Jun berhenti sejenak, menarik napas dalam, sebelum melanjutkan, "Ibuku bahkan menyogok pihak sekolah supaya catatan kelahiranku ditulis sebagai laki-laki. Mereka nggak pernah tanya kenapa, mereka cuma menurut saja. Kalau ada yang tanya, ibu selalu bilang kalau aku terlambat berkembang, jadi harus dilihat seperti lelaki."

Kouji terdiam, hatinya terasa berat mendengar cerita itu. Tak pernah terbayang olehnya, bagaimana Jun menjalani hidup dengan identitas yang sangat berbeda dari yang seharusnya.

"Jiro tahu, dia yang selalu melindungi aku dari ibu. Tapi itu nggak membuat segalanya lebih mudah." Jun mengusap pipinya yang mulai basah, menghindari melihat Kouji. "Aku nggak pernah bisa jadi diri sendiri, selalu ada yang menekan. Kalau ibu tahu aku mengungkapkan ini ke orang lain, dia bisa langsung menghancurkan semuanya."

Kouji menghela napas, hatinya penuh dengan perasaan campur aduk. "Jun..." katanya lembut, tak tahu harus berkata apa. "Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi... apa pun yang terjadi, itu bukan kesalahanmu."

Jun hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menetes. "Aku cuma... pengen punya kesempatan buat jadi diri sendiri, Kouji."

Kouji merasakan beratnya beban yang Jun pikul, dan meskipun dia masih bingung dan canggung dengan situasi ini, dia merasakan sesuatu yang lebih dalam terhadap Jun. Sebuah rasa empati yang tumbuh perlahan.

Jun mengusap wajahnya, berusaha mengontrol perasaannya. "Aku nggak berharap kamu memahami semuanya, tapi... terima kasih sudah mendengarkan."

Kouji hanya bisa mengangguk, merasa tak enak karena tak bisa memberikan lebih banyak jawaban. Namun, hatinya mengingatkan bahwa apa yang penting sekarang adalah keberadaan Jun yang sebenarnya, yang belum tentu bisa diterima banyak orang.

Jun masih menunduk, suaranya gemetar namun berusaha tegar saat dia berkata pelan,

“Nama asliku… bukan Jun.”

Kouji menoleh, matanya menyipit sedikit, penasaran.

Jun mengangkat kepalanya, menatap lurus ke mata Kouji, kali ini dengan ketulusan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

“Namaku… June. Dengan ‘e’ di belakang. Nama yang kubenci sekaligus kusimpan erat. Nama yang hanya diketahui Jiro… dan sekarang kamu.”

Kouji menatap June tanpa berkata-kata. Ada keheningan yang panjang di antara mereka, diiringi hembusan angin malam dari balkon yang mulai terasa dingin.

June tersenyum pahit, “Aku pakai nama Jun karena… lebih netral. Lebih bisa diterima ibuku. Tapi ‘June’… itu aku. Yang sebenarnya. Gadis yang tidak pernah diizinkan menjadi dirinya sendiri.”

Kouji merasakan sesuatu yang menghangat di dadanya. Bukan lagi sekadar rasa penasaran, atau keterkejutan, melainkan simpati yang mendalam. Perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.

“June…” Kouji mengulang pelan, nama itu terdengar berbeda saat keluar dari mulutnya. Lebih lembut. Lebih… benar.

June hanya tersenyum kecil, lalu berkata, “Jangan panggil itu di depan orang lain, ya… setidaknya belum sekarang.”

Kouji mengangguk pelan, masih mencerna semuanya. Tapi satu hal yang pasti—malam itu, ia melihat sosok June yang selama ini tersembunyi di balik tirai kebohongan dan luka lama. Dan ia tak bisa mengabaikan detak jantungnya sendiri yang tiba-tiba terasa berbeda.

June terdiam menatap Kouji, matanya membulat sedikit. Angin malam menyapu helaian rambut biru panjangnya yang tergerai indah, menciptakan suasana hening yang menggantung.

"Aku tahu, Jun..." ucap Kouji dengan suara tenang namun serius. "...kalau dari awal aku tahu kamu cewek, aku nggak akan pernah menolakmu."

June mengerjap. Ia menatap Kouji dengan ekspresi tak percaya. Bibirnya sedikit terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Matanya menyiratkan konflik, antara harapan dan keraguan.

"Tapi… Kau bersama Akari," bisiknya lirih. “Kau… mencintainya, kan? Jadi kenapa…?”

Kouji menarik napas, lalu menatap ke langit gelap yang bertabur bintang.

“Ini dunia lain, June. Bukan Jepang. Nggak ada aturan yang mengikat kayak di dunia lama.”

Ia lalu menoleh, matanya menatap June penuh keyakinan.

“Di dunia ini, aku ingin punya harem. 10 sampai 100 Wanita pun ku embat.”

June terpaku. Ia membuka mulut seolah ingin bicara, tapi tidak tahu harus berkata apa. Hatinya berdebar. Ada bagian dari dirinya yang ingin marah, merasa Kouji egois, tapi bagian lain merasa... lega. Diterima.

“Kau sadar, ini gila…” gumam June pelan.

Kouji hanya tersenyum miring. “Mungkin. Tapi aku tahu perasaanku saat bersamamu itu nyata. Dan kalau kamu mau… kamu bisa jadi bagian dari kehidupanku juga.”

June terdiam lama. Jiwanya berkecamuk. Tapi dalam diamnya, ada rona merah tipis muncul di pipinya.

“…Bodoh…” gumamnya pelan, namun kali ini dengan suara yang terdengar jauh lebih lembut. Mungkin... menyerah.

June menunduk sebentar, napasnya sedikit gemetar.

"Aku… besok, aku nggak akan pakai perban lagi," katanya pelan. "Aku ingin… setidaknya kamu bisa lihat aku sebagai wanita. Bukan lagi si 'Jun' yang semua orang anggap cowok."

Kouji menatapnya dalam diam, detik-detik berlalu begitu hening sampai hanya suara angin malam yang menemani. Wajah June agak memerah, tapi ekspresinya penuh keteguhan.

"Aku tahu ini dunia baru. Aku capek terus sembunyi. Dan kalau kamu benar-benar menerimaku… maka aku akan jadi diriku sendiri."

Kouji mengangguk pelan. "Baiklah, June. Tapi ingat, kita tetap harus jaga rahasia ini. Dunia ini… bisa kejam kalau salah paham."

June tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya ingin kamu lihat aku… sebagaimana aku sebenarnya."

June mencium Kouji dibibir, dan June kemudian pergi kekamarnya...

Pagi itu di mansion para pahlawan.

June muncul dengan pakaian biasa seperti hari-hari sebelumnya—longgar dan tertutup, tapi tidak lagi dibalut dengan perban ketat. Perbedaan kecil tapi mencolok bagi mata yang jeli.

Kouji, yang baru turun dari kamarnya, tanpa sengaja melirik June.

Matanya membelalak sesaat, pinggang ramping itu, lekukan dadanya yang kini lebih kentara, dan cara tubuh June bergerak… semua terasa berbeda. Terlalu feminin. Terlalu menggoda.

"Gila... ternyata dia emang cewek beneran," batin Kouji, buru-buru mengalihkan pandangan dan menahan diri agar tidak terlihat terlalu kaget.

Namun yang lain tidak bereaksi berlebihan.

Ryunosuke malah nyeletuk sambil ngunyah roti:

“Jun, lo tidur pakai baju ketat banget ya semalam? Pagi ini kayak... dada lo ngembang dikit. Wkwk. Femboy(otokonoko) yang terlalu niat.”

Takeshi juga cuma senyum kecil:

“Biasa aja, Ryu. Mungkin dia pakai sabuk buat gaya atau pelindung perut. Lagian dia mage angin, mungkin aja teknik pernapasan spesial.”

Kaede yang sedang membaca di pojokan pun hanya melirik sebentar, lalu berkata pelan:

“Banyak pria feminin yang punya tubuh begitu. Dunia ini tidak kekurangan kejutan.”

June hanya tertawa pelan dan menutup mulutnya dengan anggun:

"Aku cuma lebih nyaman begini hari ini. Angin pagi sedang bagus."

Kouji menghela napas.

Tidak ada yang curiga. Tidak ada yang sadar. Dan di balik semua itu, hanya dia yang tahu kebenaran... dan betapa sulitnya menjaga pandangannya tetap sopan.

Jiro, yang baru saja tiba di mansion, terkejut saat melihat adiknya, June, dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Ada yang aneh dengan cara June bergerak, cara ia berinteraksi dengan orang lain, dan Jiro langsung merasa cemas.

Jiro mendekat dengan langkah cepat dan memanggil June.

"Jun!" suaranya sedikit lebih keras dari biasanya, mengundang perhatian beberapa orang di sekitar mereka. "Ikut aku sebentar. Ada yang perlu kita bicarakan."

June, yang saat itu sedang berdiri dekat dengan Kouji, merasakan ketegangan di udara.

Dia menoleh dan hanya mengangguk, lalu mengikuti Jiro ke ruang yang lebih sepi di dalam mansion. Semua orang lainnya tetap melanjutkan aktivitas mereka, tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi.

Di ruang yang lebih tenang, Jiro menatap June dengan tatapan tajam, hampir khawatir.

"Kenapa kamu melakukan ini, June?" tanyanya, suaranya lebih rendah namun tegas. "Kenapa kamu malah menunjukkan tubuhmu seperti itu di depan mereka? Kamu tahu betul apa yang bisa terjadi jika mereka mulai curiga!"

June hanya diam sejenak, menunduk, dan mulai berbicara dengan suara pelan.

"Aku hanya... ingin merasa lebih nyaman dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin terus bersembunyi di balik perban dan pakaian pria. Aku ingin mereka tahu siapa aku sebenarnya." Suaranya sedikit gemetar, tapi ia berusaha keras untuk tetap tenang. "Kouji... dia tahu, Jiro. Dia tahu aku bukan lelaki, dan dia tidak menjauhkan diri dariku. Aku hanya... ingin menjadi diriku sendiri."

Jiro menghela napas dan menatap June dengan ekspresi yang penuh kekhawatiran.

"June, kamu tahu betul bahwa dunia ini bukan dunia yang sama dengan dunia kita dulu. Kamu harus hati-hati dengan apa yang kamu tunjukkan. Meskipun Kouji mungkin tidak menjauhkan diri darimu, belum tentu orang lain akan berpikir sama. Mereka bisa saja... salah paham." Jiro menatap adiknya dengan serius. "Kamu masih harus berhati-hati. Terutama dengan orang seperti Kouji yang mungkin punya perasaan lain terhadapmu, atau malah Akari yang bisa marah jika dia tahu."

June tersenyum tipis, meskipun sedikit terluka dengan kata-kata Jiro.

"Aku tahu. Tapi aku sudah cukup lama hidup dengan menyembunyikan diriku sendiri. Aku tidak bisa terus seperti ini." Dia mengangkat kepala dan menatap kakaknya. "Aku ingin jadi diriku yang sebenarnya. Entah orang lain menerima atau tidak, ini adalah pilihanku."

Jiro hanya bisa menggelengkan kepala, meskipun dia mengerti apa yang dirasakan adiknya.

"Baiklah, kalau itu yang kamu pilih, aku tidak bisa menghentikanmu. Tapi ingat, June, aku hanya ingin melindungimu. Dunia ini mungkin tidak bisa menerima siapa dirimu dengan mudah. Jangan biarkan itu menghancurkanmu."

June menatap Jiro dengan sorot mata yang dalam, bukan sekadar adik berbicara kepada kakaknya, tapi seorang gadis yang akhirnya bisa jujur tentang isi hatinya. Suaranya lembut, penuh emosi yang selama ini dipendam dalam diam.

"Aku sangat mencintainya, Onii-san..." katanya lirih, tapi cukup jelas untuk terdengar. "Aku... mencintai Kouji."

Jiro terdiam. Matanya melembut, tapi masih menyimpan kekhawatiran. Ia tahu betapa rumitnya semua ini.

June melanjutkan, "Aku tahu ini tidak mudah... Aku tahu orang lain masih menganggapku laki-laki. Tapi aku ingin mereka tahu siapa aku sebenarnya. Bukan karena aku ingin mencari perhatian… tapi karena aku ingin bisa berdiri di sisinya tanpa kebohongan lagi."

Dia menggigit bibirnya, seolah berusaha menahan gejolak perasaan yang memuncak.

"Aku tidak akan memaksa. Aku tahu timing itu penting… Aku akan menunggu. Aku hanya berharap... saat waktunya tiba, tidak ada lagi kesalahpahaman, tidak ada lagi kebencian… hanya penerimaan."

Jiro menatap adiknya lama, sebelum mengangguk pelan.

"Aku gak bisa bilang aku setuju dengan semuanya… tapi kalau itu yang kamu rasakan, dan kalau Kouji memang menerimamu apa adanya, maka aku akan tetap jadi kakakmu seperti biasa. Tapi kamu harus hati-hati. Dunia ini… bahkan dunia yang baru ini, gak selalu ramah."

June tersenyum, matanya berkaca-kaca.

"Terima kasih, Onii-san... Aku akan hati-hati. Tapi aku juga akan terus mencintainya. Itu tidak akan berubah."

Untuk pertama kalinya, June merasa sedikit lebih ringan. Perasaannya masih rumit, jalannya masih panjang. Tapi dia tidak sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!