Setelah kesalahan yang dilakukan akibat jebakan orang lain, Humaira harus menanggung tahun-tahun penuh penderitaan. Hingga delapan tahun pun terlewati, dan ia kembali dipertemukan sosok pria yang dicintainya.
Pria itu, Farel Erganick. Menikahi sahabatnya sendiri karena berpikir itu adalah kesalahan diperbuat olehnya saat mabuk, namun bertemu wanita yang dicintainya membuat Farel tau kebenaran dibalik kesalahan satu malam delapan tahun lalu.
Indira, sang pelaku perkara mencoba berbagai cara untuk mendapat kembali miliknya. Dan rela melakukan apapun, termasuk berada di antara Farel dan Humaira.
Sebenarnya siapa penjahatnya?
Aku, Kamu, atau Dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Usaha Farel
Rifqa berjalan sembari melihat kanan-kiri. Anak-anak lain sudah dijemput, sementara dirinya apakah sama?
"Rifqa, Kamu lihat apa? Papa ada di sini 'lho."
Rifqa mendongak, dan wajahnya langsung bersinar cerah pada Farel yang berdiri di pohon cemara dekat gerbang. Papa Farel melambai padanya, meminta untuk menghampiri.
Seketika Rifqa berlari sambil membentangkan kedua tangan pada papanya. "Papa!"
Farel menangkap Rifqa dan membuat putrinya terbang satu putaran. "Putri cantiknya, Papa."
"Gimana sekolah hari ini?" tanya Farel berjongkok agar tubuhnya sejajar dengan Rifqa.
"Seru, Pa. Rifqa belajar banyak, dan udah lancar tambah-tambahnya," tutur Rifqa bersemangat. Senang banget dijemput papa hingga senyumnya menyebar ke Farel.
Farel tersenyum. "Ngomong-ngomong, hari ini mau jalan-jalan sama Papa 'nggak?"
"Mau, Pa. Kita bakal jalan kemana?" tanya Rifqa, mengangkat kedua lengannya minta digendong.
Farel yang mengerti menyambut Rifqa dalam gendongannya, dan membawanya ke parkiran mobil. Farel membuka pintu mobil bahagian penumpang di samping pengemudi, dan mendudukkan Rifqa di kursi. Farel memasang salt bet pada Rifqa. "Mau ke toko kue kemarin nggak? Kue yang Rifqa makan kemarin enak 'kan?"
"Enak, Pa. Rifqa mau lagi," ujar Rifqa riang.
"Oke." Farel menutup pintu mobil. Lalu memutari mobil dan duduk di kursi pengemudi. Farel melajukan mobilnya di jalanan.
Kening Humaira berkedut memandangi sosok di depan rak kuenya.
"Halo, Tante Ninja," sapa Rifqa melambaikan satu tangan.
Gadis kecil itu tidak tau telah berada diantara dua benua yang atmosfernya berbeda. Humaira yang dingin, sementara Farel memancarkan aura positif.
Humaira menyipitkan mata pada Rifqa, memberikan tatapan seram, tapi anak itu justru senyam-senyum. "Naina, tolong urus pelanggan yang ini!"
"Enggak bisa, Mbak! Naina lagi makan siang. Aku juga enggak bisa, lagi bikin bolu kukus ke meja empat!" teriakan yang berasal dari dapur.
Farel tersenyum, memandangi wanita di depannya ini yang menghela napas. Jelas sekali perbuatan Humaira tadi semacam kode bahwa wanita bercadar itu malas berurusan dengannya. "Santai saja. Aku datang cuma mau beli kue, karena Rifqa suka."
Farel tidak sadar, kelakuannya yang lembut menimbulkan rematan tangan dari seseorang yang duduk di meja dekat jendela. Sadari tadi Indira duduk di sana, menyaksikan bagaimana sang suami murah senyum dan bicara banyak pada wanita yang tercintanya di masa lalu.
Humaira menatap Rifqa. "Mau yang mana?"
"Yang itu, enak 'nggak?" tanya Rifqa seraya menunjuk salah satu kue dalam rak.
Humaira menunduk untuk melihat jelas yang ditunjuk Rifqa. "Rasa daun pandan ya. Biasa Kamu sukanya rasa apa?" Menegakkan tubuhnya kembali.
Rifqa melihat jemarinya dan mulai menghitung. "Susu, coklat, stroberi."
"Kalau begitu, yang kayak kemarin aja ya. Takutnya nyoba rasa baru, malah nggak suka dan kuenya jadi nggak ada yang makan," ucap Humaira lembut. Terlepas dari sosok yang menggendongnya, anak itu tetaplah masih anak-anak yang perlu diperlakukan lembut.
"Boleh, Tante Ninja," balas Rifqa senang.
Begitu mendapat persetujuan, Humaira membungkusnya dan menyerahkan plastik itu pada Rifqa. "Harganya seratus dua puluh ribu, Dik."
Farel mengeluarkan kartu kredit dan seperti kemarin, Humaira menggesek kartu itu tanpa basa-basi dan mendorongnya ke hadapan Farel.
"Terima kasih telah membeli kue di sini. Harap jangan kembali lagi, ini permintaan bukan pemberitahuan," papar Humaira menyatu kedua tangan dan menatap tajam pada Farel.
Farel mah tertawa saja. Raganya telah berpaling dari Humaira, tapi kepalanya malah menoleh ke belakang. "Kamu nggak mau mengantarku sebagai perpisahan. Aku nggak akan ke sini lagi."
Itu benar, bukan bualan Farel semata. Sebenarnya keputusan itu telah diambilnya sadari dulu sewaktu mereka wisuda kuliah, begitu hatinya meyakini Abi Humaira pasti telah menyiapkan calon penerus pesantren sebagai suami Humaira.
Farel ingat itu, hari dimana matanya berpuas-puas memandangi Humaira. Matanya tak teralihkan bahkan saat temannya mengajaknya bicara.
"Eh, Rel. Lo ikut kita 'kan ke club?" tanya salah satu teman laki-lakinya.
"Iya," jawab Farel sekenanya. Netranya masih berfokus pada Humaira yang sedang bersuka ria bersama keluarganya.
Padahal Kamu sempat cemberut karena mengira Abi-Ummi Kamu nggak bakal datang seperti wisuda di SMA dulu.
Namun seseorang yang ditatap pastinya merasakannya. Humaira menoleh ke samping dan mendapati Farel sedang berbincang-bincang bersama teman-temannya.
Humaira tersenyum simpul. Enggak nyangka perasaanku pada Kamu bertahan lama ya. Aku bahkan sampai ikut universitas dan jurusan yang sama denganmu, padahal untuk Aku yang bakal berakhir di pengajian harusnya 'kan belajar kitab saja, tapi ini manajemen.
"Laki-laki itu tampan ya," ujar Abi Muharram tiba-tiba menunjuk Farel terang-terangan.
Sontak saja Humaira menurunkan lengan Abi-nya. Abinya itu kentara sekali dalam memperjelas, bikin gemas saja.
"Itu temannya Edgar, temannya cowok yang selalu gangguin Khalisah," jelas Humaira.
"Terus yang namanya Edgar mana orangnya, Abi mau ngomong. Beraninya dia gangguan anak Abi," ucap Abinya garang.
Humaira dan Ummi Sakinah tertawa pelan.
"Sayang sekali Edgar enggak kuliah di sini, tapi ikut STIN," jawab Humaira.
"Baguslah. Kalau enggak, udah Abi hajar."
Dan perkataan Abinya kembali menciptakan tawa Humaira.
Tawa merdu bagi yang mendengar dan indah bagi yang melihat, hingga Farel yang sempat berpaling karena takut kepergok menatap, kini membeku memandangi Humaira.
Begitulah adanya, dan perasaan itu tak pernah berubah. Justru rasa rindulah yang menumpuk dan berkoar-koar meminta dipadamkan.
Hampir gila memang, tapi Farel tak ingin menyakiti Humaira. Mana tau selama delapan tahun ini, Humaira telah menemukan belahan jiwa hasil dari perjodohan atau pertemuan dengan ustadz-ustadz kenalan Abinya, dan perasaannya hanya akan membebani Humaira.
Mendengar pernyataan itu dari Farel, nyatanya mengejutkan Humaira. Apa ini, mengapa ia harus kaget? 'Kan itu bagus.
"Baiklah." Humaira memutari rak dan berjalan di belakang Farel yang menuju pintu masuk toko.
"Ah, ah, Farel."
Spontan langkah Farel berhenti, begitupun Humaira.
Indira tersenyum, memicing matanya pada pria yang berada di sudut ruangan sebelah sana, dan mengangguk.
Owh, tidak semudah itu, Humaira.
"Aku mencintaimu, Farel."
Kali ini lebih jelas, dan Humaira yang matanya sudah terbelalak sadari tadi langsung panik. Wajah Humaira pias dan matanya melihat ke sana-sini untuk menemukan asal suara.
Farel berbalik badan menghadap Humaira. Ia mencoba mendengarkan baik-baik yang ditangkap oleh telinganya. Rasanya ia baru saja mendengar namanya disebut?
Ketemu! Humaira menemukan sosok pria yang duduk dekat jendela sedang menonton video. Suara ponselnya begitu keras, sehingga semua pelanggan ikut terdiam mendengarnya suara menjijikan itu.
"Wah, bukan main. Begitu dapat pria jantan, dia rela lepas hijab dan selangkangannya juga?" Itu bukanlah gumaman, melainkan ucapan yang ingin di dengar.
Humaira bergegas mendekati pria itu. Merampas ponsel dan membantingnya ke lantai sekuat tenaga.
Brak!
...🌾🌾🌾🌾...