Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. PASAL DUA BELAS
..."Beberapa kontrak ditulis dengan tinta, tapi yang paling berbahaya adalah yang ditulis dengan perasaan."...
...---•---...
Doni terbangun pukul empat pagi. Bukan karena alarm, tapi karena kebiasaan yang sudah mendarah daging. Tubuhnya terlatih untuk bangun sebelum matahari terbit, warisan dari bertahun-tahun menjalankan restoran.
Kali ini, ketika matanya terbuka di kamar asing dengan tempat tidur terlalu empuk, ia butuh beberapa detik untuk mengingat di mana ia berada.
Rumah Naira Adani. Dago Pakar. Hari kedua dari seribu hari.
Ia bangkit, berjalan ke jendela. Bandung masih gelap. Lampu-lampu jalan berkelip di kejauhan seperti kunang-kunang raksasa. Kabut pagi menyelimuti taman, membuat segalanya terlihat seperti lukisan kabur di balik kaca berembun.
Doni mandi cepat, mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana koki hitam yang sudah disiapkan di lemari. Pakaian itu pas di tubuhnya. Tentu saja, tim PT Kulina Rasa Sejahtera sudah mengukur dirinya sejak jauh-jauh hari.
Pukul setengah lima, ia sudah berada di dapur. Satu per satu lampu ia nyalakan, dan ruangan megah itu perlahan hidup. Ia membuka kulkas, mengeluarkan bahan-bahan untuk sarapan. Hari ini ia berencana membuat pancake buttermilk dengan sirup mapel dan buah segar. Sederhana, manis, menghibur. Makanan yang dirancang untuk sulit ditolak siapa pun.
Tangannya mulai bekerja dengan ritme yang familiar. Mengayak tepung, mengocok telur, mencampur adonan dengan gerakan memutar. Suara mixer memenuhi keheningan dapur seperti musik pagi yang menenangkan.
Tapi di tengah kesibukannya, pintu dapur terbuka. Doni menoleh. Yang berdiri di ambang pintu adalah seorang pria tinggi berkacamata, mengenakan kemeja biru dan membawa koper hitam besar.
"Selamat pagi. Anda pasti Pak Doni," sapa pria itu. "Saya Adrian, penasihat hukum dari PT Kulina Rasa Sejahtera. Maaf ganggu pagi-pagi begini."
Doni mematikan mixer, menyeka tangannya di apron. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"
"Sebenarnya saya yang akan bantu Bapak." Adrian masuk dan meletakkan kopernya di meja makan. "Ada beberapa dokumen tambahan yang perlu kita bahas. Ini bagian dari orientasi lengkap untuk koki pribadi. Kemarin Ibu Ratna hanya bacakan kontrak utama, tapi masih ada lima puluh pasal detail yang harus dijelaskan satu per satu."
Lima puluh pasal. Doni merasakan dadanya sedikit mengencang. "Sekarang?"
"Saya tahu ini tidak ideal, tapi ini prosedur wajib. Harus diselesaikan dalam empat puluh delapan jam pertama." Adrian membuka kopernya, mengeluarkan tumpukan dokumen tebal. "Tenang saja, saya akan buat seefisien mungkin. Mungkin sekitar dua jam."
Dua jam. Doni melirik adonan pancake yang baru setengah jadi. "Sarapan harus siap jam tujuh."
"Tidak masalah. Kita bisa mulai sekarang, Bapak tetap bisa masak sambil mendengarkan. Saya hanya perlu Bapak dengarkan dengan saksama dan tanda tangani beberapa dokumen." Adrian duduk di kursi, membuka berkas pertama. "Kita mulai dari Pasal Satu versi lengkap."
Doni tidak punya pilihan. Ia kembali ke kompor, menyalakan api kecil, lalu menuang adonan pancake sambil mendengarkan. Tangan bekerja, telinga siaga.
"Pasal Satu: Durasi Kontrak. Koki pribadi akan melayani klien selama seribu hari kalender berturut-turut. Tidak ada cuti kecuali kondisi darurat kategori A yang disetujui secara tertulis oleh pihak ketiga."
Adrian berhenti membaca, menatap Doni. "Kategori A berarti: kematian anggota keluarga inti, kecelakaan serius yang memerlukan rawat inap, atau bencana alam yang merusak properti pribadi Bapak. Selain itu, tidak ada alasan yang diterima untuk meninggalkan tugas. Termasuk sakit ringan seperti flu atau demam. Paham?"
Doni membalik pancake dengan spatula. "Paham. Jadi kecuali saya hampir mati atau ada yang mati, saya tidak boleh meninggalkan rumah ini."
"Secara teknis, ya." Adrian tersenyum tipis. "Tapi ada kompensasi. Bapak dapat pemeriksaan kesehatan gratis tiap bulan, asuransi kesehatan premium, dan kalau sakit, dokter pribadi Nona Naira yang akan menangani."
"Pasal Dua: Jam Kerja. Koki pribadi wajib tersedia dua puluh empat jam sehari untuk memenuhi kebutuhan makan klien. Waktu makan standar adalah sarapan pukul tujuh, makan siang pukul dua belas tiga puluh, dan makan malam pukul enam sore. Namun, klien berhak meminta makanan di luar jam tersebut tanpa pemberitahuan sebelumnya."
"Jadi kalau Nona Naira ingin makan jam tiga pagi, saya harus masak?" tanya Doni sambil menata pancake pertama di piring.
"Tepat sekali. Dan Bapak harus siap maksimal tiga puluh menit setelah permintaan. Ini yang membedakan koki pribadi dengan koki biasa. Bapak bukan pegawai, Bapak seperti... perpanjangan tangan kehidupan klien."
Doni menuang adonan lagi. Perpanjangan tangan. Bukan manusia dengan hidup sendiri, tapi alat yang harus selalu siap pakai.
"Pasal Tiga: Menu dan Preferensi. Koki pribadi wajib menyesuaikan menu dengan selera, alergi, dan kebutuhan diet klien. Koki pribadi juga harus proaktif mempelajari selera klien dan mengantisipasi kebutuhan tanpa diminta."
"Bagaimana kalau kliennya tidak makan sama sekali?" Doni tidak bisa menahan diri. "Bagaimana saya tahu seleranya kalau dia bahkan tidak sentuh makanan?"
Adrian terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berubah di wajahnya. "Pak Doni, saya tahu ini berat. Nona Naira sedang dalam kondisi khusus. Tapi justru itu tugas Bapak: menemukan cara supaya dia mau makan lagi. Bukan dengan paksaan, tapi dengan memahami apa yang dia butuhkan secara emosional."
"Pasal Dua Belas bilang saya tidak boleh terlibat emosional," ucap Doni datar.
"Terlibat emosional dan memahami emosi itu dua hal berbeda." Adrian menutup dokumen pertama dan membuka yang kedua. "Bapak tidak boleh jatuh cinta, tapi Bapak harus peduli. Tidak boleh jadi teman dekat, tapi harus peka. Di situlah garis tipisnya."
Doni membalik pancake dengan gerakan sedikit keras. Garis tipis antara peduli dan terlibat.
"Pasal Lima: Kewajiban Berbelanja. Koki pribadi bertanggung jawab untuk membeli bahan makanan segar. Anggaran bulanannya tiga puluh juta rupiah, sudah ditransfer ke rekening terpisah yang bisa diakses dengan kartu debit khusus. Semua pengeluaran harus disertai struk dan dicatat dalam laporan mingguan."
Adrian mengeluarkan kartu debit dari amplop dan menyerahkannya pada Doni. Kartu hitam berlogo PT Kulina Rasa Sejahtera itu terasa dingin dan berat di tangannya. "PIN-nya tanggal lahir Bapak. Jangan kasih ke siapa pun. Jangan pakai untuk keperluan pribadi. Setiap transaksi dimonitor."
Tiga puluh juta sebulan untuk bahan makanan. Lebih besar dari omzet bulanan Dapur Sari's di bulan yang bagus.
"Pasal Delapan: Protokol Kesehatan. Koki pribadi wajib menjaga higienitas maksimal. Cuci tangan sebelum masak, gunakan sarung tangan food-grade saat menangani bahan mentah, dan selalu pakai penutup rambut. Dapur harus dibersihkan setiap selesai sesi masak, dan semua peralatan disterilkan sesuai standar restoran bintang lima."
Pancake ketiga sudah matang. Doni menumpuknya rapi di atas piring, membentuk menara kecil yang sempurna. Ia mulai memotong buah stroberi, blueberry, pisang. Gerakan pisaunya cepat dan presisi.
"Pasal Dua Belas: Batasan Profesional." Adrian berbicara dengan nada lebih serius. "Ini yang paling penting, Pak Doni. Saya perlu Bapak dengarkan baik-baik."
Doni berhenti memotong.
"Koki pribadi dilarang keras terlibat dalam hubungan pribadi di luar konteks profesional dengan klien. Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu, termasuk berjabat tangan, menepuk bahu, atau bentuk sentuhan apa pun, kecuali dalam kondisi darurat medis."
"Tidak ada percakapan yang terlalu pribadi, atau pertanyaan yang menyinggung privasi klien. Bapak tidak boleh tanya tentang kehidupan pribadi Nona Naira, kecuali dia yang mulai lebih dulu."
"Tidak ada pemberian hadiah, ucapan ulang tahun berlebihan, atau gestur romantis dalam bentuk apa pun."
Adrian melepas kacamatanya. "Pak Doni, Nona Naira baru keluar dari pernikahan yang tidak sehat. Ia dalam masa pemulihan. Pihak sponsor dan keluarganya sangat protektif. Mereka tidak ingin ada pria yang memanfaatkan keadaannya."
"Saya mengerti," jawab Doni pelan.
"Pelanggaran terhadap Pasal Dua Belas akan mengakibatkan pemutusan kontrak sepihak tanpa kompensasi, denda lima ratus juta rupiah, dan kemungkinan tuntutan hukum."
Doni mengangguk. Lima ratus juta. Angka yang bisa menghancurkan sisa hidupnya.
...---•---...
...Bersambung...