NovelToon NovelToon
Melting The Iced Princess

Melting The Iced Princess

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Cintamanis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cintapertama
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Mumu.ai

Sekuel dari Bunga dan Trauma.

Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.

Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.

Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?

follow fb author : mumuyaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berlari

Ketika sampai di rumahnya, Rian melihat banyak sepeda motor yang terparkir di halaman rumahnya. Suasana tampak lebih ramai dari biasanya. Begitu ia mendekat ke pintu masuk, terdengar suara riuh para ibu-ibu yang bercampur dengan tawa dan obrolan dari dalam rumah.

“Eh… ada Pak Lurah. Baru pulang, Pak?” sapa salah satu ibu yang berdiri di dekat pintu.

“Iya, Bu,” jawab Rian sambil tersenyum ramah. “Ini rame sekali, ada acara apa ini, Bu?” tanya Rian heran.

“Oh, ini Pak Lurah. Biasa ibu-ibu, ada orang sales alat kesehatan yang nawarin kalung kesehatan, Pak. Terus Bu Sri ngajakin ke rumah beliau saja,” jawab ibu itu antusias.

Rian tertawa kecil mendengarnya sambil menggeleng pelan. Pantas dirinya melihat ada mobil yang terparkir di depan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Bunda masih juga percaya yang begituan,” gumamnya dalam hati.

“Saya permisi masuk ke dalam dulu, Bu,” pamit Rian sopan sebelum beranjak.

Karena pintu depan dipenuhi tamu, Rian akhirnya memilih masuk lewat pintu belakang. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan ruang tengah rumahnya yang kini hampir penuh oleh para ibu-ibu yang duduk berkerumun, mendengarkan penjelasan dari sales di depan mereka. Tak ingin jadi pusat perhatian, Rian langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Begitu sampai, ia melepas kemeja kerjanya, meletakkannya di kursi, lalu menuju kamar mandi. Air dari shower mengalir deras, membasahi tubuhnya yang lelah setelah seharian bekerja. Di bawah guyuran air itu, pikirannya kembali melayang pada satu hal, pertemuannya dengan wanita yang menghantui pikirannya.

Wajah tenang gadis itu kembali muncul di benaknya. Tatapannya datar, suaranya lembut tapi tak memberi celah bagi siapapun untuk mendekat terlalu jauh.

Rian menarik napas panjang. Di kampung ini, ia cukup populer. Bukan hanya karena jabatannya, tapi juga karena sikapnya yang ramah. Banyak perempuan yang diam-diam menaruh hati padanya. Ada pula satu dua yang terang-terangan mencoba menarik perhatiannya. Tapi entah mengapa, justru gadis yang tampak dingin dan tak tertarik padanya itu yang kini membuat pikirannya tidak tenang.

“Kenapa cewek satu itu nggak tertarik sama aku, ya…” gumamnya pelan.

Ia mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan, lalu mendengus sambil menatap lantai.

“Rian… Rian… kenapa malah perempuan es itu yang kamu suka,” ucapnya dengan nada kesal bercampur pasrah, sebelum akhirnya menunduk dan tertawa kecil pada kebodohannya sendiri.

Selesai mandi, Rian keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek kain yang merupakan pakaian santainya setiap malam. Setelahnya, ia menjatuhkan diri ke ranjang, mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur, lalu mulai menggulir layar tanpa tujuan.

Hingga akhirnya, jarinya berhenti pada sebuah tayangan yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Drama pendek asal Tiongkok.

Entah kenapa, pandangannya terpaku. Rian menonton dengan serius, matanya tak lepas dari layar ponsel, sampai-sampai ia tak menyadari waktu yang perlahan bergulir dan langit yang sudah berganti warna.

“Udah gelap lho, Nak. Itu gordennya belum juga ditutup.”

Suara itu membuat Rian hampir menjatuhkan ponselnya. Ia sontak menoleh, dan benar saja—ibunya, Bu Sri, sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi separuh jengkel, separuh geli.

“Waduh, nggak sadar, Bun. Tadi keasyikan nonton,” katanya sambil buru-buru duduk.

“Keasyikan nonton apaan sampai nggak sadar maghrib lewat?” tanya Bu Sri, melipat tangannya di dada.

“Drama, Bun. Drama Cina gitu…” jawab Rian setengah malu.

“Drama aja bikin lupa waktu. Cepat ambil wudhu sana, salat dulu. Habis itu langsung turun, Ibu udah siapin makan malam.”

“Siap, Bun.”

Bu Sri keluar dari kamar, sementara Rian refleks menegakkan badan, menutup gorden, dan bergegas kembali ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah melaksanakan salat maghrib tiga rakaat dengan khusyuk, ia segera turun ke lantai bawah seperti pesan ibunya.

Begitu sampai di ruang makan, aroma masakan rumah langsung menyambutnya, terutama menu rendang yang dimasak kemarin dan masih tetap wangi menggoda.

“Nah, ayo makan. Mas-nya udah turun,” seru Bu Sri kepada dua anak kembarnya yang sedang sibuk menata piring.

Riska dan Riski, dua gadis remaja yang kini berusia delapan belas tahun, langsung menoleh dan tersenyum kepada kakak sulung mereka.

“Mas Rian lama banget mandinya. Kayaknya bukan cuma nonton drama, tapi ikut mikirin pemerannya, ya?” goda Riska sambil tertawa kecil.

“Wah, jangan-jangan Mas Rian lagi naksir cewek Cina,” timpal Riski, kembarannya.

“Mulai, deh,” balas Rian sambil menghela napas dan menarik kursi. “Baru turun langsung diinterogasi.”

Bu Sri tertawa kecil melihat keakraban mereka. “Udah, udah. Daripada ribut, mending makan.”

Mereka pun mulai makan bersama. Suasana hangat dan sederhana menyelimuti meja makan itu.

Rian melirik ibunya sekilas—wanita tangguh yang membesarkan tiga anaknya seorang diri sejak sang suami meninggal dunia ketika Rian masih SMA. Walau hidup tak selalu mudah, warisan sawah dan ladang dari almarhum ayah mereka cukup untuk membuat keluarga itu tetap berdiri dengan layak.

Sambil menyuap nasi, Bu Sri menatap putra sulungnya dengan lembut. “Kamu udah capek kerja seharian, Nak. Tapi Ibu senang, kamu masih bisa jaga diri, nggak berubah meski jadi lurah muda sekarang.”

Rian tersenyum kecil. “Ibu ini ngomongnya kayak Rian pejabat besar aja. Rian cuma lurah, Bun.”

“Lurah juga pemimpin, Nak,” jawab Bu Sri lembut. “Tanggung jawabmu besar, dan Ibu yakin kamu bisa.”

Rian menunduk, menahan senyum yang tiba-tiba muncul. Ia jarang menjawab kalau ibunya sudah bicara sebijak itu. Tapi entah kenapa malam ini, di sela-sela kehangatan makan malam keluarga, wajah seorang gadis berhelm hitam dan senyum tipis tiba-tiba terlintas di benaknya.

“Pak Lurah…” gumamnya tanpa sadar.

“Lho, ngomong apa, Nak?” tanya Bu Sri.

“Eh? Nggak, Bun. Nggak apa-apa,” jawabnya cepat sambil meneguk air putih.

Riska dan Riski saling pandang dan cekikikan. “Wah, pasti ada yang bikin Mas Rian senyum-senyum sendiri, nih.”

Rian hanya bisa mengusap tengkuknya sambil tertawa kecil. Dalam hati, ia tahu mereka tak sepenuhnya salah. Karena entah kenapa, bayangan wajah ‘si iced princess’ itu terus menari di benaknya hingga malam larut.

“Rendang yang tadi pagi Bunda titip ke kamu, sudah kamu kasih ke Kakek Doni, Mas?” tanya  Bu Sri memotong candaan ketiga anaknya.

“Sudah, Bun. Kakek Doni bilang makasih,” jawab Rian.

Bu Sri mengangguk pelan sambil tersenyum. Keluarga mereka memang sudah cukup lama saling mengenal, tepatnya ketika ayah Rian masih sehat. Beliau yang membawa dan mengenalkan kampung ini pada Kakek Doni.

“Acara gerak jalan hari minggu besok, jadi ‘kan, Mas?” tanya Riski.

“Tentu saja jadi. Rencananya yang bakalan buka acara nanti itu Pak Bupati. Kamu jangan lupa bawa teman-teman sekolah kamu buat ikutan acara besok, Riski-Riska.”

“Siip, Mas,” jawab mereka kompak.

*

*

*

Beberapa hari berlalu, dan Rian belum juga berhasil mencari tahu nama sang pujaan hatinya. Bukan karena ia menyerah, melainkan kesibukan sebagai lurah membuatnya harus menepikan urusan pribadi yang, meski sederhana, terasa cukup mendesak di hatinya.

Setiap pagi sebelum berangkat dan setiap sore sepulang dari kantor, Rian selalu melintasi rumah Kakek Doni dengan satu harapan sekadar bisa melihat sekilas sosok wanita yang tanpa sengaja telah mencuri perhatiannya itu.

Namun, sudah empat hari berlalu, wajah itu tak juga muncul. Tak di teras, tak di halaman, bahkan sekadar bayangan pun tak terlihat.

Entah kenapa, setiap kali melewati rumah itu dan mendapati keheningan yang sama, ada rasa kosong yang singgah di dada Rian, seperti ada sesuatu yang hilang, padahal ia sendiri belum benar-benar mengenalnya.

Selain persiapan gerak jalan, Rian harus terbagi fokusnya dengan sebuah peristiwa di kampungnya, yakni adanya pertikaian tanah antara pembeli lama dan baru, dan hal ini tentu cukup menyita waktu dan perhatian Rian.

Hingga harinya tiba, acara gerak jalan yang diusung oleh dirinya ketika baru saja menjabat sebagai lurah beberapa waktu lalu. Beruntung dirinya didukung penuh oleh masyarakat hingga akhirnya acara ini bisa dilaksanakan. Acara tidak hanya berupa gerak jalan, namun ada juga hiburan dan juga sosialisasi kesehatan dari RS daerah mereka.

Ketika baru saja duduk di kursi yang disediakan, seseorang datang menghampiri Rian sambil membawakan minuman dingin.

“Diminum, Mas,” ucap perempuan itu. Banyak warga yang melihat interaksi mereka. Ada yang tersenyum geli, ada juga yang melihat dengan tatapan sinis. Tidak mau membuat perempuan ini malu, Rian terpaksa menerimanya sembari memberikan senyuman.

“Terima kasih, Nadya,” ucap Rian pada wanita yang cantik, manis, muda, dan ayu itu. Tapi entah kenapa Rian merasa kurang menyukainya.

“Sama-sama, Mas,” jawabnya sambil tersenyum malu. Ia kemudian duduk di kursi kosong yang ada di samping Rian, dan tentu saja sebenarnya membuat Rian kurang nyaman. Namun, ia mencoba bersikap biasa karena banyaknya warga yang kini tengah memperhatikan mereka.

Bisik-bisik mulai terdengar di telinga Rian.

“Mereka cocok, lho.”

“Iya, satu ganteng satu cantik. Anaknya kualitas terbaik ini pastinya.”’

Rian hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan-ucapan itu. Entah apa yang membuat banyak warganya yang ingin mereka berdua bersatu dalam sebuah hubungan.

“Jangan mimpi,” batinnya.

“Eh, Mas…” suara wanita itu membangunkan Rian dari kegelisahannya.

“Setelah ini katanya ada sosialisasi kesehatan, ya dari rumah sakit?” tanya Nadya dengan nada bicara yang dibuat lembut.

“Hmm…” Hanya sebuah deheman yang menjadi jawaban dari Rian.

“Jadi nggak sabar, deh nambah ilmu. Apalagi katanya ada psikolog juga nanti yang datang, jadi bisa dapat ilmu tentang kesehatan mental. Bagus banget lho itu, Mas,” lanjut Nadya.

“Iya, bagus banget buat jaga kesehatan mental aku,” dumel Rian dalam hatinya.

“Psikolognya siapa, Mas?” tanya Nadya lagi.

Rian menggeleng pelan. “Nggak tahu.”

Dirinya memang tidak mengetahui nama-nama pihak rumah sakit yang datang hari ini. Sebenarnya Adam—staf kelurahan sudah memberikan nama-nama pihak rumah sakit beserta agenda hari ini. Namun kembali… dirinya yang sangat sibuk hingga mempercayakannya pada Adam.

Tak lama rombongan dari rumah sakit tiba. Sebagai lurah, Rian tentu saja harus menyambut kedatangan mereka.

Rian bangkit dari duduknya, dan berjalan menghampiri rombongan itu. Namun langkahnya terhenti di tengah. Ia berdiri terpaku, menatap sebuah sosok yang membuatnya ingin berlari.

“Ya Tuhan…”

*****

Terima kasih sudah setia membaca cerita author, ya. Jangan lupa vote dan sesajen buat author, ya 😄 Jempol jempolnya juga jangan kendor yaa 😘😘

1
Supryatin 123
lnjut thor 💪💪
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
ya allah cabe merah 1 kg hampir 80
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
mumu: kak disini cabe merah 150 sekilo 😭😭
total 1 replies
😇😇
udah main princess princess aja, pak lura 😂😂
Supryatin 123
🤣🤣🤣papa fadi terlalu overprotektif lnjut thor 💪💪
cahaya
gagal maning gagal maning 🤣🤣🤣
Esther Lestari
belum apa2 papa Fadi sudah posesif gitu sama anak ceweknya🤭.
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
bukan siap siap mantu,,, tapi siap siap ngasih pelajaran dulu smaa calon mantu...🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
mampuuuuuusssssssss udah bilang gak boleh duluan..... rian siap siap loe dibogem mentah sama si papa keren kece badai abis....🤣🤣🤣
Esther Lestari
Pak Lurah aja digosipin sama warganya🤭
Supryatin 123
lnjut thor 💪💪
Hary Nengsih
klo d kampung y begitu cepet nyebar gosip harus tebal telinga
Supryatin 123
seruuu ceritanya ❤️❤️❤️
Supryatin 123
lnjut thor 💪💪
Hary Nengsih
lanjut
cahaya
good 👍👍
Lyana
nice thor
Esther Lestari
semoga retensinya bagus thor dan cerita Jelita berlanjut
Esther Lestari
istirahat dulu Jelita,tenangkan pikiran baru cerita dgn kakek Doni.
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
emaknya kalo ngamuk ngalahin papa fadi,,, papa fadi aja tunduk sama kanjeng ratu ibunda mama bunga jelita tercinta...🤣🤣🤣🤣🤣
mumu: anak mapala jangan dilawan 🤭🤣🤣
total 1 replies
Esther Lestari
Apakah mama Bunga akan datang menemui Jelita🤭.

Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!