Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEDIKIT GANGGUAN SAAT PULANG
Jam di lobi sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Shift kerja Aryan dan rekan-rekannya resmi berakhir. Malam itu, Aryan merasa sangat lelah namun puas. Ia telah menyelesaikan hari pertamanya dengan mulus, dan beban kontrak kerja telah menggantikan beban pengangguran.
Satu per satu, rekan-rekannya pamit pulang. Rima, Dina, Danu, dan Rio melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal, dan masuk ke lift umum.
"Hati-hati, Yan! Jangan lupa besok tepat waktu!" seru Rio sebelum pintu lift menutup.
"Siap!" balas Aryan.
Namun, Aryan tidak ikut pulang. Ia masih memiliki satu tugas kecil yang belum tuntas, yaitu memastikan kerapian kamar 12 di lantai delapan yang baru saja ditinggalkan tamu. Kamar itu adalah kamar terakhir yang harus ia periksa.
Ia berjalan ke lift, menekan tombol 8, dan naik kembali. Lorong lantai delapan sudah gelap dan hening, hanya lampu koridor yang memancarkan cahaya kekuningan. Ia membuka pintu kamar 12. Di dalamnya, ia menghabiskan waktu sekitar lima belas menit, memastikan handuk kotor sudah dimasukkan ke troli, sisa sampah telah terbuang, dan jendela terkunci rapat.
Akhirnya, tugasnya selesai. Kaki Aryan terasa pegal, dan ia hanya ingin segera sampai di kosan, mandi, dan tidur nyenyak. Ia berbalik, menuju lift utama lagi.
Ia menekan tombol panggil. Lama sekali. Ia menunggu, menghitung dalam hati sampai dua puluh. Lampu lift tidak kunjung berkedip tanda lift sedang bergerak. Mungkin lift sedang digunakan di lantai atas, atau mungkin sedang bergerak sangat lambat.
Aryan menghela napas tidak sabar. Tidak ada waktu. Aku akan turun lewat tangga darurat saja.
Ia menuju pintu darurat yang tertutup besi tebal di ujung lorong. Pintu itu mudah dibuka, dan ia mulai menuruni anak tangga dengan langkah santai. Lorong tangga darurat itu memang gelap gulita tanpa jendela, namun lampu darurat bertenaga baterai yang terpasang di dinding memberinya penerangan yang cukup untuk melihat pijakan kakinya. Suara langkah sepatunya menggema memecah keheningan beton.
Ia melewati lantai delapan, enam, dan kemudian kakinya menginjak pijakan Lantai Tujuh.
Saat ia tiba di pintu keluar Lantai Tujuh, langkahnya terhenti. Pintu itu berbeda. Itu adalah pintu besi yang kokoh, bukan pintu kayu biasa seperti pintu antar lantai lainnya. Pintu itu terkunci rapat dengan gembok besar yang terlihat tua dan berkarat, persis seperti deskripsi yang didengar Nyonya Lia dan rekan-rekannya. Di tengah pintu itu, terdapat kaca tebal kecil sebagai lubang intip.
Namun, bukan gembok itu yang membuat Aryan mematung.
Jauh dari dalam lorong di balik pintu besi itu, terdengar suara. Suara tangisan wanita. Suaranya sayup-sayup, terdengar seperti ratapan yang ditahan, penuh dengan kepedihan yang menusuk. Suara itu begitu jelas di keheningan mencekik tangga darurat.
Seluruh bulu kuduk Aryan berdiri tegak. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah dengan liar. Ia ingat peringatan Nyonya Lia: Lantai Tujuh sedang diperbaiki karena kerusakan kabel dan korsleting. Tapi, bukankah para teknisi sudah pulang selarut ini? Dan suara itu... itu jelas suara wanita yang menangis.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Perlahan, Aryan mendekat ke pintu besi itu. Ia merunduk, menempelkan telinganya ke bingkai pintu, mencoba memastikan suara yang ia dengar. Ya, itu adalah tangisan.
Dengan tangan gemetar, Aryan mendekatkan matanya ke kaca lubang intip.
Pandangannya langsung disambut oleh lorong gelap yang panjang. Di sana, lampu koridor padam total, hanya ada sedikit cahaya rembulan yang masuk dari jendela di ujung lorong, menciptakan bayangan aneh dan memanjang dari setiap dekorasi. Di kedua sisi lorong, berjejer pintu-pintu kamar hotel. Pintu-pintu itu semua terlihat tua, kusam, dan bernomor. Aryan sempat menghitung cepat dalam hati: Kamar 1, 2, 3, hingga 12. Sayap kamar yang lengkap, namun mati.
"Ada orang?" teriak Aryan pelan, suaranya terdengar sumbang dan kecil.
Tidak ada jawaban. Hanya tangisan sayup-sayup itu yang seolah menjauh dan mendekat.
Aryan mengintip lebih dekat lagi, memfokuskan pandangannya ke dalam kegelapan. Ia memperhatikan kamar-kamar yang berderet. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang membuat darahnya langsung membeku.
Pintu kamar nomor 5 sedikit terbuka.
Dari celah pintu yang terbuka itu, muncul sehelai kain. Kain itu terlihat lembut, namun berwarna merah gelap, seperti warna darah yang mengering. Dan kemudian, sebuah tangan keluar. Tangan itu panjang, kurus, dengan kuku-kuku yang sangat panjang dan menghitam, seolah tidak pernah dipotong. Kulit tangan itu tampak kasar dan pucat.
Tangan itu bergerak lambat, menyentuh kusen pintu. Saat tangan itu bergerak, Aryan melihat lebih jelas ke dalam celah pintu, dan ia yakin ada sosok wanita di baliknya, tertutup oleh gaun panjang berwarna merah yang tadi ia lihat kainnya.
Seketika itu juga, naluri bertahan hidup Aryan berteriak. Ini bukan teknisi. Ini bukan orang biasa. Ini adalah sesuatu yang harus dihindari.
Tubuhnya menegang. Ia mengeluarkan suara terengah-engah dan tanpa sadar melepaskan pegangannya pada pintu. Ia tersentak kaget, kehilangan keseimbangan, dan terjatuh di lantai beton Lantai Tujuh. Suara jatuhnya cukup keras, dan seketika itu juga, tangisan wanita itu berhenti total.
Keheningan yang datang setelah tangisan itu jauh lebih mengerikan daripada suara tangisan itu sendiri.
Aryan tidak menunggu sedetik pun. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa memikirkan sakit di lututnya, ia langsung bangkit dan kabur. Ia berlari secepat mungkin menuruni anak tangga darurat, melompati dua hingga tiga anak tangga sekaligus. Lantai enam, lima, empat, tiga, dua... Ia tidak berhenti hingga kakinya menginjak lantai dasar, jauh dari keheningan Lantai Tujuh yang mencekik.
Napasnya memburu, paru-parunya sakit, namun ia berhasil. Ia tiba di lantai dasar, membanting pintu darurat hingga suaranya bergema di lobi yang sepi.
Ia berjalan cepat ke area loker staf. Tangannya gemetar saat ia membuka loker, mengambil tas ransel, dan mengunci kembali loker. Ia berusaha tampil tenang, memastikan tidak ada CCTV atau petugas keamanan yang melihat kepanikan di wajahnya. Ia tahu ia tidak boleh menceritakan ini kepada siapa pun. Tidak kepada Bima, apalagi kepada rekan kerjanya. Mereka sudah memperingatkannya, dan ini akan membuatnya dicap gila atau pencari masalah oleh Nyonya Lia.
Di luar, mobil penjemput sudah menunggu sesuai janji Bu Indah. Aryan masuk ke mobil, menutup pintu, dan hanya menarik napas dalam-dalam. Sambil mobil melaju menjauhi The Grand Elegance Residency, ia menatap ke kaca spion, memastikan dirinya benar-benar menjauh dari hotel itu. Ia tahu, Kamar Terlarang bukan hanya soal kerusakan kabel. Itu adalah lokasi tempat hantu bergaun merah itu berada. Dan dia, Aryan, baru saja secara resmi berinteraksi dengannya. Ia harus tetap tenang, menjaga rahasia itu, dan tetap bekerja demi gajinya.
Mobil penjemput hotel berhenti perlahan tepat di depan gang sempit menuju kosan Aryan. Jantung Aryan yang sempat berdebar kencang di mobil kini mulai mereda, meskipun sisa rasa dingin Lantai Tujuh masih melekat. Ia mengucapkan terima kasih kepada sopir dan turun.
Begitu kakinya menginjak tanah, matanya langsung menangkap sosok yang familiar. Di depan pagar kosan, berdiri sahabatnya, Bima, dengan senyum lebar, memegang dua bungkus besar nasi Padang yang aromanya menusuk hidung.
"Bos baru! Gimana rasanya dijemput mobil mewah?" sapa Bima, nada suaranya penuh godaan.
Wajah Aryan yang tadinya tegang seketika berubah cerah. Melihat Bima, melihat makanan, seolah membawa dia kembali ke dunia nyata yang aman. Ia berjalan cepat menghampiri Bima. Mereka bersalaman, melibatkan tepukan bahu khas anak muda, dan kemudian berpelukan singkat.
"Gila, Bim. Aku senang banget kamu di sini," ujar Aryan, rasa lelahnya sedikit terangkat.
"Tentu saja! Aku kan janji nunggu kabar baik. Gimana hari pertama kerja? Lancar, aman?" tanya Bima, sambil menyerahkan salah satu bungkusan nasi Padang.
Aryan tersenyum, senyum tulus pertama sejak ia melihat pintu besi terkunci itu. "Lancar, Bim. Lancar banget. Aman, semua berkat dukungan kamu. Kontrak sudah ditanda tangan, ID card sudah dapat, gajinya empat juta, Bim! Empat juta!"
"Sip! Sudah aku duga, rezeki anak rajin memang enggak kemana," bangga Bima, menepuk punggung Aryan.
Aryan segera membuka pintu kosan. Ia meminta Bima duduk sementara ia mengambil dua piring bersih dari rak.
"Tunggu sebentar ya, Bim. Aku harus ganti baju. Seragam hotel ini tebal dan gerah. Sekalian aku mau mandi sebentar. Rasanya badan lengket semua," kata Aryan.
"Santai saja, Yan. Makanan ini juga baru aku beli. Masih hangat," balas Bima, lalu ia mengeluarkan sebungkus rokok dan korek dari saku celananya.
Aryan bergegas mandi. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tidak hanya menghilangkan keringat, tetapi juga seolah membersihkan sisa-sisa kengerian yang ia alami di tangga darurat. Setelah selesai dan berganti dengan kaos rumahan yang nyaman, ia menghampiri Bima.
Mereka mulai makan dalam diam, menikmati lezatnya masakan Padang. Setelah piring mereka bersih, Bima menyalakan sebatang rokok pertamanya.
"Nah, sekarang cerita. Detailnya," ujar Bima, mengembuskan asap rokok. "Tadi kamu bilang semua baik-baik saja. Pasti ada drama kan? Hotel mewah pasti punya standards gila. Ada yang galak?"
Aryan menarik napas panjang. Awalnya ia ragu. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk merahasiakan peristiwa itu. Tapi Bima adalah sahabatnya. Ia perlu membaginya, setidaknya untuk memastikan ia tidak gila.
"Standar mereka tinggi, tapi orang-orangnya ramah. Nyonya Lia baik, staf lain juga asik," Aryan memulai, mencoba bersikap santai. "Tapi, Bim... ada yang aneh. Aneh banget."
Bima menatapnya serius. "Aneh bagaimana?"
Aryan menceritakan semuanya, mulai dari pintu lift yang macet di lantai delapan, keputusannya menggunakan tangga darurat, penemuan pintu besi terkunci di Lantai Tujuh, hingga suara tangisan wanita sayup-sayup. Ia menceritakannya dengan detail, suaranya sedikit bergetar ketika sampai pada bagian ia melihat melalui lubang intip.
"Aku lihat pintunya kebuka sedikit, Bim. Dan ada tangan yang keluar. Tangan pucat, kukunya panjang dan hitam. Dan gaunnya, Bim. Aku yakin itu warna merah. Kuntilanak bergaun merah," bisik Aryan, matanya menatap tajam ke wajah Bima, mencari validasi.
Bima terdiam sejenak, wajahnya mengkerut, seolah mencoba menahan sesuatu. Kemudian, ia tertawa terbahak-bahak. Tawa Bima itu nyaring, bahkan sedikit mengejek.
"Hahahaha! Astaga, Yan! Kamu itu stres, Bro!" tawa Bima sambil memukul lututnya. "Kamu serius? Kuntilanak bergaun merah? Itu bukan hotel, Yan, itu lokasi syuting film horor!"
Aryan merasa kesal. Ia membutuhkan Bima untuk percaya. "Aku serius, Bim! Aku lihat sendiri! Aku jatuh di sana, suaranya langsung berhenti. Itu nyata!"
Bima berusaha menghentikan tawanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskan asap rokok, dan menatap Aryan dengan mata yang kini dipenuhi keyakinan. "Iya, iya, aku juga serius. Dengar, Yan. Kamu baru saja dipecat, stres cari kerja, dan dapat pekerjaan mendadak di hotel creepy nan mewah itu. Itu kombinasi yang sempurna untuk halusinasi."
"Halusinasi? Tapi aku dengar tangisannya," bela Aryan.
"Tentu saja kamu dengar! Lorong gelap, jam sepuluh malam, kamu lagi capek, dan kamu sudah diwanti-wanti soal larangan Lantai Tujuh. Pikiranmu menyambungkan titik-titik itu sendiri," jelas Bima. "Mungkin itu cuma suara teknisi yang masih bekerja, atau suara pipa air yang mampet, atau bahkan suara angin! Kamu sudah tegang duluan, jadi yang kamu lihat adalah kuntilanak."
Aryan terdiam. Ia memproses perkataan Bima. Ada benarnya juga. Tekanan mentalnya sangat tinggi.
"Iya, juga, ya," kata Aryan, nadanya kini melunak. "Kemungkinan aku halu kali, ya. Stres berat, terus imajinasiku terlalu liar."
"Nah, itu baru sahabatku!" Bima mengangguk puas. "Fokus, Yan. Kamu dapat gaji empat juta. Jangan biarkan feeling atau khayalan konyol merusak kariermu yang baru seumur jagung. Tugasmu itu melayani tamu dan dapat uang. Lantai Tujuh itu masalah mereka, bukan masalahmu."
Bima kemudian menyalakan sebatang rokok lagi, lalu menawarkan satu kepada Aryan. "Ayo, merokok dulu di luar. Kita hirup udara malam sebentar daripada kamu terus memikirkan gaun merah itu," ajak Bima sambil tertawa kecil.
Mereka pun keluar, duduk di depan kosan. Sambil menikmati rokok, obrolan mereka beralih ke rincian pekerjaan Aryan yang lebih detail, tentang tugas-tugasnya, seragamnya, dan rencananya menabung. Bima terus menyemangati temannya, menegaskan bahwa ini adalah awal yang baik dan ia harus pantang menyerah. Aryan, dengan asap rokok mengepul dan dukungan sahabatnya di samping, memutuskan untuk mengubur dalam-dalam ingatan tentang tangan berkuku hitam itu, meyakini bahwa itu hanyalah bumbu dramatis dari kelelahan mentalnya.