Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu istimewa
Mobil hitam dengan dengan logo bulatan berjumlah empat itu melaju meninggalkan hiruk pikuk Jakarta. Mentari mengemudi dengan tenang. Jalanan tol sore itu dipenuhi cahaya jingga yang memantul di permukaan mobil-mobil lain.
Map berisi surat perjanjian magang dari D’Or Mode ia letakkan di kursi sebelahnya. Rasanya sulit dipercaya—hanya dalam waktu dua puluh empat jam, hidupnya berubah. Dari sekadar mahasiswi desain yang sibuk mengerjakan tugas di café, menjadi bagian dari perusahaan fashion impiannya.
Namun, di sela kegembiraan itu, pikirannya kembali pada sosok sang CEO.
Dewangga Orlando Danurengga.
Nama itu berputar di kepalanya seperti melodi yang sulit dihapus. Tatapan pria itu—dingin tapi hangat, kaku tapi mengandung rasa ingin tahu—masih terpatri jelas. Ia menggeleng pelan, berusaha menghapus lamunan konyolnya.
“Jangan aneh-aneh, Tar,” gumamnya pada diri sendiri. “Dia cuma atasan.”
Ponselnya bergetar. Nama Ibu muncul di layar. Ia menarik napas sebelum mengangkat.
“Halo, Bu.”
“Kamu di mana sekarang, Tari?” suara ibunya terdengar lembut tapi tegas—seperti biasa.
“Masih di jalan, Bu. Mau balik ke Bandung, baru dari Jakarta.”
“Ada urusan apa di Jakarta?”
“Biasa, Bu, anak muda.” jawab Mentari santai.
“Ibu cuma mau kasih tahu, malam ini kamu jangan keluar lagi. Kita ada tamu makan malam.”
“Tamu?” Mentari mengernyit. “Siapa?”
“Keluarga terhormat juga. Pokoknya kamu ikut saja. Pakaian yang rapi, jangan terlambat.”
“Lho, Bu, Mentari capek banget loh. Baru juga pulang ini, sampe juga belum, Bu.”
“Tari.” Suara ibunya melembut tapi mengandung tekanan. “Cuma makan malam. Ibu minta kamu hadir, ya.”
Mentari mengembuskan napas panjang. “Iya, Bu.”
Telepon terputus.
Ia menatap layar sebentar, lalu menaruh ponselnya diatas map. Langit di luar mulai berubah warna, senja menurun perlahan. Ada rasa malas mengendap di dada—bukan hanya karena lelah perjalanan, tapi karena ia tahu setiap kali keluarganya menyebut “tamu penting”, itu tak pernah berarti hal baik baginya.
Biasanya artinya: urusan bisnis, gengsi, atau… mungkin saja perihal jodoh.
Mentari menghembuskan napas kasar, ia tak mau ambil pusing—cukup project desain nya saja yang membuatnya sedikit repot. Sejujurnya Mentari hanya ingin sampai di rumah, mandi, lalu tidur. Tapi semesta seolah sedang bersekongkol untuk membuat hidupnya jauh lebih rumit dari itu.
Sebab malam nanti, di rumah megah keluarga Arata Wiradiredja, akan hadir seseorang yang diam-diam telah dipilihkan untuknya.
Seseorang yang tak ia kenal,
dan tak pernah ia minta.
Namun belum ada yang tahu, takdir Mentari sudah lebih dulu bersinggungan dengan pria lain—yang kelak akan mengubah arti “rumah tangga” dalam hidupnya.
_____
Bandung
Lampu gantung kristal di ruang makan utama menyala penuh, memantulkan cahaya lembut pada dinding marmer yang berkilau. Aroma wangi mawar putih tercium dari vas di tengah meja panjang yang sudah tertata rapi dengan piring porselen impor dan gelas kristal.
Mentari melangkah pelan menuruni tangga besar rumahnya. Gaun sederhana berwarna champagne membalut tubuh rampingnya. Rambutnya dibiarkan terurai, hanya disisir rapi tanpa gaya berlebihan. Ia menatap bayangannya di cermin besar di ruang tengah dan menarik napas panjang.
“Formal banget suasananya,” gumamnya lirih.
Bukan pertama kalinya keluarga mengundang tamu seperti ini, tapi entah kenapa malam ini terasa lebih… serius.
Begitu kakinya menapaki ruang makan, ayahnya—Adikara Wiradiredja—sudah duduk di ujung meja, berdampingan dengan ibunya. Di seberang mereka, tiga orang tamu duduk dengan sopan: sepasang suami istri paruh baya berpenampilan elegan, dan seorang pria muda yang tak tampak asing di mata Mentari.
Pria itu menatapnya sekilas, tersenyum tipis.
Wajahnya bersih, gaya berpakaian rapi, dan sikapnya sopan—terlalu sopan bahkan, seperti seseorang yang terbiasa menghadiri jamuan semacam ini.
“Nah, ini dia putri kami,” ucap Ibu Mentari, suaranya lembut tapi sarat makna. “Mentari Arata Wiradiredja.”
Mentari tersenyum sopan, sedikit menunduk, “Selamat malam,” ucapnya tenang.
Ayahnya memberi isyarat untuk duduk di kursi kosong di sebelah tamu pria itu.
“Ini Arsenio Atmadja, putra dari Pak Hendi,” ujar ayahnya. “Mereka punya beberapa proyek properti di Jakarta.”
“Senang sekali bisa bertemu, Mentari,” kata Arsenio sopan, suaranya tenang dan berwibawa. “Saya sering mendengar tentang keluarga Wiradiredja.”
“Begitu ya,” jawab Mentari sambil tersenyum kecil. “Semoga yang didengar hal baik, ya.”
Mereka tertawa kecil, tapi suasananya tetap canggung. Para orang tua mulai berbincang hangat tentang bisnis, kerja sama, dan prospek masa depan. Sesekali, Ayah Mentari melirik ke arah mereka berdua—senyum penuh makna yang membuat Mentari hampir ingin menghilang dari kursinya.
Ia tahu persis ke mana arah pembicaraan ini.
Perjodohan, tentu saja.
“Tari ini sedang sibuk kuliah,” ujar ibunya lembut. “Fakultas Desain. Tapi Ibu harap nanti bisa tetap melanjutkan jejak keluarga, ya, Tari?”
Mentari menegakkan tubuhnya, senyum sopan masih terpampang, “Mentari akan berusaha sebaik mungkin, Bu. Tapi untuk sekarang, Mentari fokus dulu di kampus.”
Ayahnya menimpali dengan nada setengah bercanda, setengah serius.
“Tapi kalau sudah punya pendamping yang sevisi, Ayah yakin karier pun bisa sejalan, ya, Arsen?”
Arsenio tersenyum, menatap Mentari sekilas, “Saya percaya begitu, Pak. Dua orang bisa saling menguatkan, apalagi kalau punya arah hidup yang sama.”
Kata-katanya terdengar sempurna di telinga siapa pun—kecuali di telinga Mentari.
Ia menahan napas, lalu tersenyum lagi, menatap piringnya, memutar garpu perlahan.
Senyumnya tak pernah benar-benar sampai ke mata.
Malam berjalan panjang. Hidangan demi hidangan berganti, diselingi tawa para orang tua yang semakin akrab. Sementara Mentari, di balik senyum dan sikap sopannya, sedang berjuang melawan rasa jengah dan lelah yang mulai menekan dadanya.
Setiap kali Arsenio berbicara, ia menanggapinya secukupnya.
Ia menghargai sopan santunnya, cara bicaranya yang lembut, bahkan matanya yang penuh hormat. Tapi… tidak ada getaran apa pun di sana.
Bukan karena Arsenio buruk, tapi karena hatinya sedang terisi oleh sesuatu yang lebih samar—sebuah bayangan pria berusia matang, bermata tenang, yang baru saja ditemuinya di kantor siang tadi.
Seseorang yang bahkan belum tentu memikirkannya kembali.
Mentari menatap lilin di meja makan, membiarkan sinarnya memantul di matanya yang mulai sayu.
Di luar sana, langit Bandung berkilau oleh lampu kota, tapi bagi Mentari malam itu terasa seperti ruang sempit tanpa udara.
Satu hal yang ia tahu pasti:
tidak peduli seberapa besar usaha keluarganya mengatur masa depannya, hatinya tidak bisa diatur.
Dan entah kenapa, bagian terdalam dirinya tahu—jalan hidupnya baru saja berbelok arah, ke arah yang melibatkan nama Dewangga Orlando Danurengga. Pria dingin yang mengusik hati kecil Mentari.