NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Putri Sinclair

Pintu ruang CEO menutup klik. Audy berjalan dengan langkah setengah berlari ke mejanya, wajahnya merah padam seperti habis lari mengelilingi stadion.

Nadine yang masih fokus mengetik, melirik sekilas. “Hei, kenapa wajahmu seperti udang rebus? Kau demam?”

Audy langsung menaruh berkas di meja, lalu mendekat sambil berbisik dramatis. “Nadine… aku… aku baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat.”

Nadine berhenti mengetik, menoleh penuh rasa ingin tahu. “Maksudmu?”

Audy menunduk, suaranya lirih tapi penuh tekanan. “Bos kita itu… benar-benar Cassanova kelas internasional! Aku barusan mengintip—eh, bukan, bukan sengaja mengintip, aduh… ya, intinya aku melihat dia… dengan seorang wanita… di sofanya… dan tangannya itu… ya Tuhan, aku tidak sanggup mendeskripsikannya!”

Nadine langsung menepuk jidat. “Kau serius? Baru hari pertama lembur, kau sudah jadi saksi hidup salah satu ‘rahasia’ kantor ini?”

“Jadi ini bukan hal aneh bagimu?!” Audy mendecak, matanya membulat. “Aku kira dia hanya pria dingin yang menyebalkan. Ternyata… ternyata…”

“Ya, ternyata dia memang Cassanova,” potong Nadine kalem, seperti sedang membicarakan resep bubur ayam. “Sudah biasa, Audy. Semua orang di kantor ini tahu. Kau hanya terlalu polos.”

Audy menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Astaga… kenapa harus aku yang melihat langsung? Kenapa tidak kau saja?!”

“Karena aku sibuk bekerja,” jawab Nadine sambil tertawa kecil. “Sedangkan kau terlalu banyak rasa penasaran.”

Audy terdiam, lalu menghela napas panjang. “Ya Tuhan, dunia kerja ini lebih dramatis daripada sinetron.”

Sementara itu, di balik pintu ruangan CEO, Aldrich berdiri tenang. Wanita cantik bergaun mini itu tersenyum puas sambil merapikan rambut pirangnya. Ia menerima sebuah check dari tangan Aldrich.

“Terima kasih, Tuan Jourell,” ucapnya genit. “Semoga kau tidak bosan dengan jasaku.”

Aldrich hanya tersenyum tipis, ekspresinya sulit ditebak. “Kau tahu aturannya. Jangan menaruh harapan lebih.”

Wanita itu mengangguk manis, lalu melenggang keluar dengan langkah percaya diri, meninggalkan wangi parfum menyengat di ruangan.

Aldrich kembali duduk, memandangi pintu yang baru saja menutup. Senyumnya kembali terbit, kali ini lebih samar. “Audy Shafira… kau benar-benar gadis yang menarik. Bahkan kebetulan pun seakan selalu membawamu ke arahku.”

.....

Jarum jam dinding di kantor sudah menembus angka 10 malam. Audy meregangkan tubuhnya sambil menguap lebar, nyaris tak peduli jika Nadine masih sibuk membereskan meja.

“Aku resmi jadi korban ospek bos iblis itu,” gerutunya pelan.

“Sudah kubilang, jam 8 itu kode. Jika dia bilang lembur, artinya kita pulang jam 10.” Nadine terkekeh, santai sekali, seperti ini sudah jadi rutinitas.

Audy mendengus, memeluk tasnya di dada. “Dunia kerja benar-benar kejam. Aku lebih memilih diceramahi dosen tiga jam daripada duduk di sini sepuluh menit.”

“Bersyukurlah, rekeningmu akan membengkak jika sering lembur,” sahut Nadine dengan nada menggoda.

_____

Begitu sampai di rumah, lampu ruang tamu masih menyala. Para pelayan sudah tak terlihat berlalu lalang. Audy membuka pintu pelan, tapi suara bariton khas sang ayah langsung terdengar.

“Kau pulang juga akhirnya, Tuan putri,” ucapnya tenang, tanpa intonasi marah.

Audy mengintip, melihat Daddy-nya duduk di sofa dengan tablet di tangan. Wajahnya teduh, tapi ada garis tipis di dahi yang menunjukkan rasa gemas tertahan.

“Daddy belum tidur?” suara Audy lirih, nyaris seperti anak kecil yang ketahuan bolos.

Sang ayah menutup bukunya perlahan, menatap putri semata wayangnya itu. “Bagaimana Daddy bisa tidur jika putri Daddy baru pertama kali lembur dan pulang lewat dari jam sepuluh malam? Kau pikir Daddy tidak khawatir?”

Audy langsung merasa kerdil. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa, meletakkan kepalanya di bahu sang ayah. “Aku lelah sekali, Daddy… jika aku boleh mengeluh, aku akan—”

Kalimat itu terputus. Ia menggigit bibir, menelan kata-kata yang nyaris meluncur dari bibir mungilnya. Dalam hatinya ia ingin sekali melontarkan semua: tentang bos bar-bar yang menyebalkan, tentang pekerjaan yang seperti ospek, bahkan tentang insiden memalukan di depan pintu ruangan CEO tadi. Tapi ia urungkan.

Karena ia tahu, Daddy sudah cukup gemas dengan keputusannya bekerja di perusahaan itu.

Sang ayah mengusap rambutnya lembut. “Lelah itu wajar. Tapi kau sendiri yang memilih jalan ini, Audy. Daddy hanya bisa mengingatkan, jangan sampai kau hancur sendiri.”

Audy mengangguk kecil. “Iya, Daddy.”

Senyap beberapa detik, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Audy menutup matanya, membiarkan aroma aftershave ayahnya menenangkan resahnya. Dalam hati ia berbisik, ‘Jika saja Daddy tahu apa yang kulihat malam ini di kantor, mungkin Daddy langsung menyeretku untuk berhenti kerja.’

_____

Pagi itu, Audy memacu mobil cantiknya menuju kantor dengan wajah kecut. Meski ia sudah mandi dengan sabun wangi, memakai parfum segar, dan memilih outfit kece hasil racikan Zoey semalam, bayangan adegan semalam di ruang bos terus berputar di kepalanya.

“Ya Tuhan, semoga aku tidak bertemu dia pagi-pagi begini. Please, please, jangan dulu...” gumamnya sambil menepuk-nepuk setir.

Namun semesta seperti gemar bercanda. Baru saja Audy memarkir mobil, pintu mobil di sebelahnya terbuka. Dari sana, keluar sosok pria tinggi dengan setelan abu-abu rapi, wajah dingin, dan tatapan tajam—siapa lagi jika bukan Aldrich.

Deg!

Audy langsung panik. Jantungnya seakan memukul-mukul dada, tangannya gemetar. Ia buru-buru menunduk, pura-pura mencari sesuatu di tas, padahal hanya menyembunyikan wajah.

Langkah sepatu kulit itu semakin mendekat. Dan tiba-tiba, suara berat Aldrich terdengar tepat di samping telinganya.

“Kau...” bisiknya pelan tapi jelas, dengan senyum miring. “...yang akan jadi wanita selanjutnya.”

“A-APA?!” Audy melonjak seperti terkena setrum. Matanya membelalak, wajahnya merah padam. Tanpa pikir panjang, ia lari setengah terbirit-birit menuju pintu masuk kantor, meninggalkan Aldrich yang hanya mengangkat alis, gemas melihat reaksinya.

.....

Sampai di mejanya, napas Audy masih terengah seperti habis sprint 100 meter. Nadine yang baru duduk di sebelahnya menatap bingung.

“Kau, kenapa seperti dikejar hantu pagi-pagi begini?” tanya Nadine sambil mengerutkan dahi.

Clara yang membawa kopi untuk mereka ikut melongo. “Kau kenapa, Audy? Sudah maraton sepagi ini?”

Audy menepuk dadanya, masih histeris. “Aku... aku bertemu bos menyebalkan itu di parkiran!”

“Lalu?” tanya Clara penasaran.

“Dia... dia membisikkan sesuatu padaku! Astaga... sumpah, aku merinding!” Audy memelototkan mata, wajahnya masih shock.

“Apa yang dia katakan?” Nadine mulai tertarik.

Audy menunduk, lalu menirukan dengan suara dramatis sambil memegang lehernya. “Katanya... ‘kau yang akan jadi wanita selanjutnya.’”

Clara hampir menyembur kopinya, sedangkan Nadine menutup mulut menahan tawa.

“Ya ampun, Audy. Kau serius?” Nadine menepuk-nepuk bahu Audy sambil ngakak kecil.

Clara menambahkan, “Hahaha... jangan-jangan dia hanya iseng membuatmu panik. Kau itu ekspresif sekali.”

“ISENG?!” Audy menatap mereka dengan wajah antara marah dan malu. “Jika kalian yang dengar sendiri, kalian pasti juga kabur sepertiku tadi!”

Nadine dan Clara saling pandang, lalu tak bisa menahan tawa mereka lagi. Keduanya terpingkal-pingkal, sementara Audy mendengus, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Ya Tuhan... apa aku bisa bertahan kerja di sini tanpa kena serangan jantung tiap hari.

.....

Siang itu, mendadak email masuk ke setiap karyawan di lantai administrasi:

“Meeting Internal – 15 menit lagi. Semua staf diwajibkan hadir.”

Nadine mendesah. “Duh, baru jam segini sudah ada rapat internal. Biasanya jika dadakan begini, mood Pak Aldrich... yah, bisa ditebak lah.”

Clara mendekap laptopnya. “Siap-siap saja, biasanya jika rapat mendadak, akan ada yang kena semprot.”

Audy yang baru dua hari kerja langsung merasa jantungnya melorot ke perut. “Aku juga ikut?” tanyanya panik.

“Tentu saja, semua staf wajib.” Nadine menepuk pundaknya. “Tenang, Audy. Ikuti alur aja. Jangan bertingkah, apalagi—” Nadine menatap Audy tajam, “—mulutmu jangan seperti mercon di kantin kemarin.”

Audy cengengesan, mengangkat tangan seolah bersumpah. “Baik, aku akan diam seribu bahasa.”

Dalam hati ia membatin, Astaga... pelan-pelan Aldrich, aku bahkan tidak sempat introducing.

.....

Ruang rapat Jourell Group penuh dengan karyawan. Audy duduk di antara Nadine dan Clara, berusaha tampak kalem meski tangannya dingin.

Pintu terbuka, Aldrich masuk dengan langkah mantap, wajahnya serius, jauh berbeda dari senyum smirk yang tadi pagi membuat Audy hampir pingsan di parkiran. Ia duduk di kursi utama, mengetuk meja panjang dengan jarinya.

“Baik, kita mulai.” Suaranya dalam, tenang, tapi penuh tekanan.

Setiap kepala menunduk, membuka laptop, atau mencatat di kertas. Suasana berubah seperti ruang ujian.

Audy menelan ludah. Ya Tuhan, ini rasanya seperti ikut gladi perang.

Presentasi dimulai, beberapa kepala divisi bergantian berbicara. Angka-angka, grafik, proyeksi... semua berkelebat di layar. Audy menyimak dengan penuh konsentrasi, surprisingly, ia bisa mengikuti alurnya. Sesekali ia mengangguk kecil, sesuatu yang dulu sering ia lihat saat Daddynya memimpin rapat internal Sinclair Corp.

Namun tentu saja, tak ada yang tahu rahasia itu. Bagi Nadine dan Clara, Audy hanyalah anak baru yang harusnya panik setengah mati.

Hingga tiba-tiba—

“Audy Shafira.”

Suara bariton Aldrich terdengar menyebut namanya. Semua kepala menoleh ke arahnya.

Audy membeku. “Sa...saya, Pak?”

“Ya, kau.” Aldrich menatap lurus padanya. “Menurutmu, target yang dipresentasikan oleh Divisi Keuangan ini realistis atau tidak?”

Clara menutup mulutnya dengan cepat, Nadine nyaris jatuh dari kursinya. Ya Tuhan, kenapa anak baru ditodong langsung?

Audy menggigit bibir. Semua mata tertuju padanya. Tapi entah dari mana keberaniannya muncul, ia mengangkat kepala dan menjawab.

“Menurut saya... cukup realistis, Pak. Hanya saja, ada poin beban operasional yang tampaknya terlalu rendah. Jika harga pasar bahan baku naik, prediksi margin bisa goyah.”

Hening.

Beberapa staf senior saling pandang, bahkan ada yang mengangkat alis. Dari mana anak baru ini bisa bicara seberani itu?

Aldrich menatapnya, ekspresinya sulit dibaca. Lalu, perlahan, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya.

“Menarik.” Ia mengetuk-ngetuk meja lagi. “Catat itu. Aku ingin proyeksi ulang dengan asumsi kenaikan bahan baku.”

Seisi ruangan tercengang. Saran anak baru langsung ditindaklanjuti.

Rapat berlanjut, tapi Nadine dan Clara sibuk melirik Audy dengan tatapan penuh tanda tanya. Begitu rapat selesai dan semua orang keluar, Nadine langsung menyeret Audy ke pojokan koridor.

“Audy! Kau... barusan itu... dari mana kepalamu bisa berpikir seperti itu?”

Clara mengangguk cepat. “Iya, itu analisis level senior! Jangan bilang kau kursus keuangan diam-diam?”

Audy cengengesan, berusaha santai. “Ah, hanya... feeling saja.”

“Feeling kepalamu!” Nadine mencubit lengan Audy. “Ada yang aneh denganmu, Audy. Aku semakin curiga.”

Audy buru-buru mengalihkan. “Sudah, ayo makan siang! Aku yang traktir!”

Nadine dan Clara masih menatapnya dengan tatapan kami-belum-selesai-denganmu, tapi akhirnya ikut berjalan.

Sementara itu, dari ujung koridor, Aldrich berdiri dengan tangan di saku, memperhatikan Audy yang tertawa bersama dua temannya. Senyum miringnya muncul lagi.

Gadis ini... jelas sekali putri Sinclair.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!