“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 05
Laila rubuh, ia memegangi dada yang terasa nyeri, tatapannya mengabur. Cepat-cepat dirinya menggigit ujung lidah agar kesadarannya tak menghilang.
Setelah dirasa cukup kuat – Laila mulai berdiri, telapak tangan menekan bebatuan. Setengah merangkak dirinya berlari sempoyongan. Jemarinya bergetar merogoh saku, mengambil anak kunci lalu memasukkan ke dalam lubang pintu.
Brak!
Daun pintu terhempas. Pandangan Laila terlihat tajam, ekspresi wajah menahan amarah, dia berteriak lantang. “Siapapun kalian! Bila ingin menampakkan wujud, tolong beri aba-aba! Jangan langsung dar der dor yang buat jantungku nyaris melompat dari tempatnya!”
Entah dorongan dari mana, wanita penakut itu seketika menjadi pemberani. Ia berjalan angkuh – mendorong pintu kamar, tidak ada apa-apa. Pun pada bagian dapur dan kamar mandi.
Laila geram sendiri, merasa dipermainkan. Padahal fisiknya lelah, batinnya tertekan, serta mentalnya sedang tidak baik-baik saja, dan dia tengah kelaparan.
“Uyut! Mengapa kau menurunkan indera keenam pada cucu penakut mu ini! Sudah tahu kalau aku ceroboh, kucur, kok ya tega memberi keistimewaan yang sering menjadi bumerang … hiks hiks hiks.” Laila menangis tersedu-sedu, tubuhnya merosot ke lantai, terduduk dengan kaki terbuka lebar.
Ya, Laila bukan wanita biasa. Dia memiliki keistimewaan turunan dari nenek buyutnya. Semacam indera keenam – dapat melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib, sesekali juga bisa menerawang masa depan maupun masa lalu seseorang.
Namun, fisik dan mental Laila tidak kuat. Sehingga sebelum nenek buyutnya meninggal dunia – dia memberikan jimat untuk Laila. Bertujuan agar sang cicit tidak lagi diganggu dan bisa menjalani hari-hari normal seperti manusia pada umumnya.
Semenjak mengenakan jimat – Laila hidup tenang, tenteram. Sampai dimana dia mengambil keputusan besar, meminta dimutasi pada tempat terpencil agar bisa mengobati luka hatinya.
Hikshiks
Baju kaos bau keringat, ia gunakan untuk sisi ingus. Disaat merasa lebih baik, Laila beranjak untuk mengambil barang belanjaannya. Saat sampai di depan pintu – ternyata karung dan plastik sudah teronggok di sana.
Enggan memikirkan terlalu jauh, dikarenakan dia sedang dalam suasana hati sensitif. Laila langsung menarik karung, lalu kedua kresek. Meletakkan pada lantai.
“Lihatlah kau Laila! Sudah macam gembel.” Dia mengatai dirinya sendiri, menatap pada kaos berwarna kuning cerah terdapat bekas ingus, dan debu.
“Biarkan saja! Yang penting aku masih waras – tapi entah kedepannya. Bisa jadi bakalan masuk rumah sakit jiwa.” Ia asik mengunyah mie instan mentah.
Padahal dirinya sering menjadi penyuluh kesehatan. Memperingatkan para warga agar jangan mengkonsumsi mie mentah, sebab mengandung zat-zat aditif dan pengawet yang bisa mengiritasi saluran pencernaan.
Namun, kini dia asik mengunyah dengan ditemani segelas plastik minuman ale-ale.
“Perkara kesehatan pikir belakangan, yang penting perut ku kenyang dulu.” Ia menguap, langsung saja berbaring di atas lantai tak lama kemudian terlelap.
.
.
Kluntang!
Astaga!
Wanita yang tadi terlelap langsung terduduk. Kepalanya terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang.
Laila menghela napas panjang. Netranya menatap jam tangan – pukul satu siang. Ternyata dia sudah tertidur selama 2 jam.
Dia mengusap kasar wajahnya, mencoba untuk sadar sepenuhnya. Kemudian mulai membongkar isi belanjaan yang tadi terbengkalai. Tidak pula peduli pada bunyi keras tadi, yang ternyata panci jatuh dari rak piring.
Seperti tak terjadi apa-apa, dan memang begitulah sifatnya. Mudah frustasi tetapi cepat pula pulihnya.
Laila mulai beraktivitas. Membereskan barang-barang, membersihkan rumah, terakhir memasang baut teralis. Saat semuanya sudah selesai, ia keluar rumah hendak menyapu halaman.
Peluh bercucuran di kening dan pelipis, kaos yang dikenakan Laila basah. Dia mandi keringat – sampah-sampah dedaunan kering dikumpulkan menjadi satu, lalu dibawa ke seberang jalan yang mana jadi area tanah lapang berumput pendek.
Laila membakar tumpukan sampah, dia menatap sekeliling. Baru disadari olehnya kalau dia cuma memiliki tetangga Ida dan Mia. Huniannya diapit dua rumah yang mana setelahnya sudah kebun cabai.
Sementara sebelah rumah Ida – berbatasan dengan kebun karet. Laila menatap jauh, pada perbukitan perkebunan pohon getah karet, ia mengubah posisi seperti mengelilingi tubuhnya sendiri. Depan rumah dinasnya adalah tanah lapang luas, lalu semak belukar ditumbuhi pohon pakis, dan rumput liar.
"Tunggu!” katanya pada diri sendiri, ia memejamkan mata, mencoba menghayati sesuatu yang tadi membuatnya menangis. “Rerimbunan dedaunan segar, dan berguguran daun kering. Lalu, tiang semen terdapat cantolan tulang besi – aroma kemenyan, bunga telon. Bau darah, tembakau, dan suara _”
“Kak Laila! Ngapain?!”
Laila langsung membuka mata, menatap pada gadis remaja yang celananya berlumpur. “Mia, dari mana?”
“Abis pulang kerja. Kakak lagi ngapain? Aku kira tidur.” Mia membuka topi lusuh yang depannya tak lagi kaku.
“Bakar sampah. Hem … mencoba meresapi angin, disini terasa sejuk. Lain dengan di kota, mulai banyak polusi udara," dustanya.
“Oh ….” Mia mengangguk-angguk. “Kakak mau ikut aku mandi di sungai tidak?”
Laila menatap penasaran. “Memangnya dekat sini ada sungai?”
“Di bawah bukit itu kan sungai!” Tunjuknya pada tempat sekitar satu km dari sini. “Airnya jernih sekali. Kalau mau ikut – ayo! Aku juga mau mencuci baju.”
“Mau. Sekalian aku juga mau keramas! Kebetulan bak mandi belum ku kuras. Masih malas!” Laila terkikik, pun begitu juga dengan Mia.
.
.
“Ibumu kemana, Mia? Sedari aku pulang tadi, sama sekali tidak melihatnya.” Sambil melangkah, Laila bertanya.
Mia menatap sekilas, sebelah tangannya memegang ember besar yang dia junjung. Satunya lagi menjinjing ember timba berisi sikat dan alat mandi. “Mamak lagi kerja di rumah pak Lurah, sekitar satu jam-an lagi baru pulang.”
“Kalau Anto? Bukankah ini sudah jam pulang sekolah ya?”
“Sepulang sekolah – Anto langsung menggembala Lembunya juragan Pram.”
“Setiap hari seperti itu?” wajah Laila dipenuhi rasa penasaran.
“Tidak juga, Kak. Apalagi Mamak – sering sakit-sakitan. Kalau pas kambuh, ya istirahat di rumah. Si Anto, cuma dari hari Senin-Jumat saja.”
Mereka sudah sampai di tepi sungai. Benar kata Mia – airnya jernih sekali, hingga bisa melihat dasarnya yang berpasir dan berbatu. Ada juga ikan-ikan kecil sedang memakan lumut di bebatuan besar.
"Bagus sekali sungainya, Mia. Baru kali ini aku melihat seindah ini!” Laila menginjak bebatuan besar yang sudah pasti berbobot puluhan bahkan ratusan kilogram.
"Hati-hati, Kak. Awas terpleset _”
Byur!
Belum juga bibir gadis remaja itu terkatup, Laila sudah tercebur. Dia tertawa riang, kembali berjalan dari satu batu ke batu lainnya. Lalu memilih menyelam agar kepalanya terasa ringan.
Dan terdengar aliran air deras.
Laila menyembulkan kepala di permukaan. ‘Aliran air deras, bisa jadi air terjun ‘kan?’
Kedua wanita beda usia itu mencuci baju di atas papan yang memang disediakan untuk mencuci. Kemudian mandi, tak lama kemudian pulang ke hunian masing-masing.
.
.
Malam hari.
Laila sedang menyetrika baju dinas yang besok akan dikenakannya. Tiba-tiba dia mendengar suara seperti mencangkul di belakang rumahnya.
Kabel setrika pun dicabut. Dia melangkah pelan – sampai pada pintu belakang, tak langsung membuka seperti sebelumnya. Akan tetapi memilih mengintip dari lubang kecil dimakan Rayap.
Di bawah pohon pisang, sosok berjubah putih tengah mengorek sesuatu. Semenit kemudian dia melayang dan kuku runcingnya masuk kedalam lubang pintu.
AKH!
.
.
Bersambung.
Qatar panas woooooy
Smoga Laila bisa menguak misteri ini, dan juleha dan krban yg lain dpt keadilan seadil-adilnya.
laila2 skrg kek mana coba