Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. NYONYA GANGGUAN MENTAL.
Dua perempuan melangkah mendekat, yang satu paruh baya, yang satunya lagi sebaya dengan Kania dan Melli.
“Apa kamu mengenal mereka?” bisik Melli pada Kania.
Kania mengangguk pelan.
Kedua perempuan itu tak lain dan tak bukan Elizabeth dan Tamara. Tanpa banyak bicara, mereka menggeser Kania dan Melli, lalu berteriak memanggil pelayan untuk segera membungkus baju-baju yang ada di dalam lemari kaca.
Bukan Melli namanya kalau semudah itu mengalah. Dengan cepat, ia membalas mendorong, membuat kedua perempuan itu terjerembap di atas tumpukan baju.
Suara tawa pun pecah dari sudut-sudut toko, menertawakan Elizabeth dan Tamara yang kini tertimbun pakaian.
Wajah Elizabeth memerah menahan amarah. Belum pernah ada yang berani mempermalukan ia seperti itu, apalagi di depan banyak orang.
Dengan langkah cepat, ia mendekati Melli, tangan terangkat siap menampar. Sayang baginya, Melli lebih sigap menangkap pergelangan tangan itu, memutarnya dengan cekatan, lalu mendorong mundur.
Sekali lagi Elizabeth terjatuh.
Tamara segera membantu perempuan paruh baya itu bangkit, wajahnya menegang menahan sakit.
“Entah dari kebun binatang mana gorila ini lepas, tenaganya begitu kuat sampai-sampai ibu tidak sanggup menahannya."
Mau tak mau, Elizabeth dan Tamara memilih mundur. Mereka tahu, selama Melli ada di samping Kania, tak ada kesempatan untuk menyakiti atau mempermalukan gadis itu.
Sebelum pergi, Elizabeth melontarkan ancaman, memastikan bahwa perhitungan antara mereka belum selesai dan akan segera terulang.
Setelah Elizabeth dan Tamara pergi, Melli memanggil pelayan untuk membungkus baju yang tersimpan rapi dalam lemari kaca.
Meski harganya cukup mahal, Melli tak ragu membeli semua itu sebagai kenang-kenangan untuk Kania.
Setelah menyelesaikan Pembayaran, keduanya melangkah keluar dari dalam toko dan kembali ke rumah.
***********************************
Pagi kembali menyapa. Kania dan Melli sudah siap berangkat.
Hari itu, mereka berencana menemui Bibi Ana, bibi Melli yang bekerja sebagai pelayan di sebuah mansion mewah.
Tas dan koper Kania sudah terpasang rapi di atas motor. Setelah memastikan semuanya siap, keduanya segera melaju meninggalkan rumah.
Tak butuh waktu lama, tiba juga mereka di depan sebuah rumah besar, rumah para bangsawan yang berdiri megah di pinggiran kota. Halamannya luas, dengan taman terawat, beberapa pelayan dan tukang kebun bekerja, serta penjaga bertubuh tinggi besar yang berpatroli bersama anjing-anjing penjaga.
Saling dorong antara Kania dan Melli di depan gerbang memancing keributan kecil membuat seorang penjaga menghampiri dan meminta mereka pergi.
Melli yang gugup berusaha menjelaskan tujuan kedatangan mereka. Mendengar nama bi Ana, penjaga itu langsung mengerti, lalu mengeluarkan ponselnya.
Tak lama, muncullah seorang perempuan paruh baya berlari kecil menghampiri mereka.
Melli memperkenalkan Kania, lalu berbicara serius dengannya, berusaha meyakinkan bi Ana kalau Kania bisa dipercaya.
Walau ragu, Bibi Ana akhirnya mengizinkan Kania masuk, sedangkan Melli harus tetap di luar. Tatapan Melli mengandung kesedihan. Ia tahu, dengan penjagaan seketat itu, ia tidak akan bisa menemui Kania sesuka hati.
Setelah sosok bi Ana dan Kania menghilang, Melli putar balik lalu pergi.
Di dalam mansion, Kania dibawa menuju kamar para pelayan, deretan ruangan yang saling berhadapan, masing-masing berukuran tujuh kali tujuh meter.
“Ini kamarmu,” kata Bibi Ana, saat mereka berdiri di depan pintu ruangan paling pojok.
Setelah menyimpan barang-barangnya, Kania dipanggil kembali. Bibi Ana mulai menjelaskan peraturan dan tugasnya.
“Satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah masuk ke ruangan tuan apalagi menyentuh barang-barangnya tanpa izin. Semua pelayan di sini pun melakukan hal yang sama.” ucap tegas bi Ana.
Kania mengangguk patuh. Dari arah pintu, seorang pelayan masuk membawa seragam khusus bagi pelayan mansion.
Bibi Ana mengajak Kania berkeliling mansion, sambil memperkenalkan seluk-beluk dan setiap ruangan yang mereka lewati. Langkah mereka terhenti di depan sebuah kamar yang ukurannya jauh lebih besar dibanding kamar-kamar lain di mansion itu.
Kreek…
Bibi Ana membuka pintu dengan hati-hati. Di dalam, seorang perempuan tua duduk di kursi roda, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong namun penuh makna. Usianya mungkin sudah mendekati sembilan puluh tahun, dengan rambut putih panjang yang berkilau indah diterpa sinar mentari pagi. Ia tidak bergerak sedikit pun, matanya terpaku menembus kaca, mengamati kawanan rusa yang tengah asyik menyantap rumput di taman yang luas.
“Itu Nyonya Marlin, pemilik mansion ini,” bisik Bibi Ana. “Beliau sedikit mengalami gangguan mental. Sesekali mengamuk dan melukai orang di sekitarnya. Banyak suster dan pelayan yang berhenti karena tak tahan menghadapi beliau."
Bibi Ana mendekat dengan hati-hati.
“Selamat pagi, Nyonya. Bagaimana kabar Anda hari ini?” sapanya lembut.
Nyonya Marlin tetap diam, hanya kelopak matanya yang bergerak.
“Kenalkan, ini Kania, pelayan baru kita, Dia akan membantu memenuhi kebutuhan Anda nantinya.” lanjut bi Ana.
Kania membungkuk sopan. Nyonya Marlin melirik sekilas, lalu kembali memandang ke luar.
“Lakukan tugasmu dengan baik. Jangan membuat beliau stress dan satu lagi jangan lupa beri kabar padaku jika terjadi sesuatu." Pesan bi Ana sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
Untuk kesekian kalinya Kania mengangguk.
Sepeninggalan bi Ana, Kania duduk di kursi, ikut memandangi kawasan rusa yang ada di taman.
“Kamu… tidak takut padaku?” suara berat itu mengejutkan Kania.
Kania menoleh, lalu tersenyum. Nyonya Marlin pun tersenyum tipis, kemudian memutar kursi rodanya. Kania cepat berdiri, mendorong kursi roda ke pembaringan dan Membantu berbaring di pembaringan.
Di luar kamar, beberapa pelayan tengah bersantai sambil berbincang.
“Aku beri waktu satu hari. Kalau dia bisa bertahan, aku traktir kalian makan sepuasnya. silahkan pilih restoran mana kalian inginkan." ucap seorang pelayan dengan percaya diri tinggi.
Suasana semakin ramai, setiap pelayang berlomba-lomba memasang taruhan mereka.
“Satu jam saja tidak ada teriakan dari perempuan itu maka, gajiku sebulan ini kalian ambil,” tantang yang lain.
Para pelayan sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Setiap perawat dan pelayan yang ditugaskan menjaga nyonya Marlin, biasanya tak betah lama tinggal di kamar nyonya besar itu.
Betul firasat mereka. Belum juga semua pelayan sempat memasang taruhan, tiba-tiba terdengar jeritan Kania yang memecah keheningan dari arah kamar Nyonya Marlin.
Penghuni mansion pun berlarian menuju kamar Nyonya Marlin, bergegas memastikan kondisi Kania.