Alseana, penulis muda berbakat yang masih duduk di bangku SMA, tak pernah menyangka kehidupannya akan berubah hanya karena sebuah novel yang ia tulis. Cerita yang awalnya hanya fiksi tentang antagonis penuh obsesi, tiba-tiba menjelma nyata ketika Alseana terjebak ke dalam dunia ciptaannya dan menjadi salah satu tokoh yang berhubungan dengan tokoh antagonis. Saat Alseana masuk kedalam dunia ciptaannya sendiri dia menjadi Auryn Athaya Queensha. Lebih mengejutkan lagi, salah satu tokoh antagonis yang ia tulis menyadari rahasia besar: bahwa dirinya hanyalah karakter fiksi dengan akhir tragis. Demi melawan takdir kematian yang sudah ditentukan, tokoh itu mulai mengejar Alseana, bukan hanya sebagai karakter, tapi sebagai penulis yang mampu mengubah nasibnya. Kini, cinta, kebencian, dan obsesi bercampur menjadi satu, membuat Alseana tak tahu apakah ia sedang menulis cerita atau justru sedang hidup di dalamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
seventeen years ago
Jakarta, 23 Maret 2006
"Mas, apakah kandunganku baik-baik saja" Analise sedang mengelus perutnya yang sudah membesar.
Namun sejak kemarin malam bayinya tidak bergerak sehingga pasangan suami istri tersebut memilih untuk segera mengecek kandungan Analise karena takut dengan janin yang dikandungnya.
Marava yang ditanya seperti itu hanya diam, dia tak berani untuk berkata jujur pada istrinya.
Tapi dia harus mengatakannya karena bagaimana pun itu anak mereka.
Marava berjongkok di depan istrinya yang sedang duduk di ranjang dan mengecup dengan lembut perut istrinya yang buncit karena terdapat buah hati mereka tersebut.
"Sepertinya anak kita belum ingin lahir dan bersama kita." Ucap Marava dengan datar.
"A-apa yang mas bicarakan?!" Tanya Analise dengan bingung dan langsung mengelus perutnya.
"Anak kita sudah tak bernyawa di dalam perut ini sayang." Ucap Marava berusaha setenang mungkin agar istrinya tak bertambah sedih dan kecewa karena dari awal dia yang sangat menantikan anak perempuan itu lahir dan sekarang mereka harus merelakannya.
Analise yang mendengar itu sudah pasti menangis, dia kehilangan buah hatinya yang masih di dalam perutnya bahkan dia belum sempat untuk melihat dan menggendong bayinya.
"Menangislah tapi jangan berlarut-larut, kesehatanmu lebih penting. malam nanti kau akan menjalani operasi." Ucap Marava sambil memeluk istrinya yang sedang menangis dengan histeris tersebut.
Dia mengelus dengan lembut punggungnya agar istrinya tenang, karena saat pengangkatan janin nanti istrinya harus dalam keadaan stabil atau tidak dia akan kehilangan keduanya.
"Tak apa, mungkin belum rezeki kita sayang." Bisik Marava menenangkan istrinya.
......................
Jakarta 22 Maret 2006
"Mommy. Mommy kenapa diem aja? mommy marah dengan Raven?" Bocah berumur lima tahun itu sedang memeluk tubuh ibunya yang terbaring di ranjang mansionnya.
Wanita itu hanya diam saja, suami dan anak pertamanya datang menemui istri dan ibunya tersebut.
"Sayang, apakah rasanya sesakit dulu?" Tanya Cassian pada istrinya yang sudah semakin pucat dengan khawatir.
"Hm, sepertinya sudah waktunya." Ucap Candelaria dengan lemah.
Tubuh manusianya sudah sangat rapuh, setelah melahirkan anak keduanya lima tahun yang lalu membuatnya semakin tak mampu untuk berdiri bahkan badannya sudah seperti membeku.
Namun dia belum memenuhi tugasnya untuk melahirkan seorang anak perempuan yang akan mewarisi darahnya.
Dia adalah dewi penjaga perbatasan dimensi, yang mana dia harus menjaga beberapa dimensi agar semua kehidupan berjalan sesuai porosnya.
Namun dia jatuh cinta dengan seorang pria biasa di bumi yang sialnya sangat tampan dan selalu membuatnya merasa aman, padahal dia adalah seorang dewi dan dia hanya manusia biasa.
Rasa suka yang salah itu yang membuat dirinya menjadi seperti ini, manusia dan seorang dewi tak seharusnya saling jatuh cinta. Hingga dia harus mengorbankan nyawanya saat melahirkan seorang anak dari manusia.
Namun itu tak membuatnya takut untuk memiliki anak, karena menurutnya anaknya sangat menggemaskan.
Melahirkan atau tidak pun dia akan tetap mati dalam wujud manusia dan kembali menjadi dewi memenuhi tugasnya karena itu adalah perjanjian yang ia lakukan dengan dewa penguasa langit.
Namun dia masih ingin memiliki seorang anak perempuan, namun tubuhnya sudah tak mampu mewujudkannya hingga dia menatap sang suami dengan tatapan dalam.
"Bisakah kalian pergi?" Ucap Candelaria pada anak-anaknya dengan lembut dan tak melupakan senyumnya.
Cassian yang melihat jika istrinya ingin berbicara hal yang serius membawa anak-anaknya pergi dan masuk lagi lalu menguncinya dengan rapat.
Cassian dengan sendu melihat istrinya yang semakin parah hari demi hari.
"Bisakah aku membuat satu permintaan?" Ucap Candelaria dengan lirih, bahkan untuk bersuara saja kini dia mulai tak mampu sekeras dulu.
"Apa sayang? kau menginginkan apa? aku akan menuruti semua kemauanmu." Ucap Cassian sambil memegang tangan istrinya tersebut dengan lembut dan mengecupnya berulang kali.
"Hari ini aku harus pergi, aku titipkan serpihan diriku padamu. Carilah bayi yang masih dalam kandungan baik yang sudah mati atau pun hidup dan pastikan jika bayi itu adalah perempuan. Uhuk uhuk."
Candelaria mulai terbatuk-batuk saat berbicara dengan kalimat yang begitu panjang.
"Ambil dia saat usia dia akan menginjak tujuh belas tahun, karena pada saat umur tujuh belas tahun dia sudah murni menjadi darah dagingku seperti Maven dan Raven. Putriku akan merubah dunia yang gelap akan menjadi terang." Ucapnya dengan serius.
Cassian membelalakan matanya.
"Apa yang kau ucapkan sayang? apakah kau akan meninggalkan kita? Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu?" Ucap Cassian dengan mata yang memanas.
"Kau sudah tahu konsekuensinya aku bersamamu dan ini batas kemampuanku, uhuk uhuk. Jadi kau harus hidup dengan baik tanpaku mulai sekarang karena aku sudah tak bisa menemuimu walau dalam wujud dewi ku."
"A-apakah mungkin kita akan bisa bersama lagi?"
Candelaria tersenyum, ia tak ingin menjanjikan apapun untuk Cassian karena perbedaan mereka terlalu jauh. Bersama lebih dari sepuluh tahun dan memiliki kedua anak yang sangat tampan merupakan sebuah keberkahan dan keberuntungan mereka.
Jadi dia tak ingin terlalu serakah untuk mengusahakan segala cara untuk bersama keluarga kecilnya walaupun dalam hatinya dia sangat ingin.
Biarlah takdir mereka yang menuntun mereka, sekarang mereka harus berpisah untuk kebaikan bersama.
"Aku tidak tahu." Ucap Candelaria dengan tersenyum, lalu dia membuka mulutnya dan muncullah sebuah cahaya biru terang dari dalam mulutnya kemudian saat Candelaria memegang cahaya biru tersebut cahaya yang tadinya terang langsung berubah menjadi sebuah mutiara biru yang sangat indah.
"Pegang ini, ku harap kau menemukan keluarga yang baik. Uhuk uhuk." Candelaria mulai terbatuk lagi namun sekarang disertai darah yang keluar.
"Sa-sayang, apakah kita perlu memanggil dokter?" Cassian sangat panik karena melihat istrinya semakin pucat dari yang tadi.
Candelaria mengangkat tangan tanda dia tak ingin siapapun melihat keadaannya, nafas wanita itu semakin sesak.
Cassian menangis melihat itu, ia tak tahu harus melakukan apa.
"Jangan tinggalkan aku sayang, aku mohon."
Namun Candelaria semakin merintih kesakitan seakan maut sudah dekat dengannya, Candelaria memegang tangan sang istri dengan kuat.
Hingga nafas istrinya terhenti di depan matanya sendiri, dia menangis histeris.
"Sayanggg!!! tidak! tidak! jangan pergi, bangun Candelaria!! bangun!!!"
Mendengar keributan di dalam Maven yang memang sudah sangat kuat di usianya yang baru menginjak sepuluh tahun itu langsung mendobrak pintu kamar orang tuanya.
Raven yang melihat daddynya menangis langsung menghampirinya dan melihat apa yang sedang terjadi.
Saat melihat ibunya sudah tak bernafas Raven ikut menangis histeris karena kehilangan ibunya di usia belia.
Maven hanya mengepalkan tangannya dengan kuat, dia tak pernah menangis dari kecil namun melihat ibunya tiada membuat pertahanannya sedikit luntur. Ia meneteskan air matanya namun dia langsung menghapusnya.
Keluarga Maximilian sangat berduka akan kepergian istri, ibu dan nyonya mereka.
......................
"Apakah anda bisa membantu? apakah anda sedang mempermainkan kami?!" Marava berkata dengan dingin.
Sore hari ini menjelang istrinya akan dioperasi seorang pria asing datang kepadanya dan istrinya dengan mengucapkan hal yang konyol.
"Apakah saya terlihat bercanda? namun saya tak akan memberi tawaran secara percuma apalagi ini merupakan pertolongan besar bagi keluarga anda. Saya bisa mencari wanita lain untuk di tolong jika anda sendiri tidak menginginkannya." Ucap Cassian dengan dingin lalu ingin beranjak pergi.
Analise yang melihat itu gelisah, dia langsung memegang tangan suaminya untuk menerima tawaran tersebut. Dia tak ingin kehilangan anak yang sudah ia kandungnya selama tujuh bulan.
Marava yang melihat itu menghela nafas lalu menatap pria asing tersebut dengan dingin.
"Baiklah, kami menerima tawaran anda. Apa syarat yang harus kami penuhi?" Tanya Marava.
Cassian yang mendengar itu tersenyum lalu berbalik menatap kedua pasangan suami istri tersebut.
"Cukup satu permintaanku, saat usia tujuh belas tahun aku akan mengambil putriku." Ucap Cassian dengan senyum tipisnya.
Analise yang mendengar itu terkejut dan Jonnya pun ikut terkejut mendengar hal tersebut.
"Kenapa anda menginginkan anak kami? itu bukanlah kesepakatan yang impas." Ucap Marava dengan dingin.
Cassian menaikkan bahunya tak peduli.
"Menurut saya itu sangat impas, toh kalian hari ini sudah kehilangan anakmu? aku menyelamatkannya dan membuatnya hidup kembali dan aku memintanya karena dia putriku yang darahnya nanti mengalir darah Maximilian."
Marava terdiam, sebenarnya pria asing di depannya ini berkata dengan benar, karena jika mereka menolak mereka juga akan kehilangan putrinya malam ini dan jika mereka menerima maka mereka akan merawat putrinya hingga besar.
Tapi apakah mereka nanti mampu?
"Ya saya akan menyerahkannya."
"Sayang, apa yang kau ucapkan?!" Analise bertanya dengan tak percaya pada suaminya.
"Sayang itu mungkin jalan yang terbaik, apakah kau tak ingin menggendong putri kita? tak ingin merawatnya hingga besar?" Ucap tuan Marava.
Analise terdiam, ia menangis. Tapi dia pasti tidak akan sanggup untuk menyerahkan putrinya nanti.
Cassian tersenyum kecil mendengar itu, akhirnya dia menemukan keluarga yang pas untuk membesarkan putrinya nanti dan mengambilnya saat usianya tujuh belas tahun.
"Bagus jika anda setuju, saya akan berjanji selama itu saya tidak akan mengganggu keluarga anda ataupun memperlihatkan batang hidung saya. Namun tepat saat pesta ulang tahun ketujuh belas nanti saya akan datang menagih perjanjian ini." Ucap Cassian dengan tegas.
Marava mengangguk dengan yakin.
Cassian pun mengambil botol kaca berisi mutiara biru yang merupakan serpihan dari istrinya tersebut.
"Telan ini." Ucap Cassian menyuruh Analise menelan mutiara tersebut.
"T-tapi apakah itu bisa ditelan?"
"Coba saja sayang, demi anak kita." Ucap Marava meyakinkan istrinya.
Analise pun mengangguk dan mengambil mutiara tersebut dan memasukkannya ke dalam mulut.
Betapa kagetnya dia saat mutiara itu menyentuh lidahnya dia tak merasa apapun bahkan seperti menelan angin.
Hingga perubahan pun terjadi, perut Analise tiba-tiba memancarkan cahaya biru yang sangat terang.
Cassian melihat itu tersenyum dengan senang dan Marava ikut terkejut sama seperti istrinya.
Namun saat cahaya tersebut sudah memudar, Analise merasakan tendangan-tendangan kecil yang semalam tak ia rasakan. Analise langsung menatap suaminya dengan sangat senang.
"Sayang, bayi kita mulai bergerak! dia bergerak!!" Analise sangat senang hingga meneteskan air matanya.
Bahkan Marava berjongkok untuk menempelkan telinganya ke perut sang istri dan merasakannya.
Keluarga kecil itu sangat bahagia, bahkan Cassian juga merasakan kebahagiaannya.
Setelah puas Marava berdiri dan menatap Cassian.
"Saya sangat berterima kasih dengan pertolongan anda. Saya akan memberikan anda tambang emas milik keluarga saya dan jika anda membutuhkan sebuah bantuan maka hubungi saya." Ucap Marava dengan serius.
Cassian yang mendengar itu tersenyum miring.
"Saya tak butuh bantuan anda atau siapapun, saya akan kembali lagi tujuh belas tahun nanti. Jika anda mengingkari janji anda maka dengan cara apapun akan saya dapatkan." Ucap Cassian lalu pergi dari sana.
......................
Di ruang keluarga ini Auryn sangat terkejut mendengar cerita keseluruhan tentang asal usulnya.
Dia bahkan tak terpikirkan jika ceritanya seperti ini karena dia berpikir jika tuan Cassian adalah mantan suami mamanya.
Dan apa katanya tadi? dewi penjaga dimensi?Apakah hidupnya berubah menjadi cerita fantasi? tapi kehadirannya di novelnya sendiri merupakan sebuah fantasi gila yang tak pernah dia pikirkan.
"Apakah kau sudah paham sekarang bagaimana kau hadir dan menjadi bagian dari Maximilian?" Tanya tuan Cassian dengan lembut.
"J-jadi ini bukan dunia novel?" Tanya Auryn.
Tuan Cassian terkekeh mendengar itu.
"Bisa iya dan bisa jadi tidak."
"Lalu bagaimana bisa kehidupan orang sekitarku bisa sama persis dengan yang aku tulis di dunia asalku?" Tanya Auryn, dia berani berkata seperti itu karena dia merasa yakin jika tuan Cassian sudah tahu kebenarannya tentang dirinya yang masuk ke dalam tubuh Auryn.
"Daddy tak bisa menjelaskannya karena daddy tidak tahu secara pasti, mungkin jika mommy mu masih hidup dia akan menjelaskannya namun darah daging keluarga Maximilian mampu merubah nasib seseorang. Dan darahmu yang paling murni di antara kakak-kakakmu karena kamu merupakan serpihan langsung dari mommy." Jelas Cassian dengan sabar.
Auryn sekarang menjadi paham semuanya. Ternyata ada alasan lain dirinya datang ke dunia ini sebagai Auryn.
Dia lalu menatap tuan Cassian dengan tersenyum.
"Terima kasih telah menjelaskan semuanya, sekarang aku mengerti dan paham kenapa aku harus berpindah di dunia yang kuanggap novel ini." Ucap Auryn dengan tulus.
Tuan Cassian langsung mendekati tubuh putrinya tersebut dan memeluknya dengan lembut.
"Kau tak perlu memaksakan diri, walaupun darahmu paling murni namun serahkan semuanya pada kakak-kakakmu karena mereka dihadirkan untuk itu." Ucap tuan Cassian dengan lembut.
"Terima kasih Daddy." Ucap Auryn dengan manis.
Cassian yang mendengar putrinya sudah mau memanggilnya dengan sebutan daddy langsung tersenyum lebar.
Dia semakin mempererat pelukannya.
"Ya, kau putriku kau pelitaku. Jangan tinggalkan daddy, cukup mommy saja tapi kau jangan." Ucap tuan Cassian dengan sendu, dia jadi mengingat istrinya yang sudah lama tiada.
Namun sekarang dia sudah bersama putrinya yang merupakan penguatnya selama ini, karena dia hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan sekarang ia bisa sedekat ini bahkan memeluknya dengan erat.
Auryn juga membalas pelukan pria itu, dia juga merasakan kasih sayang yang begitu besar dari pria paruh baya ini.
"Ehem, apakah aku hanya patung?" Tanya Maven dengan dingin.
Tuan Cassian dan Auryn melepaskan pelukan mereka, lalu mereka saling berpandangan dan tertawa bersama.
Kebahagiaan Maximilian sekarang semakin lengkap dengan kembalinya putri kecil mereka.
"Ada apa ini? apakah aku ketinggalan sesuatu?"
Raven yang baru tiba di mansion karena harus kuliah malam karena siangnya dia bersekolah SMA lagi langsung ikut bergabung.
Mereka tertawa bersama, Auryn terlihat bahagia dengan keluarga barunya. Dia berjanji untuk membuat semua ini bertahan dengan lama.
Tanpa disadari dia sudah melupakan kehidupannya di dunianya dulu.