Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Panggung Keluarga Palsu
Pagi harinya, Ivy terbangun oleh suara ketukan di pintu. Dia bangkit dan membuka pintu perlahan. Tak ada siapa pun di depan kamar.
Namun, di depan pintu ada tas belanja dari butik mahal, lengkap dengan sepatu hak tinggi dan perhiasan yang cukup mewah. Ivy menghela napas.
“Benar-benar pria kaya yang terlalu percaya diri.”
Ivy kembali ke kamar dan langsung mengenakan gaun satin berwarna emerald yang jatuh pas di tubuhnya. Dia terlihat memukau, bahkan dirinya sendiri kaget saat menatap pantulan cermin. Bibirnya tersenyum pahit.
“Satu tahun ... cuma satu tahun.”
---
Langit sudah gelap ketika sebuah mobil mewah meluncur mulus menuju kediaman keluarga besar Wisesa. Selama perjalanan, tak ada percakapan. Ivy menatap keluar jendela, menikmati bayangan pohon yang berlarian. Noah duduk di sebelahnya, memejamkan mata seperti tak ingin melihat dunia.
Sesampainya di rumah keluarga Wisesa, pesta sudah ramai. Musik klasik mengalun, para tamu mengenakan pakaian mahal, dan kamera-kamera dari media sudah bersiap. Begitu mereka turun dari mobil, lampu kilat menyambut seperti badai. Noah segera menggenggam tangan Ivy, seolah mereka pasangan harmonis.
“Bersikaplah seperti istri yang penuh cinta,” bisik Noah di telinganya.
Ivy menoleh dan tersenyum manis, tapi ucapannya tajam. “Oh tentu. Demi satu miliar lima ratus juta, aku bisa berpura-pura lebih dari itu.”
Mereka memasuki aula dengan percaya diri. Beberapa keluarga menatap Ivy dengan tatapan mencurigakan. Seorang wanita paruh baya mendekat, melirik Ivy dari atas ke bawah.
"Jadi ini istri yang kamu ceritakan, Ga? Cepat juga kamu menikah, padahal sebelumnya kamu bilang belum ada yang cocok," sindir Mentari, bibirnya tersenyum miring dengan tatapan tajam.
“Namanya Ivy, Ma. Kami baru saja menikah secara privat,” jawab Noah datar.
Ivy mengangguk, tersenyum sopan. "Senang bertemu dengan Anda, Ma."
Mentari terkekeh, lalu mengangkat gelas kristal berisi anggur. Perempuan itu tersenyum miring sebelum akhirnya menyesap minuman tersebut. Tatapan Mentari menusuk, tetapi Ivy menanggapinya dengan senyuman lembut.
"Ma? Maaf, aku tidak menerima menantu dengan asal usul yang tidak jelas!" Mentari tersenyum miring kemudian melenggang begitu saja meninggalkan dan mengacuhkan Ivy serta Noah.
"Wah, sepertinya aku tahu kamu dapat sifat merendahkan itu dari siapa?" Ivy melirik Noah seraya mencibir lelaki tersebut.
Noah hanya diam. Menatap ibunya pergi menghampiri Gendis dan bersikap sangat ramah terhadap teman sepermainannya itu. Noah terkekeh kemudian mengulurkan tangannya kepada Ivy.
Ivy melirik jemari sang suami, lantas mencembikkan bibir. Perempuan tersebut langsung meraih dan menautkan jemarinya pada jari-jari Noah. Mereka melanjutkan jalan menginjak karpet merah yang digelar sepanjang pintu masuk hingga panggung kecil di ujung ruangan.
Saat Noah berhenti di hadapan sang ibu, semua mata tertuju pada pasangan pengantin baru tersebut. Gendis terbelalak seketika. Dia menggenggam erat gelas dalam tangannya.
"Apa kabar, Gendis?" tanya Noah dengan senyuman mengejek.
"Baik, No. Lama nggak ketemu." Gendis tersenyum lembut.
"Dia ... pacarmu?" tanya Gendis ragu sambil melirik Ivy penuh kesedihan.
"Bukan."
Mendengar jawaban itu membuat Ivy langsung mendongak dan menatap tajam sang suami. Rahangnya mengeras. Dia merasa sedang dipermalukan serta dipermainkan oleh Noah.
Di sisi lain, raut wajah Gendis mendadak cerah. Senyumnya merekah dengan kedua tulang pipi yang semakin merah. Akan tetapi, hal itu tak bertahan lama setelah kalimat selanjutnya keluar dari bibir Noah.
"Dia istriku, kami baru saja menikah kemarin." Noah membungkuk, lalu mencium pipi Ivy.
Awalnya Ivy terbelalak, jantungnya mendadak berpacu begitu kencang. Ciuman Noah seakan masih membekas di pipinya. Wajahnya pias seketika.
Sedetik kemudian, Ivy tersadar. Dia langsung mengimbangi drama yang dimulai oleh Noah. Perempuan itu tersenyum dan langsung bergelayut manja pada lengan sang suami.
"Ivy, perkenalkan ... dia Gendis, teman kecilku." Noah menoleh kepada Ivy dan disambut oleh senyum merekah istrinya itu.
"Saya Ivy, ISTRI Noah." Ivy mengulurkan tangannya kepada Gendis.
Gendis terlihat berkaca-kaca dengan senyuman kecut menghiasi wajah cantiknya. Perempuan tersebut terlihat menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia menyambut uluran tangan Ivy sambil tersenyum kaku.
"Saya Gendis, teman kecil Noah. Senang bertemu dengan Anda." Senyuman Gendis terlihat lembut, tetapi penuh kegetiran.
Di sisi lain, Mentari hanya menatap Noah dengan tatapan tajam. Perempuan itu sesekali mendengus sambil tersenyum miring. Tatapan merendahkan kembali diberikan perempuan itu kepada Ivy.
Noah yang menyadari situasi kurang kondusif, akhirnya mengajak Ivy meninggalkan panggung kecil itu. Dia mengajak sang istri untuk berkeliling dan memperkenalkannya kepada beberapa kerabat serta kolega. Tatapan mereka sama.
Sama-sama menghakimi dan memandang rendah Ivy. Namun, Noah yang selalu berada di samping sang istri terus mengalihkan pembicaran mereka jika ingin mengulik informasi pribadi Ivy. Sebuah panggilan dari sahabat lama Noah terpaksa membuat lelaki tersebut meninggalkan Ivy sendirian.
"Jangan lama-lama, Sayang." Ivy tersenyum tipis kemudian memeluk Noah.
Noah membalas pelukan Ivy dan mengecup puncak kepala istrinya. Lelaki itu menunduk untuk menyamakan tinggi badannya dengan Ivy. Sebuah senyum miring diulaskan Noah saat bibirnya mendekati telinga sang istri.
"Nggak salah aku memilihmu menjadi istri sewaan. Kamu aktris yang ulung, Vy!" bisik Noah.
"Kamu adalah saksinya, No. Kamu tahu kalau aku bisa diandalkan untuk hal kecil seperti ini."
Noah menoleh, Ivy tersenyum tipis. Tatapan mereka beradu sehingga bayangan masing-masing terpantul pada manik mata keduanya. Ivy memberikan kecupan kecil pada pipi Noah sebelum akhirnya melepaskan pelukannya.
Sambil menunggu Noah menyelesaikan urusan, Ivy berjalan sendirian untuk mengambil minuman. Dia tiba-tiba disapa oleh seorang pria muda, berkacamata dan berpenampilan rapi.
"Kamu istri barunya Noah, ya? Namaku Elvano. Sepupu jauhnya," ucap lelaki itu ramah.
"Ya, saya Ivy." Ivy menjabat tangan Elvano sedikit canggung.
Elvano menatap Ivy cukup lama. “Kamu terlihat tidak seperti perempuan dari lingkungan ini. Kamu bukan dari kalangan atas, ya?”
Ivy mendengus, dia tersenyum miring dan bibirnya mulai terbuka. Akan tetapi sebelum sempat menjawab, Noah sudah muncul dan merangkul bahunya.
“Kalau kamu mau tahu, aku yang memilih Ivy. Aku tidak pernah menyesalinya. Dia wanita pemberani dan baik hati. Aku yang suaminya saja tidak masalah dia berasal dari kalangan mana pun. Lalu, kenapa kamu terlihat sangat keberatan?”
Ivy menoleh cepat ke arah Noah, terkejut. Namun, Noah hanya memandangi Elvano tajam, seolah memberi peringatan. Elvano terkekeh dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan selama beberapa saat.
"Kamu masih sama seperti Noah yang dulu, dia akan membela dan mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya." Elvano terkekeh kemudian mengembuskan napas kasar.
"Kalau begitu, aku turut berbahagia atas pernikahan kalian. Semoga kalian terus mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga." Elvano balik kanan dan menghilang di antara kerumunan tamu undangan lain.
"Aku lelah, sebaiknya kita pulang sekarang." Noah menoleh ke arah Ivy yang masih mematung.