Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 — Dekapan Pertama
Suara gerutuan tak henti-hentinya keluar dari bibir Camelia. Sejak masuk ke lift hingga melangkah menuju pantry utama, wanita itu terus saja mengoceh tentang tingkah pria menyebalkan bernama Nerios.
“Baru pertama kali bikin kopi, eh malah disuruh bikin buat si pria menyebalkan itu. Awas aja kalau sampai nyalahin karena rasanya nggak sesuai!" gumamnya kesal, setengah berbisik pada dirinya sendiri.
Begitu sampai di pantry, pandangannya langsung tertuju pada beberapa orang yang masih berada di sana. Ada beberapa karyawan, juga beberapa penjaga yang tadi disebutkan Nerios. Begitu melihat Camelia, mereka sontak memberi salam dengan serempak.
“Selamat malam, Bu Camelia!” seru para karyawan hampir bersamaan.
Sedangkan para penjaga membungkuk singkat, memberi salam dengan nada tegas. “Selamat malam, Nona!”
Camelia mendadak kikuk. Ah… ia tidak terbiasa diperlakukan seperti atasan. Selama ini dirinya hanya karyawan biasa, tidak pernah mendapat penghormatan berlebihan seperti ini.
“Y-ya… selamat malam semuanya,” balasnya canggung, senyum tipis muncul di wajahnya.
Salah satu penjaga dengan potongan rambut undercut melangkah maju, bertanya sopan, “Nona ingin membuat apa?”
Camelia berjalan perlahan, matanya menelusuri sekeliling pantry yang modern dan lengkap. “Saya ingin membuatkan kopi untuk Tuan Nerios,” jawabnya pelan.
Seorang karyawan perempuan tiba-tiba menyahut. “Tuan Nerios biasanya minum kopi ini, Bu. Saya sering melihat Bu Sheryl membuatkannya.”
Camelia menoleh, tersenyum singkat, lalu mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya tulus.
“Sama-sama, Bu,” balas karyawan itu ramah sebelum kembali ke pekerjaannya.
Camelia menarik napas panjang, lalu mulai bekerja dengan tangan yang agak bergetar. Ia mengambil bubuk kopi, menuangkannya ke dalam portafilter, lalu menekannya rata menggunakan tamper. Dengan hati-hati ia memasang portafilter ke group head mesin, lalu menekan tombol brew.
Suara mesin mendengung halus, aroma kopi segar segera memenuhi udara. Camelia menatap cangkir di bawah mesin itu, melihat cairan pekat mengalir perlahan, menghasilkan espresso dengan lapisan crema tipis berwarna cokelat keemasan di atasnya.
Para penjaga menatap Camelia dengan seksama saat wanita itu mulai membuat kopi karena gerakannya yang ragu, mereka takut wanita itu melakukan kesalahan hingga melukai dirinya sendiri, nanti yang ada mereka yang akan disalahkan oleh Tuan Muda.
Setelah selesai menyiapkan kopi, pandangan Camelia terhenti pada deretan makanan ringan di meja pantry. Ada cookies yang tersusun rapi di dalam toples kaca, juga mangkuk besar berisi potongan buah segar. Ia mengambil sebuah piring, menaruh beberapa cookies, lalu menambahkan beberapa potong buah ke atasnya.
Tak lupa, ia juga mengambil dua lembar roti tawar. Yang pertama segera diolesinya dengan selai cokelat, sementara yang kedua sempat membuatnya ragu. Tangannya berhenti di depan rak selai dengan berbagai pilihan rasa, tapi matanya penuh kebingungan.
Akhirnya, Camelia menoleh ke arah penjaga yang tadi sempat berbicara dengannya. “Ehm … Tuan Nerios biasanya suka selai apa?” tanyanya dengan bingung.
Penjaga itu berdiri tegak, lalu menggeleng sopan. “Mohon maaf sebelumnya, Nona. Kami tidak ada yang tahu,” jawabnya hati-hati.
"Oke, tidak masalah!" Camelia kembali menatap deretan selai itu.
Camelia memilih selai yang sama dengan miliknya saja. Ia tak peduli apakah pria itu akan menyukainya atau tidak—yang penting, ia sudah berbaik hati membawakannya camilan.
Setelah itu, ia mengambil sebuah nampan dari sudut meja, lalu menata piring berisi cookies, potongan buah, serta dua lembar roti tawar. Di sampingnya, ia meletakkan cangkir berisi kopi untuk Nerios, dan sebuah gelas berisi susu full cream—minuman pilihannya sendiri.
Dengan hati-hati, Camelia mengangkat nampan tersebut. Langkahnya pelan namun mantap meninggalkan pantry yang kini hanya menyisakan dirinya dan para penjaga.
“Bantu aku menekan tombol lift,” pintanya pada salah satu penjaga, tanpa menoleh.
Pria itu segera menurut, mengikuti langkah Camelia dari belakang. Begitu mereka tiba di depan lift, ia langsung menekan tombol menuju lantai teratas.
Pintu terbuka dengan suara khasnya. Camelia segera melangkah masuk, sempat menoleh sekilas. “Terima kasih!” ucapnya singkat.
“Sama-sama, Nona,” balas penjaga itu, memberi hormat kecil sebelum pintu kembali tertutup.
Penjaga itu baru saja memutar tubuhnya, hendak kembali duduk di kursi dekat pantry. Namun, sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh sandaran, alarm mendadak berbunyi nyaring. Suara itu bergema ke seluruh lantai, membuat suasana seketika ricuh.
Sementara itu, Nerios yang masih duduk di kursi kebesarannya hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras. Ia langsung mengira penjaganya kembali lalai, membiarkan Camelia melarikan diri lagi.
Namun ponselnya berdering. Nama Reyga—salah satu penjaga Camelia—tertera jelas di layar. Dengan geram, Nerios menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.
“Tuan!” suara Reyga terdengar panik dari seberang, membuat amarah Nerios semakin menumpuk.
“Ada apa?!” suaranya rendah, dingin, penuh ancaman. “Apakah Camelia kembali kabur?”
“Tidak, Tuan!” Reyga buru-buru menjelaskan, napasnya terengah. “Nona Camelia sepertinya terjebak di lift. Alarm itu berasal dari sistem peringatan—liftnya stuck di lantai tiga belas!”
Mata Nerios terbelalak. Urat-urat di pelipisnya menegang. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, ia meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja, lalu berdiri dengan hentakan keras.
Dengan langkah cepat dan penuh amarah bercampur panik, Nerios keluar dari ruangannya. Ia menekan tombol lift khusus karyawan dengan kasar, jarinya berulang kali mengetuk panel seakan bisa mempercepat kedatangannya.
Jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, rasa takut kehilangan jauh lebih mendominasi dibandingkan amarahnya.
Nerios bergerak gelisah, tangannya terkepal kuat. Dan begitu pintu terbuka, ia langsung berlari keluar. Di lantai 13 sudah banyak berkumpul karyawan yang masih lembur, terutama para penjaga yang langsung berlari kecil menghampiri Nerios.
Beberapa karyawan yang baru saja keluar langsung panik ketika menyadari lift berhenti mendadak—lampunya padam, hanya suara teriak lirih dari dalam yang terdengar.
Nerios berlari kencang ke arah lift khusus CEO, lalu memanggil nama Camelia dengan lembut. "Camelia ... Kamu dengarkan aku baik-baik, aku pasti akan mengeluarkanmu, jadi aku mohon jangan panik!"
Di dalam sana Camelia tersenyum kecil mendengar ucapan Nerios, dirinya tersungkur jatuh ke bawah karena lift yang berhenti begitu saja, dan tangan kirinya pun terkena kopi yang masih panas.
Camelia membalas ucapan Nerios dengan sedikit bergetar. "Y-ya, aku mohon cepatlah!"
Beberapa orang saling berpandangan, wajah mereka pucat. Sekretaris pribadi sang CEO ternyata yang terjebak. Suasana makin kacau sampai akhirnya langkah sepatu kulit berat terdengar mendekat. Seorang pria berusia empat puluhan, teknisi gedung yang kebetulan sedang mengecek panel listrik di lantai itu, maju dengan sigap.
Teknisi itu berdiri di samping Nerios yang masih panik. “Pak, saya teknisi lift gedung ini. Saya akan coba buka pintu manualnya. Tapi butuh beberapa orang untuk membantu menahan pintu agar tidak menutup lagi.”
Nerios mengangguk dengan cepat. “Lakukan! Semua karyawan yang kuat, bantu dia.”
Teknisi segera jongkok di depan pintu lift, mengambil kunci besi panjang dari kotaknya. Suara logam beradu terdengar nyaring ketika ia menyelipkan alat itu ke celah pintu. Dua karyawan pria ikut memegang sisi pintu, wajah mereka tegang.
"Camelia, dengarkan aku. Teknisi sudah mau membuka paksa pintu, sekarang aku mohon kau mundur sedikit menjauh dari pintu," perintah Nerios dengan lembut.
Camelia pun menuruti perintahnya, ia berusaha bangkit sambil memegang handrail lift, lalu ia memundurkan dirinya beberapa langkah ke belekang.
Dengan tarikan kuat, pintu lift berhasil terbuka beberapa senti. Udara segar langsung masuk, membuat Camelia bernafas lega. Tapi posisi lift ternyata berhenti tidak tepat di lantai, melainkan sekitar setengah meter lebih rendah.
Teknisi menatap serius Nerios. “Tuan, liftnya tidak sejajar. Kami harus hati-hati. Bantu dia naik perlahan, jangan sampai kakinya terjepit.”
Nerios kedua karyawannya yang membantu teknisi itu. “Pegang pintunya. Jangan biarkan bergeser sedikit pun!”
Ia sendiri turun setengah badan ke celah pintu, tangannya terulur ke arah Camelia yang tampak pucat dalam kegelapan.
Nerios suara rendah tapi tegas. “Berikan tanganmu, Camelia.”
Camelia menatap ragu tangan itu, tubuhnya sedikit gemetar. “T-tapi kalau aku jatuh—”
Nerios menatap Camelia dengan intens. “Tidak akan. Selama aku di sini, kau tidak akan jatuh. Percaya padaku!”
Camelia akhirnya meraih tangannya. Nerios menarik dengan kekuatan penuh, tubuhnya menegang, sementara teknisi memberi instruksi agar Camelia menjejak perlahan di bibir lantai. Dengan satu tarikan terakhir, Camelia berhasil terangkat keluar.
Tubuhnya langsung terhuyung ke arah Nerios, dan pria itu sigap merangkul pinggangnya. Karyawan yang menyaksikan bersorak lega, meski tetap terdiam karena tatapan dingin CEO mereka.
Teknisi menarik napas lega. “Sudah aman, Pak. Syukurlah tidak ada yang cedera.”
Nerios mengangguk sekilas, lalu menatap Camelia yang masih gemetar. “Bawa air, sekarang.” perintahnya entah pada siapa pun yang ada di sana.
Camelia menempel di dadanya, napasnya masih terengah. Nerios menunduk, berbisik hanya untuknya.
Nerios. “Sepertinya lift ini membuat wanitaku terluka, haruskah aku hancurkan saja?"
Wanita itu menatap tajam Nerios, tangannya memukul pelan dada Nerios. "J-jangan gila!"
Berikan dukungan kalian teman-teman!
Jangan lupa like dan komen
Koreksi aja kalau ada kesalahan kata atau typo, ya!
Salam cinta, biebell