"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 cemburu tapi gengsi
Sejak hari itu, hubungan mereka semakin ambigu. Tidak sepenuhnya menjauh, tapi juga belum sepenuhnya bersatu. Namun kedekatan itu tak bisa dibendung lagi.
Setiap ada rapat, Makes selalu meminta Zhavira mendampingi, padahal biasanya cukup asisten divisi.
Setiap makan siang, Makes akan mampir ke mejanya, menyodorkan sandwich atau buah potong, dengan alasan “kamu pasti lupa makan.”
Dan setiap malam, Makes akan menunggu di parkiran basement, hanya untuk memastikan bahwa Zhavira pulang dengan aman.
Hati Zhavira? Kini bukan hanya goyah—tapi sudah mulai tenggelam dalam perhatian yang tak pernah ia duga akan datang dari seorang pria seperti Makes Rafasya Willson.
**
Tapi malam itu, sebelum mereka berpisah di lobi, Makes sempat menatapnya lama dan berkata,
“Zha, kamu tahu? Kamu adalah satu-satunya alasan kenapa rumor tentang saya impoten itu tidak pernah membuatku terganggu.”
Zhavira mengernyit. “Kenapa?”
“Karena sejak saya jatuh cinta padamu... saya mulai percaya bahwa saya bisa jadi pria seutuhnya.”
Jantung Zhavira berdetak keras.
Dan sebelum gadis itu sempat menjawab, Makes sudah lebih dulu melangkah pergi, meninggalkan rasa hangat yang menyesap di dada, dan pertanyaan dalam benak Zhavira—apakah perasaan ini benar-benar bisa ia hindari lebih lama lagi?
**
Langkah Zhavira terdengar ringan tapi cepat saat ia masuk ke lobi Willson Company pagi itu. Penampilannya rapi seperti biasa, kemeja putih dengan blazer cokelat muda yang membingkai tubuh rampingnya. Namun, ada sedikit ketegangan yang tidak biasa terpancar dari ekspresinya. Sesuatu yang sejak tadi mengusik pikirannya.
Sejak semalam, pikirannya belum tenang.
Itu semua karena makan malam pribadi yang mereka habiskan dua malam lalu. Percakapan yang mengalir alami, tawa yang tidak dibuat-buat, dan cara Makes menatapnya malam itu—lembut tapi dalam—masih jelas dalam benaknya. Zhavira tahu dirinya mulai terjebak. Tapi ia tak bisa menahannya.
Dan kini… ada hal lain yang mengganggu. Sesuatu yang membuat dadanya sesak.
“Pagi, Kak Zha.” sapa Rani, salah satu staf marketing, yang lewat sambil tersenyum.
Zhavira membalas senyum itu seadanya, kemudian langsung menuju lift.
Pikirannya kembali pada momen tadi pagi, saat tak sengaja melihat Makes berdiri di depan gedung, menyambut seorang perempuan cantik berambut panjang yang mengenakan setelan hitam elegan. Perempuan itu langsung menepuk bahu Makes dengan akrab, bahkan tertawa kecil sambil menyentuh dadanya. Dan yang lebih mengganggu. Makes tidak menolak.
Zhavira berusaha menepis pikiran yang menusuk-nusuk hatinya. Mungkin rekan bisnis. atau mungkin teman lama. atau, ah entahlah
Pintu lift terbuka. Ia menghela napas, masuk ke lantai eksekutif dan langsung berjalan ke ruang kerjanya. Ia mencoba sibuk, menekuni laporan, menulis email, membuat jadwal rapat. Tapi fokusnya terus berantakan.
Tak lama kemudian, suara langkah sepatu berderak di depan meja kerjanya. Zhavira tahu betul suara itu.
"Pagi."
“Selamat pagi juga.” jawabnya cepat.
Dan benar saja—Makes Rafasya Willson berdiri di ambang pintu dengan kemeja biru langit yang digulung rapi di pergelangan tangannya. Ia membawa dua cangkir kopi.
“Sudah sarapan?” tanyanya sambil masuk tanpa menunggu jawaban.
Zhavira berdeham pelan, “Sudah, Pak. Terima kasih.”
Makes hanya tersenyum dan meletakkan salah satu kopi di atas mejanya. Ia mencondongkan badan sedikit, menatap wajah Zhavira yang kelihatan tidak seceria biasanya.
“Kamu kenapa?” tanyanya, langsung.
Zhavira sedikit tersentak. “Saya? Enggak, saya baik-baik saja, Pak.”
“Kamu menghindari tatapan saya sejak saya masuk tadi.”
“Tidak juga. Mungkin Bapak yang terlalu sensitif,” elaknya, menunduk pura-pura membaca dokumen.
Makes mengangkat alis. Ia tahu betul, Zhavira selalu seperti ini jika sedang tidak nyaman. Tapi tak satu pun kalimat cemburu keluar dari mulut perempuan itu. Dia menyembunyikannya.
“Kamu lihat saya tadi pagi?” tebak Makes, tiba-tiba duduk di kursi depan mejanya.
Zhavira langsung mengangkat kepala, terperanjat. “Maksud Bapak?”
“Maksud saya… kamu lihat saya bersama perempuan yang datang tadi?”
Zhavira menggeleng terlalu cepat. “Saya enggak mengintip siapa-siapa, Pak.”
“Zhavira…” panggilnya lembut. “Kamu kelihatan cemburu.”
Deg.
Jantung Zhavira mencelos.
“Saya enggak cemburu!” sergahnya terlalu cepat, wajahnya memerah.
Makes tertawa pelan, bukan mengejek, tapi seperti menemukan titik terang dari hatinya yang selama ini terus penasaran.
“Saya hanya profesional,” lanjut Zhavira buru-buru. “Kalau saya memperhatikan Bapak… itu karena pekerjaan.”
“Dan kalau saya memperhatikan kamu, itu karena saya suka kamu.”
Zhavira terdiam. Matanya perlahan menatap Makes. Tak ada senyum menggoda di sana. Hanya tatapan jujur dan tulus. Tatapan yang membuat seluruh benteng dalam dirinya nyaris runtuh.
“Kamu tahu siapa perempuan tadi?” tanya Makes setelah hening beberapa detik. “Dia mantan saya… dari lima tahun lalu. Dan dia datang bukan untuk bisnis. Hanya ingin meminta maaf karena dulu pernah pergi tanpa penjelasan.”
Zhavira menelan ludah. Ia tak tahu kenapa Makes menjelaskan ini. Tapi entah kenapa, hatinya terasa lebih ringan.
“Dan saya enggak membalas sentuhannya. Saya hanya menunggu kamu keluar dari mobil, kalau-kalau kamu melihat. Tapi ternyata kamu justru langsung pergi.”
Zhavira tak menjawab.
“Saya enggak punya perempuan lain dalam hidup saya, Zha,” lanjut Makes perlahan. “Kecuali kamu yang sekarang perlahan-lahan mengisi ruang kosong itu.”
Kata-kata itu begitu tenang, tapi menghantam jantung Zhavira seperti badai. Ia tak tahu bagaimana cara menanggapinya. Ia tak tahu apakah ia harus mengakui bahwa ia memang cemburu… atau justru menjauh agar tidak terbawa perasaan lebih dalam.
“Saya…” gumamnya pelan, “saya hanya sekretaris Bapak…”
“Dan saya tetap mencintaimu, bahkan jika kamu hanya ingin jadi sekretaris seumur hidup.”
Zhavira menatap Makes. Tidak ada godaan di sana. Tidak ada nafsu seperti pria-pria yang hanya menginginkan tubuhnya. Hanya Makes… dengan segala ketulusan dan keanehannya yang perlahan-lahan membuat hatinya goyah.
“Kalau kamu cemburu, Zha…” bisiknya pelan, “katakan saja. Aku suka mendengarnya.”
Zhavira menjambak pelan rambutnya sendiri, lalu berbalik menghadap layar monitor.
“Apa saya harus bilang kalau saya cemburu… karena melihat perempuan lain menyentuh Bapak?”
Makes tersenyum.
“Itu sudah cukup.”
Dan di saat itu juga, tanpa mereka sadari, sebuah ikatan yang belum terucap semakin menguat. Cemburu, gengsi, dan ketulusan perlahan mengukir kedekatan yang tak bisa mereka hindari. Dalam diam, mereka tahu… hati mereka mulai memilih arah yang sama.
Pengakuan rasa cemburu dari Zhavira sangat membuat Makes senang, hatinya berbunga-bunga, dia merasa jika perasaannya sudah mulai terbalaskan. Dan perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
"Saya tunggu kamu di ruangan saya." ujar Makes, lalu ia melangkah pergi meninggalkan meja merja Zhavira.
"U–untuk apa?" tanya Zhavira, gugup. Dia tidak mengerti kenapa Makes memanggilnya masuk kedalam ruangannya.