Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 Sabotase licik Leon
Hari Pertama sejak diberlakukannya kebijakan pembatasan minuman keras. Negara negara besar di seluruh Federasi Nordwen seperti Erisbruck, Montcalm, dan Vardenholt mulai merasakan guncangan ekonomi.
70% distribusi minuman keras ditahan oleh kemiliteran. Pasar hanya menerima 30% sisanya. Di bar-bar elite, botol-botol mahal mendadak jadi barang langka.
“Dasar kalian lintah darat! Sejak kapan kesepakatan kita berubah?!” teriak seorang pemilik bar di Erisbruck, hampir melempar gelas ke dinding.
“Kalau kau ingin pasokan minuman, bayar dua kali lipat! Itu harga pasaran sekarang,” kata seorang pemasok dengan senyum culas.
Harga minuman dari yang kelas rendah hingga tinggi naik gila-gilaan. Para pemasok mengira mereka bisa memeras keuntungan dari kejadian tersebut. Pemilik bar marah, pelanggan ribut, dan suasana malam di seluruh Federasi berubah kacau.
Mereka yang tergila-gila dengan minuman merusak fasilitas umum ataupun menjarah supermarket dan bar, sedangkan mereka yang ingin melupakan masalah dengan minum-minuman beralkohol hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Para pemasok untung banyak dari menjual minuman kepada para orang kaya yang rela membayar lebih. Namun, mereka mulai merasa ada yang janggal…
Hari Ketiga, semua pemasok besar mulai menyadari mereka tidak mendapat jatah apapun dari 30% minuman yang lolos distribusi.
Gudang mereka kosong. Kontainer yang seharusnya milik mereka hilang tanpa jejak. Mereka kebingungan, menuduh satu sama lain sebagai orang yang memonopoli pasar, tapi tak ada yang bisa menjelaskannya dengan baik.
Sementara itu di Pelabuhan Nasional Nordwen. Puluhan kontainer besar berjejer rapi di dermaga.
Dua pria berjas hitam berdiri tegak di depan kontainer. Gerak-gerik mereka tenang, namun tatapan mata tajam mengamati situasi. Mereka bukan pedagang biasa. Mereka adalah prajurit militer yang menyamar demi menjalankan perintah rahasia.
Suara langkah kaki terdengar, dari arah gelap dermaga, muncul dua pria lain dengan setelan jas hitam dan kacamata gelap. Mereka adalah Jicko dan Jhino.
Jicko menyeringai kecil. “Apa kau sadar? Kita benar-benar terlihat seperti agen rahasia sekarang.”
Jhino mengangkat alis, sok serius. “Itu benar. Tapi lihat kedua orang itu… cara berdirinya, wajahnya yang kaku dan dingin. Mereka pasti mafia kelas atas.”
Jicko tertawa pelan. “Mafia? Ah, masuk akal. Bos Leon juga selalu pakai setelan jas hitam dan memasang wajah dingin. Aku sudah bilang, kan? Bos kita itu sebenarnya raja kriminal bawah tanah.”
“Hei, jaga sikapmu. Kita harus menjalankan perintah sesuai arahan Bos Leon..." bisik Jhino ketika mereka mendekati target.
Keduanya akhirnya berdiri di hadapan pria militer yang menyamar itu. Ketegangan mendadak naik.
Salah satu pria militer bicara dengan nada dingin. “Kami tidak menjual apapun. Jika kalian datang untuk transaksi, maka kalian salah tempat.”
Jicko hanya menyeringai. Ia melangkah maju, lalu dengan nada rendah tapi jelas, ia berkata. “Kami datang bukan untuk membeli, melainkan untuk mencari cahaya di balik kegelapan.”
Kedua pria militer itu menegang dan memberikan dokumen kepemilikan kontainer kepada mereka berdua.
Jhino terkekeh pelan. “Astaga… benar-benar seperti adegan film. Aku hampir ketawa, padahal ini serius.”
Jicko menepuk bahunya. “Diamlah, bodoh. Ingat, mulai malam ini… kontainer ini bukan milik mafia, bukan milik pemasok, tapi milik satu orang saja.”
Jhino mengangguk dan menyeringai tipis. “Bos Leon Vargas.
Sampai disini, Leon telah mendapatkan pasokan minuman yang cukup untuk 10 tahun kedepan. Tapi bukan itu yang Leon incar.
Hari keempat dan kelima setelah diberlakukannya pembatasan distribusi minuman keras, seluruh Federasi seperti kapal besar yang kehilangan keseimbangan.
Bar demi bar di Nordwen, khususnya di Lunebridge tutup lebih awal. Pemilik-pemiliknya saling mengumpat, banyak yang bahkan berlutut di depan gedung kementerian, memohon izin tambahan distribusi.
Gudang mereka kosong, rak-rak botol yang biasanya penuh berkilau kini hanya berisi debu.
Namun tidak semua mengalami kejatuhan. Ada segelintir pemasok cerdik yang sudah berspekulasi sejak hari pertama. Mereka membeli habis minuman dari gudang pesaing, menimbunnya seperti naga yang menjaga emas.
Dan kini, saat pasar sekarat, mereka muncul dengan tawa puas, menjual botol demi botol dengan harga lima kali lipat dari harga normal.
Permainan klasik pasar gelap: tunggu sampai semua haus, lalu jual segelas air dengan harga perhiasan.
Dan saat itulah Leon turun tangan. Di balik layar, Leon mendirikan sebuah perusahaan bayangan, lengkap dengan jaringan distribusi, dokumen resmi, hingga merek baru yang sengaja diciptakan untuk menyamarkan kepemilikan.
Dari luar, seolah-olah ini adalah pemasok independen yang tiba-tiba muncul di tengah krisis. Namun satu hal yang membuat mereka tercengang adalah harga yang ia tetapkan yakni 30% lebih murah dari harga normal.
Bukan harga krisis. Bukan harga penghisapan darah. Tapi harga normal yang justru direndahkan.
Bar-bar kecil yang hampir bangkrut menyerbu perusahaan bayangan itu seperti serigala kelaparan. Bahkan banyak pemasok yang kini harus bergantung pada Leon hanya agar bisa bertahan.
Pemilik bar dan pemasok kecil bersorak gembira, sedangkan mereka yang tamak dan menimbun begitu banyak minuman hanya bisa batuk darah.
Mereka tidak bisa menjual dengan harga normal lagi, bahkan jika harga diturunkan hingga 40%, para pelanggan sudah kabur dan tidak percaya lagi.
Hari keenam menjadi titik balik yang tak disangka-sangka. Federasi Nordwen gempar. Media nasional menayangkan tajuk besar di layar kaca dan halaman depan koran:
“Militer menyalahgunakan Kekuasaan, Rakyat Jadi Korban.”
“Distribusi Minuman Beralkohol Dibatasi—Siapa yang Bertanggung Jawab?”
Gelombang kritik tak terbendung. Dari kalangan masyarakat bawah hingga pengusaha besar, semua menuding militer sebagai biang kerok kekacauan.
Di parlemen, anggota dewan menekan dengan keras, menyebut kebijakan itu sewenang-wenang dan merugikan stabilitas ekonomi negara.
Puncaknya, Lord Marsekal berkumis kotak dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Sorotan kamera mengikuti langkahnya yang berat memasuki gedung hukum tertinggi Federasi.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, institusi yang dikenal dingin dan tak tersentuh itu goyah di hadapan publik.
Malam itu juga, pengumuman resmi keluar: Kebijakan pembatasan distribusi minuman dicabut sepenuhnya. Aliran pasokan kembali normal, pasar kembali dihidupkan.
Namun bagi Leon, keputusan itu hanyalah penutup dari drama yang sudah ia tulis sejak awal.
Hari ketujuh. Kota mulai bernapas lega. Bar-bar kembali beroperasi, musik kembali menggelegar di distrik hiburan. Orang-orang meneguk bir dan anggur tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Dari luar, semuanya terlihat pulih. Namun di balik layar, Leon sudah menancapkan taringnya dengan dalam.
Para pemasok yang ia selamatkan kini terikat kontrak seumur hidup. Bukan kontrak biasa—tapi dokumen hukum yang dirancang dengan klausul licik: setiap tanda tangan berarti menyerahkan masa depan mereka. Bila ada yang berkhianat, semua aset, lisensi, dan jaringan bisnis mereka otomatis jatuh ke tangan Leon.
Mereka kini bukan lagi pengusaha bebas. Mereka adalah tangan dan kaki Leon Vargas.
Dan bagi Leon, inilah kemenangan sesungguhnya.
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu