Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Arjuna Yang di Samperin Temanya Yang Salting
Perut kenyang dan hati yang senang membuat langkah mereka kembali ke kosan terasa ringan. Obrolan dan candaan terus mengalir hingga mereka kembali duduk santai di teras depan, menikmati angin malam yang sejuk. Budi kembali mengambil gitarnya, memainkan melodi-melodi acak yang menenangkan.
"Ah, nikmat bener hidup ini," desah Budi sambil bersandar ke dinding. "Perut kenyang, hati senang, tinggal nunggu gajian biar makin tenang."
"Gajian masih dua minggu lagi, jangan mimpi lo," sahut Ucup datar, yang langsung disambut tawa kecil dari yang lain.
Arjuna ikut tersenyum. Ia meregangkan kedua tangannya ke atas, sebuah gerakan refleks untuk melemaskan otot setelah duduk makan. Ia bersiap merasakan sengatan pegal atau nyeri di punggung dan bahunya, sisa dari kerja kerasnya mengangkat ratusan karung semen seharian.
Namun, yang ia rasakan... hanyalah kehampaan.
Tidak ada rasa sakit. Tidak ada otot yang terasa seperti ditarik-tarik. Hanya ada rasa lelah yang wajar, seperti setelah berolahraga ringan.
Arjuna mengerutkan kening. Aneh. Seharusnya tidak seperti ini. Ia ingat betul bagaimana para kuli lain yang jauh lebih kekar darinya mengeluh tentang punggung mereka yang serasa mau copot. Seharusnya, ia bahkan tidak bisa bangkit dari tempat tidur besok pagi.
Dengan pura-pura, ia menekan-nekan otot bahunya, lalu punggungnya. Keras, tapi tidak sakit. Sama sekali.
"Aduh, punggung gue encok kayaknya, kebanyakan duduk di depan komputer," keluh Ucup sambil memutar-mutar lehernya.
"Sama!" timpal Toni. "Ngelatih klien tadi ada yang salah posisi, ketarik dikit otot pinggang gue."
Arjuna terdiam mendengar keluhan teman-temannya. Mereka, dengan aktivitas yang jauh lebih ringan, merasakan sakit. Sementara dia, yang telah melakukan pekerjaan fisik paling brutal, justru merasa baik-baik saja.
Saat itulah kesadaran itu menghantamnya. Ini bukan sekadar kekuatan sesaat. Ini bukan hanya tentang refleks super saat bertarung atau kecerdasan instan saat ujian. Cincin ini... telah mengubah tubuhnya secara fundamental. Memberinya daya tahan dan kemampuan pemulihan yang jauh di atas manusia normal.
Ia menunduk, menatap cincin perak yang melingkar tenang di jarinya. Benda itu tidak hanya memberinya "kemampuan", tapi seolah sedang menulis ulang cetak biru biologisnya. Rasa kagum yang ia rasakan perlahan bercampur dengan sedikit rasa ngeri. Sejauh mana perubahan ini akan berlanjut? Apakah ia akan terus berubah hingga ia bukan lagi manusia biasa?
"Woi, Jun! Ngelamun aja lo!" Suara Budi membuyarkan lamunannya. "Mikirin apa? Utang di warung Yu Minah udah lunas belum?"
Arjuna tersentak, lalu tertawa kecil untuk menutupi keterkejutannya. "Bukan, Mas. Cuma lagi mikir, besok harus angkut berapa karung lagi biar bisa traktir kalian makan enak lagi."
Jawaban itu disambut sorakan dari teman-temannya. Mereka menganggapnya sebagai lelucon, sebuah candaan dari teman mereka yang pekerja keras.
Mereka tidak tahu, bagi Arjuna, itu bukanlah lelucon. Itu adalah sebuah kenyataan baru yang aneh dan sedikit menakutkan. Ia duduk di tengah tawa teman-temannya, namun pikirannya melayang jauh. Ia merasa semakin berbeda, semakin jauh, terpisah oleh sebuah rahasia yang bahkan tubuhnya sendiri kini menjadi bagian dari misteri itu.
Canda tawa masih menghiasi teras Kos Berkah. Budi baru saja melontarkan lelucon tentang bagaimana Arjuna, Tiba-tiba, suasana berubah.
Dari ujung gang, muncul sekelompok gadis yang berjalan memasuki area kos. Di antara mereka, ada satu sosok yang langsung membuat Budi berhenti tertawa dan menegakkan posisi duduknya. Aulia, sang bidadari kos, terlihat baru saja pulang, mungkin sehabis makan malam atau belajar kelompok bersama teman-temannya.
Seperti biasa, kehadiran Aulia dan teman-temannya yang modis itu membuat para pemuda di teras mendadak salah tingkah. Budi yang tadinya paling berisik kini hanya bisa tersenyum kaku. Ucup pura-pura sibuk membetulkan letak kacamatanya, sementara Toni berdeham tanpa alasan yang jelas. Mereka semua menatap, namun tak ada yang berani menyapa.
Namun, yang terjadi selanjutnya di luar dugaan mereka semua.
Aulia, yang biasanya akan langsung berjalan lurus menuju tangga tanpa menoleh, kali ini justru berhenti dan memisahkan diri dari teman-temannya. Ia melangkah dengan anggun mendekati kerumunan kecil mereka di teras.
Jantung Budi, Ucup, dan Toni seolah berhenti berdetak. Mereka mengira Aulia akan menegur mereka karena terlalu berisik.
Tapi mata Aulia tidak tertuju pada mereka. Tatapannya lurus mengarah pada satu orang.
"Arjuna."
Suara lembut itu memanggil namanya. Arjuna mengangkat kepala dari lamunannya, menatap Aulia dengan ekspresi tenang.
Aulia berdiri di hadapan mereka, menjadi pusat perhatian. "Aku hanya mau mengingatkan," katanya dengan nada datar, seolah menyampaikan sebuah fakta, bukan basa-basi. "Jangan lupa, besok jam sembilan pagi. Pengumuman hasil tes seleksi beasiswa Universitas Nusantara Global. Cek email kamu dan situs webnya."
Hening.
Informasi itu jatuh di tengah mereka seperti sebuah bom.
Aulia menatap Arjuna sejenak lebih lama, ada kilatan tantangan di matanya yang sulit diartikan. Ia lalu mengangguk singkat, berbalik badan, dan kembali bergabung dengan teman-temannya untuk naik ke lantai dua, meninggalkan empat pemuda yang membeku di tempatnya.
Setelah Aulia dan teman-temannya menghilang di tangga, tiga pasang mata langsung menoleh serempak ke arah Arjuna. Budi, Toni, dan Ucup menatapnya dengan mulut sedikit ternganga, ekspresi mereka campur aduk antara kaget, bingung, dan tak percaya. Mereka melongo.
Keheningan itu akhirnya dipecah oleh suara Budi yang terdengar seperti bisikan tak percaya.
"Jun... UNG? Universitas Nusantara Global? Kampus sultan itu?" tanyanya, memastikan ia tidak salah dengar. "Lo... ikut tes beasiswa di sana?"
Tiga pasang mata menatap Arjuna, menuntut jawaban. Pertanyaan Budi tentang Universitas Nusantara Global menggantung di udara, penuh dengan rasa kaget dan tidak percaya. Mereka menunggu Arjuna untuk tertawa, untuk mengatakan bahwa Aulia hanya salah orang atau sedang mengerjainya.
Namun, Arjuna tidak melakukan itu.
Ia menatap balik teman-temannya sejenak, ekspresinya tetap tenang dan sulit dibaca. Alih-alih menjawab pertanyaan Budi yang sangat penting itu, ia justru bangkit dari duduknya.
"Maaf, Mas-mas," katanya dengan nada suara yang sedikit lelah. "Saya capek banget hari ini. Mau masuk kamar duluan ya."
Setelah berkata begitu, ia berbalik dan berjalan santai menyusuri lorong menuju kamarnya, seolah pertanyaan tadi tidak pernah ada. Ia nylonong begitu saja, meninggalkan Budi, Toni, dan Ucup yang kini benar-benar membeku dengan mulut setengah terbuka. Mereka hanya bisa menatap punggung Arjuna yang menjauh dengan tatapan kosong. Apa yang baru saja terjadi?
Di saat yang bersamaan, Gofar akhirnya tiba di gerbang kos setelah seharian lembur menyelesaikan pekerjaannya. Ia melangkah masuk dengan santai, bersiap untuk bergabung dengan teman-temannya di teras untuk melepas penat.
Namun, pemandangan di depannya membuatnya berhenti dan mengerutkan kening. Ia melihat ketiga temannya—Budi, Toni, dan Ucup—duduk kaku seperti patung di teras. Semuanya menatap ke satu arah, ke lorong tempat Arjuna baru saja menghilang, dengan ekspresi melongo yang sangat lucu.
‘Kesambet apaan ini orang bertiga?’ batin Gofar, menahan tawa.
Melihat teman-temannya yang begitu lengah dan tidak menyadari kehadirannya, sebuah ide jahil langsung muncul di benaknya. Dengan langkah yang dibuat sepelan mungkin, Ketika ia sudah berada tepat di belakang Budi, Gofar menarik napas dalam-dalam.
"DOOORRR!"
"EH, EMAK GUE COPOT!" teriak Budi sambil melompat dari tempat duduknya.
"SETAN!" sahut Toni, refleks memasang kuda-kuda.
Ucup bahkan sampai menjatuhkan kartu gaple yang masih dipegangnya, wajahnya pucat pasi. "Astaghfirullah... jantung gue..."
Gofar tertawa terbahak-bahak melihat reaksi teman-temannya. "Hahahaha! Ngelamun aja lo semua! Mikirin apaan sih, serius amat kayak mikirin utang negara!"
Budi, yang masih mengelus-elus dadanya, menatap Gofar dengan kesal. "Sialan lo, Far! Kalau gue jantungan beneran gimana?!"
"Lagian lo bertiga aneh banget, diem kayak patung selamat datang," kata Gofar, masih sambil tertawa. "Ada apaan sih? Kok tegang gitu?"
Napas Budi masih sedikit terengah-engah, tapi kekesalannya pada Gofar dengan cepat tergantikan oleh kehebohan dari kejadian sebelumnya. Ia menunjuk ke arah kamar Arjuna dengan tatapan yang masih penuh rasa tak percaya.
"Bukan tegang biasa, Far," katanya dengan suara serius. "Lo harus denger ini. Si Arjuna... dia..." Budi berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "...dia itu gila, Far. Gila beneran."
biar nulisny makin lancar...💪