Ditipu tidak membuat kadar cintanya berkurang malah semakin bertambah, apalagi setelah tau kejadian yang sebenarnya semakin menggunung rasa cintanya untuk Nathan, satu-satunya lelaki yang pernah memilikinya secara utuh.
Berharap cintanya terbalas? mengangankan saja Joana Sharoon tidak pernah, walaupun telah hadir buah cinta.. yang merupakan kelemahan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Base Fams, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
◉ 5
"Hai... Kita bertemu lagi, Nona." Nathan tersenyum tipis menikmati wajah Joana yang terkejut.
Keduanya memang belum pernah saling bertemu, sebelumnya. Sejak anak perusahaannya berdiri, hanya beberapa kali saja Nathan mengunjungi perusahaannya itu, sisanya ia menyerahkan kepercayaannya kepada Gabriel. Lain hal dengan Joana. Satu-satunya karyawan yang tak mengetahui wujud sang pemilik perusahaan tempatnya berkerja. Ia hanya mengetahui dari teman sejawatnya tentang atasannya yang memiliki wajah rupawan. Tapi hal itu tidak membuat Joana penasaran akan wajah pria itu. Fokusnya hanya bekerja, untuk mendapatkan uang bukan cuci mata.
Beberapa detik Joana menatap Nathan dalam diam. Ia sedang mencoba memahami keadaan. "Sebentar.. kenapa pria menyebalkan ini ada disini?" Bisiknya dalam hati.
Disaat Joana berkutat dengan pikirannya yang tiba-tiba berantakan karena adanya Nathan, pria itu menempati sofa singel dengan berkas kontrak kerja yang dibawanya. 3 menit terlewati dengan kebisuan, Nathan yang sudah mulai bosan pun memulai perbincangan. "Sudah berpikirnya?"
"Bagaimana mungkin?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Kenapa kau bisa berada disini?" Pertanyaan bodoh itu tercetus begitu saja dari mulut Joana. Karena efek terkejutnya, ia mendadak blank. "Tidak mungkin jika kau adalah Tuan Nathan Klemens, bukan?"
Belum sempat Nathan menjawab pertanyaannya, Joana membuka suaranya lagi. "Ya, pasti bukan." Joana menjawab sendiri pertanyaannya. "Sepertinya aku salah masuk ruangan, jadi kau tidak perlu repot-repot mengusirku, Tuan." Rupa-rupanya pengusiran yang dilakukan Nathan saat di cafe kemarin benar-benar membekas di ingatan Joana. "Aku dengan senang hati akan segera angkat kaki dari sini." Cicitnya. Joana menyematkan kembali tas di bahunya. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria yang telah mengusirnya.
Ketika Joana berdiri, Nathan membuka suaranya. "Sayangnya, aku adalah Nathan Klemens. Ketua direktur NK Group, atasanmu." Jelas Nathan seraya menunjukkan kartu Identitasnya kepada Joana. "Lihat ini."
Joana melihat kartu tersebut yang terdapat foto, lalu kemudian ia menatap pria yang mengaku atasannya. Joana masih terlihat ragu, barangkali Ia salah atau mungkin saja mendadak rabun. Joana pun memeriksa lagi kartu itu.
"Nathan Klemens," Joana menelan salivanya, tenggorokan terasa tercekat. "Ya Tuhan.. Kenapa aku harus bertemu dengan si brengsek ini? dan kenyataan pahitnya dia adalah atasanku." Bisik Joana getir.
"Apa kau mengatakan sesuatu?" Dua alisnya tertarik menciptakan kerutan di dahinya. "Aku tidak mendengarnya." Lanjutnya.
"Bu-bukan apa-apa, Tuan."
Nathan mengangguk samar. "Duduklah!"
Joana duduk menuruti atasan barunya itu. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Lagipula, tidak mungkin juga kan hanya karena pria yang mengusirnya tempo hari adalah atasannya, ia harus mengundurkan diri, apalagi disaat jabatannya naik menjadi sekretaris. Ia membutuhkan uang untuk membantu Ibunya, dan menyekolahkan adiknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Joana meluruhkan kakinya, bokongnya mendarat lagi di tempat semula.
Melihat dengan jelas perubahan raut wajah Joana yang nampak pias, bibir Nathan berkedut, menahan tawa. Nathan mendorong tubuhnya ke belakang, hingga punggungnya menyentuh sandaran sofa. "Apa kau sudah mempercayaiku, Nona?" Tanya Nathan. Joana hanya bergeming tidak merespon pertanyaan Nathan. "Ah aku jadi teringat dengan ucapanmu di cafe. Kau berharap, agar tidak bertemu lagi denganku. Tapi sepertinya Tuhan tidak mendengar permintaanmu. Kita bertemu lagi, Nona. Apa ini takdir?" Tanyanya dengan lempeng.
"Heh apa katanya tadi? takdir? ini bukan takdir, Tuan... tapi mimpi buruk yang tidak akan pernah usai." Bantah Joana. Sayangnya kalimat itu hanya bisa diucapkan dalam hatinya.
"Katakan apa yang harus aku kerjakan, Tuan?" Alih-alih menjawab, Joana mengalihkan pertanyaan Nathan dengan pertanyaan pula. Selama bekerja, ia harus bersikap profesional. Itulah prinsipnya. Ia akan mencoba melupakan sikap atasannya yang minim akhlak.
"Kau bisa baca dulu isi berkas itu." Perintah Nathan mengarahkan dagunya menunjuk ke arah map coklat yang ada di meja kemudian ia mengangkat satu kakinya, ke atas pangkuannya.
Joana meraih map itu. Ia membuka, dan memeriksa kontrak kerjanya. Ia membaca dengan teliti isi berkas tersebut tanpa ada yang terlewati sama sekali.
Tiba-tiba sepasang mata coklat indah Joana berbinar cerah, begitu melihat nominal pendapatannya. Gajinya 5x lipat dari gaji sebelumnya. Pikirnya, Ia bisa menyisihkan lebih banyak pendapatan demi mewujudkan mimpi adiknya yang ingin berkuliah di University of Cambridge.
"Apa ada yang ingin kau tanyakan?"
"Tidak ada, Tuan." Jawab Joana seraya menggelengkan kepala. "Aku sudah memahami isi kontraknya."
"Bagus," Nathan menurunkan kakinya seraya menegakkan tubuhnya. "Silahkan kau tanda tangani berkasnya."
Joana mengambil pulpen, ia segera menandatangani berkas tersebut. "Sudah, Tuan." Joana meletakan pulpen di atas kertas yang baru saja ditandatangani.
"Dengarkan aku baik-baik. Selama bekerja, aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun. Jika sampai kau melakukan kesalahan, aku tidak segan-segan memotong gajimu. Dan datanglah tepat waktu. Apa kau mengerti?" Ujar Nathan terdengar tegas. Tatapan pria itu begitu tajam, membuat lawan bicaranya tidak berkutik.
"Iya Tuan. Aku mengerti." Patuh Joana karena ia tidak ingin mencari masalah pada atasannya di hari pertama ia bekerja di kantor pusat.
"Sekarang buatkan aku kopi, setelah itu atur schedule ku untuk besok. Jika kau kesulitan, kau bisa bertanya kepada Gabriel."
Joana segera melaksanakan perintah atasannya. Beruntung ruangan kerja Nathan dilengkapi dengan mesin kopi jadi Joana tidak perlu ke pantry.
Nathan kembali duduk di kursinya, diam-diam ia memerhatikan Joana.
Joana sudah terlatih menggunakan mesin pembuat kopi. Sebelum bekerja di NK group, Joana sempat bekerja di coffee shop. Jadi untuk urusan membuat kopi, itu sangatlah mudah, Joana sudah ahlinya. Dengan terampil, Ia meracik kopi dengan racikan yang disediakan cafe tempatnya bekerja dulu.
"Kopi anda, Tuan."
"Letakkan saja di atas meja." Joana mematuhinya lagi. Akan tetapi perubahan Joana yang menjadi penurut, membuat Nathan sedikit terusik. Ia lebih suka melihat Joana kesal. Nathan menyambar ganggang cangkir lalu menyesap kopinya pelan-pelan.
"Kopi buatannya sangat nikmat." Nathan memuji dalam hati. Lidahnya mengecap, merasakan perpaduan kopi dan gula yang sangat pas di lidahnya. "Eghm, kurang manis, buatkan lagi." Nathan meletakkan kembali cangkir di atas piring kecil. Pria itu memulai aksinya, mengerjai Joana. Anggap saja ini pelatihan. Ck.
Joana tidak berkomentar, ia hendak mengambil cangkir itu kembali, membuang kopinya lalu mengganti dengan yang baru. Akan tetapi..
"Biarkan itu disitu," cegah Nathan yang tidak rela kopi ternikmat itu terbuang sia-sia, ia berencana akan meminumnya lagi nanti. "Gunakan cangkir yang baru."
Tidak berpikir negatif, Joana segera berbalik. Ia membuatkan kopi lagi. Beberapa menit kemudian, Joana selesai membuat kopi kedua. "Sudah, Tuan." Joana meletakkan cangkir berisi kopi yang baru di samping cangkir sebelumnya.
"Hmm, " gumam Nathan kemudian ia mencicipinya. "Ini terlalu manis. Apa kau ingin membuatku terkena penyakit diabetes?" Ya Joana pun merasa demikian, karena ia menambahkan satu sendok teh gula pasir, dari takaran kopi yang sebelumnya ia buat. "Buatkan lagi!" Tidak cukup sekali Nathan mengerjai Joana, Ia ingin melihat sampai mana batas kesabaran gadis itu.
Joana menghela napas panjang, kesabarannya benar-benar diuji oleh pria itu. Kembali Joana membuat kopi untuk ke tiga kalinya.
"Semoga ini sesuai dengan selera anda, Tuan." Kata Joana. Meskipun hatinya terasa lelah, sampai saat ini Joana bisa mengendalikan diri dengan baik.
"Semoga saja," Tangan Nathan terulur meraih cangkir, dan menyesapnya. "Ini tidak manis." Jelas saja kurang manis, karena Joana mengurangi takaran gulanya.
"Oh ya Tuhan.. apa anda sedang mengerjai-ku, Tuan?" Akhirnya Joana hilang kesabarannya, ia pun kelepasan menuduh atasannya.
"Kau menuduhku, Nona."
coba kita liat kehidupan Joana & Nathan setelah menikah gimana yaa,,apa akan happy teruss,atau malah sebaliknya...🚴♂🚴♂
Jo yang di kecup Q seng mesem" deweeeee