NovelToon NovelToon
Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Duda / CEO / Cinta Paksa / Beda Usia
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Cengzz

KISAH PERJUANGAN SEORANG LAKI-LAKI MENGEJAR CINTA GADIS BERCADAR YANG BELUM MOVEON SAMA PRIA MASA LALUNYA.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7

"tuan muda kemana? Bukankah tadi dia masih disini?" Sehabis ke toilet dan balik keruangan, Nero tidak menemukan lucky. Matanya mengedar ke segala arah. Mencari sosok tuan mudanya yang hilang entah kemana.

Sementara itu, Lucky menjalankan mobilnya seorang diri, melaju kencang ditengah keramaian, beberapa kali ia menyalip kendaraan dengan sangat lincah tanpa ragu. Tangannya mencengkram setir mobil kuat-kuat, Netranya menatap tajam kedepan, sementara pikirannya terngiang-ngiang kabar Bella Bella dilamar ustad, kyai, Gus, apalagi tuh sebutannya. Intinya, pemuka agama, pikir lucky yang percaya ucapan revan dan saingannya terlalu sempurna untuk dihadapi.

Namun, ia tidak berpikir panjang. Mau pemuka agama sekalipun tak akan membuatnya kicep,

"Bella bukan sekadar soal siapa yang paling suci… tapi siapa yang paling sungguh-sungguh," gumamnya, pedal gas ditekan lebih dalam.

"Aku tidak peduli dengan siapa sainganku untuk mendapatkan mu. Orang paham agama? Orang kaya? Silahkan. Bahkan jika sainganku masa lalu mu tidak akan membuatku mundur, karena aku tetap aku. Bukan mereka. Dan kehadiranku disini bukan ingin membandingkan, tapi memperjuangkan." Tekad lucky tak main-main.

Kalau orang lain diposisinya, pasti akan segera mundur. Merasa tidak pantas mendapatkan Bella yang paham agama, sedangkan dirinya pemabuk, penuh dosa, jauh dari kesan suci. Bahkan agama dia dan Bella saja beda. Sungguh berat dan jelas perbandingannya.

Tapi lucky tak mundur begitu saja perkara dia seperti itu. Baginya perjuangan tetaplah perjuangan, semampu mungkin ia memperjuangkan Bella sampai titik penghabisan.

Kalau orang lain, satu agama pun kadang sudah  memiliki niat tuk berubah demi mendapatkan seseorang. Namun, beda dengan lucky, ia tak kepikiran untuk berubah sama sekali. menurutnya, perubahan harus datang atas keinginan diri sendiri, bukan karena paksaan atau demi orang lain.

Dia yakin dengan kalimat ini. Janganlah kamu berubah atas dasar orang lain atau sekedar memiliki orang lain. tetaplah jadi diri sendiri dengan segala kekurangan yang kamu miliki. Perubahan yang datang bukan dari niat sendiri akan sulit bertahan, bahkan bisa membuatmu hancur dan hilang arah, lupa dengan jati dirimu sendiri. Berubahlah atas niat bukan dasar.

Hanya itu prinsip dan keteguhan yang ditanamkan lucky Raze. Tetap lah jadi diri sendiri jangan memikirkan orang-orang lain yang terlihat baik didepan sana. Sejatinya, yang terlihat, belum tentu yang sebenarnya. Kebaikan yang dilakukan orang-orang ada dua : satu, karena memang ketulusan dari hati. dan dua, karena haus validasi.

Baginya, yang terpenting dalam memperjuangkan seseorang adalah niat tulus, bukan pencitraan semata.

"Ini pondok an-nur kan?" Setibanya disana, lucky langsung bertanya pada orang-orang yang memakai baju Koko, sarung, sendal jepit, lengkap dengan peci berwarna putih dan hitam.

"Iya, mas. Ini pondok An-Nur, ada perlu apa ya?" Jawab salah satu dari mereka dengan ramah.

"Kalian warga sekitar sini ya? Habis pulang dari masjid?" Tanya lucky entah kemana arah tujuannya.

"Kita santri dilingkungan ini, mas. Sehari-hari kita memang mengenakan pakaian seperti ini." Jawab salah satu pria yang mengenakan jubah berwarna hitam, sambil tersenyum hangat.

Lucky manggut-manggut, paham. Mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang asing baginya, sangat asing.

"Oh gitu ya. Makasih ya, saya ada keperluan mendadak, nggak ganggu kan?" Tanyanya sopan, dengan gaya santai.

"Nggak mas. Mas mau kedalam sana ya? Mau sekalian kami antar?" Tawar salah satu dari mereka membuat hati lucky sedikit menghangat.

"Boleh, tolong antarkan saya sebentar ya. Maaf ngerepotin kalian-kalian." Akhirnya lucky berucap.

"Iya, mas. Nggak apa-apa. Mas mau ketemu siapa? Pak kyai?" Tanya salah satu dari mereka berjalan beriringan bersama lucky.

"Mau cari siapa.... Bella? Disini ada Bella tidak?" Tanya lucky.

Mereka berhenti sesaat. Lucky ikut berhenti dan menoleh dengan dahi berkerut.

"Bella yang mana ya mas? Ada banyak disini yang namanya Bella? Mas cari Bella siapa? Coba sebutin nama lengkapnya, siapa tau kami kenal dengan orangnya."

"Saya lupa nama lengkapnya, intinya nama dia Bella. Coba antarkan saya dan bantu saya cari-cari orang yang namanya Bella."

Mereka mengganguk, meski bingung. Masa iya satu persatu mereka harus menanyakan yang namanya Bella dan dikenalkan pada lucky.

Lucky dan mereka masuk ke dalam pondok. Tatapan para wanita serta beberapa orang di sana langsung tertuju padanya kagum, penasaran, hingga saling berbisik-bisik. Sosok asing dengan aura kuat itu jelas mencuri perhatian banyak orang.

"Dia lucky yang pengusaha nomor 2 didunia itu kan? Dia datang kesini? Ini seriusan dia? Atau aku lagi mimpi ya?" Tanya salah satu santri wanita.

"Iya, itu memang Lucky. Dia beneran nyata. Allahuakbar, mimpi apa aku semalam sampai bisa melihat dia ada disini." Jawab temannya berbisik, kegirangan.

"Ya Allah, indahnya ciptaan mu." Bisik para wanita terkagum-kagum dengan sosok lucky yang sedang berjalan dengan sangat gagah mengenakan pakaian kantornya.

"Mas ya Allah," salah satu dari mereka tak kuasa menahan decak kagum.

Lucky mengabaikan semua pujian dan tatapan orang-orang yang memgangguminya. Niatnya kesini hanya mencari Bella, bukan tepar pesona. Pesona tidak usah ditebar, tidak ditebar pun sudah memesona.

Lucky diajak kelima santri laki-laki, menghampiri kerumunan orang-orang. Dengan rasa canggung ia mengiyakan dan mendekati para perempuan yang tampak salah tingkah, bahkan menjerit-jerit.

'mereka kenapa?' batin lucky heran.

"Mas! Mas! Ini cewek yang namanya Bella."

Sontak lucky menoleh, terdiam. "Ini bukan Bella yang mas cari?" Tanyanya, menunjuk seorang wanita tidak bercadar bernama Bella namun parasnya cukup jauh dengan Bella, bukan hanya paras namun penampilan juga beda jauh.

"Bukan," lucky menggelengkan kepalanya, lalu mengalihkan perhatiannya menatap mereka semua yang tengah menatapnya dengan tatapan kagum. "Disini ada yang namanya Bella tidak?" Tanya lucky bak orang linglung.

"Saya!"

"Saya mas!"

"Saya Bella mas lucky!"

Beberapa wanita mengangkat satu tangannya, saling bersaing menyahut namanya dengan antusias.

"Yang mana Bellanya mas?" Tanya santri yang mendampinginya.

Lucky spontan menoleh. "Sepertinya bukan mereka."

Ucapan lantang lucky menghentikan suara-suara wanita. Mereka terdiam, saling berpandangan dengan tatapan kecewa berat.

"Mau cari lagi sampe ketemu mas? Kalau nanti belum ketemu, kita ke...." Bisik salah satu laki-laki, lucky menyimak dan menggangukkan kepalanya.

"Maaf ya kalian semua, maaf sekali." Lucky mengatupkan kedua tangannya, meminta maaf pada para wanita yang kecewa dengannya.

Mereka mengiyakan, memaksa tersenyum, meski sedikit kecewa dengan pernyataannya.

Mereka dan lucky keliling pondok tanpa adanya celah yang terlewatkan demi mencari sosok Bella. Namun, naas Bella yang dicari tidak ada. Tak menyerah, mereka menghampiri kyai dan bertanya tentang Bella dan sayangnya tidak ada Bella yang dimaksud lucky. Setelah menghabiskan waktu setengah jam mencari Bella, lucky memutuskan tuk menyerah dan keluar bersama mereka. Merasa kasihan atas mereka yang membantunya, segera lucky memberi beberapa uang ke mereka. Awalnya ditolak, namun lucky terus memaksa hingga akhirnya mereka menerima dengan anggukan kepala serta terima kasih sebanyak-banyaknya.

'sial! Kenapa bisa salah pondok gini dah! Si Revan ngebohongin gue atau apa sih?' batin lucky kesal.

'Tapi gak papalah. cewek-cewek disini cantik juga. Putih-putih mirip ratu di istana! Wow!' batin lucky mulai terkecoh.

*

*

Di pondok pesantren. Begitu melihat kedatangan bella, Aurel dan umi langsung mendekatinya dengan raut wajah sumringah. Bella berlari kecil, wajahnya tampak berseri-seri. Ia mencium tangan umi dan berpelukan penuh kasih sayang, lalu Bella menyalimi Aurel dan memeluk adik angkatnya. pelukan hangat mengiringi pertemuan mereka.

Dari kejauhan kyai Hasan menatapnya dengan rindu yang terpendam. sejak Bella bertemu kedua orang tua kandungnya seminggu lalu, berkat informasi penting yang diberikan Arhan, Kehadirannya dipondok menjadi sangat jarang. tidak seperti dulu, saat Bella selalu ada dipondok, bisa dijumpai dan dilihat kapan saja, di sudut-sudut manapun dipondok ini.

Hari itu, Bella datang bersama kedua orangtunya dan juga teman-temannya dabrina. Roy dan aluna selaku orang tua kandung. Dengan penuh harap, mereka menanyakan siapa sebenarnya Bella. Dari keterangan yang diberikan Arhan, Bella ditemukan di tempat ini saat masih bayi dan sejak itu dirawat oleh Pak Kyai dan Umi dengan penuh kasih sayang. Di situlah Kyai Hasan dan Umi mulai menjelaskan.

Hingga akhirnya, mereka menceritakan bagaimana Bella ditemukan dalam keadaan lemah dan rapuh, lalu dibesarkan dengan doa dan cinta di pondok ini. Roy dan Aluna mendengarkan dengan penuh haru, menyadari betapa besar kasih sayang yang telah diberikan pada anak mereka selama ini. Suasana haru menyelimuti pertemuan itu, membuka babak baru dalam kehidupan Bella dan keluarganya.

Mengingat momen itu, tak terasa air mata kyai Hasan jatuh, membasahi pipinya sebagai ungkapan cinta dan kerinduan terpendam pada sosok anak angkat yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.

Dadanya sesak, air mata mengalir deras membasahi kedua pipinya ketika teringat Arhan—sosok penolong atas pertemuan Bella dengan orang tuanya. Dalam diam, kyai Hasan menengandah, membisikkan doa tulus untuknya. Sosok pemuda terbaik yang telah membantu banyak hal dalam kemajuan pondok ini, ialah donatur utama yang tak pernah ingin namanya disebut, tidak haus validasi, membantu dengan sangat ikhlas tanpa adanya kamera-kamera seperti pihak pada umumnya. Satu hal yang membuat kyai Hasan kagum dengan pria itu. Yaitu aksinya yang langsung turun tangan dan ikut bekerja dilapangan, juga berbaur dengan orang-orang sekitar tanpa mengenal siapa mereka. Sikapnya begitu lembut, rendah hati, sopan dan murah senyum pada siapapun, membuatnya semakin banyak disukai orang-orang sini. Sangat jarang menemukan pemuda seperti itu dijamah sekarang, apalagi umur arhan saat itu baru menginjak 20 tahun dan sudah nekad membantu dengan nominal yang fantastis, dimana orang-orang seusianya waktu itu sedang berkuliah, bergaul dan sibuk mengejar kesenangan sendiri. Justru arhan berbeda memilih jalannya sendiri.

"Nak, kamu tidak melanjutkan kuliah?" Tanya pak kyai kala itu padanya.

"Sepertinya tidak, pak kyai. Saya merasa jalan saya bukan disana. Ada hal-hal yang ingin saya raih demi masa depan saya. Saya ingin membangun sesuatu dari bawah, merasakan setiap prosesnya, meski pelan. Saya percaya, ilmu bisa datang dari mana saja... termasuk dari kehidupan itu sendiri." Jawab Arhan 20 tahun, tersenyum.

Pak kyai mengganguk pelan. Tersirat kekaguman mendengar jawab pria itu.

"Jadi kamu bekerja ya nak? Dari mana kamu mendapatkan banyak uang untuk memperbagus pondok ini?" Tanya pak kyai sopan, tersirat rasa penasaran.

"Alhamdulillah, pak kyai. Saya sedang bekerja, meski bukan di tempat yang besar. Saya memulai dari usaha kecil, jatuh bangun sendirian. Saya simpan sedikit demi sedikit. Bukan perkara mudah, tapi saya percaya kalau sesuatu dimulai dengan niat baik dan kesungguhan, insya Allah hasilnya akan berkah," jawab Arhan dengan nada tenang.

"Saya tidak ingin pondok ini hanya bertahan, Pak Kyai. Saya ingin tempat ini tumbuh, jadi tempat yang nyaman untuk para santri belajar dan hidup. Kalau saya bisa membantu, kenapa tidak? Rezeki yang Allah titipkan ke saya, bukan untuk saya saja, melainkan banyak hak-hak orang lain disana. Dan saya ingin menyalurkan titipan dari Allah ini ke tempat yang membuat saya merasa dekat dengan-Nya."

Pak Kyai tersentuh. Sorot matanya berubah, bukan sekadar kekaguman, tapi rasa haru dan bangga yang dalam. Tak banyak anak muda berpikir sejauh itu dan tulus memberi tanpa berharap pamrih.

'Ya Allah ampuni seluruh dosanya, baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Terimalah segala amal baiknya dan tempatkan dia di tempat terbaik di sisi-Mu.' doa kyai Hasan, mengusap air matanya sambil menyunggingkan senyum haru dan tulus.

"Abi, kenapa nangis?" Suara Aurel menyentaknya.

"Nangis? Enggak, nak. Abi cuman kelilipan saja." Jawab kyai Hasan sambil menggosok matanya, seakan beneran kelilipan.

"Tap-"

"Abi, Bella rindu sama Abi!" Ucap Bella tersenyum dibalik cadar, menangkup kedua tangannya didepan dada, Saliman dengan yang bukan mahram.

Pak kyai menatap Bella dengan senyuman hangat. "Abi juga rindu, nak. Rindu sekali..." Ucapnya menekankan.

"Terimakasih sudah tetap menjaga adabmu, nak. Abi bangga sama kamu." Lanjutnya, tersenyum senang, tak tersinggung sama sekali dengan sikap Bella. Pasalnya, sejak Bella baligh, memang kyai Hasan harus menjaga batasnya terhadap wanita yang bukan mahram.

"Jazakallah Khairan, Abi. Ini semua berkat Abi dan umi yang mengajarkan banyak ilmu keagamaan sama Bella." Ujar Bella lembut, sopan.

Kyai Hasan dan umi mengganguk, mengulas senyum hangat. dengan penuh semangat, umi menggandeng tangan Bella, mengajaknya masuk ke ndalem.

"Silahkan duduk, nak." Ucap pak kyai sopan, menggulurkan tangannya ke sofa.

Bella mengganguk pelan, lalu duduk. Matanya menyapu kediaman dengan rasa rindu yang membuncah. Tempat inilah ia tumbuh, belajar, dan menemukan makna kehidupan dalam waktu 25 tahun lamanya. Setiap sudut-sudut pondok dan kediaman banyak menyimpan kenangan-kenangan yang sulit dilupakan, termasuk kenangannya dengan seseorang yang ia cintai dalam diam, tanpa berani menyatakan perasaanya.

"Ayo, diminum dulu tehnya, mbak." Ujar Aurel meletakkan segelas teh hangat—minuman favorit Bella.

"Makasih, dek. Jadi nggak enak, ngerepotin." Jawab Bella, mengambil secangkir gelas dan menyesapnya secara perlahan, menikmati setiap air yang mengalir serta aroma khasnya yang begitu menenangkan.

Aurel tersenyum, duduk disamping Bella. "Nggak repot sama sekali, mbak. Justru aku senang banget atas kedatangan mbak Bella kesini. Umi dari tadi sampai nanya terus ke aku, nggak sabaran mau ketemu kamu, heheh!" Jelas Aurel, melirik ummi yang tampak salah tingkah.

Bella tersenyum hangat, lalu menoleh ke arah Umi yang kini ikut tersipu.

"Umi kangen sama kamu, Nak. Rasanya pondok ini sepi banget tanpa celotehmu," ujar Umi, mencoba menyembunyikan harunya.

Bella bangkit perlahan, lalu menghampiri dan memeluk Umi dengan lembut. "Maaf ya, Umi... Bella jadi jarang datang kesini. Tapi Bella selalu kangen, dan selalu bawa doa-doa Umi ke mana pun Bella pergi."

Umi mengelus lengan Bella. "Umi ngerti, nak. Sekarang kamu punya dunia yang lebih luas. Tapi buat umi, kamu tetaplah anak umi."

Bella tersentuh. "Dunia boleh berubah mi, tapi buat Bella, umi tetaplah umi, ibu Bella." Kata Bella lembut membuat umi tak kuasa menahan air mata. Hatinya terenyuh dengan kata-kata itu.

Keduanya saling berpelukan erat, menyatukan rindu dan kasih sayang yang terpendam. Diam sejenak, hati mereka berbicara tanpa kata, menguatkan ikatan yang tak tergantikan. Momen itu disaksikan kyai Hasan dan aurel, yang tersenyum hangat, merasa bahagia melihat kebersamaan itu yang masih sama dari dulu.

"Kamu datang sendiri ke sini, nak?" Tanya kyai Hasan setelah Bella duduk ditengah-tengah antara umi dan Aurel.

"Iya sendiri, bi. "Bella mengganguk pelan, membenarkan. Memang dia datang sendirian kepondok.

"Owalah, umi kira kam-"

"Aku sendiri mi. Sebelumnya aku dianterin sama Sabrina, kak Revan sama kak Leon." Potong Bella menjelaskan dan menjawab secara tidak langsung pertanyaan umi Aminah.

"Oh, Sabrina ya. adik kembar kamu ya. Umi tau kalau Sabrina. Tapi siapa tadi yang dua laki-laki itu?" Tanya umi lupa.

"Revan sama Leon, umi."

"Temen mbak?" Tebak Aurel.

Bella menggeleng cepat. "Bukan, dek. Revan sama Leon itu asistennya almarhum Arhan. Masa kamu nggak tau sama Leon? Dia terkenal loh!" Ucap Bella terkekeh kecil.

"Oh, Leon ya! Abi kenal sih, tapi dianya nggak kenal sama Abi." Jawab kyai Hasan, menggengam tasbih.

"Masyaallah mbak, seriusan kamu dianterin sama Leon?" Tanya Aurel membulatkan matanya, terkejut.

Bella mengganguk kecil.

"Oh, iya, mbak. Kamu kaget nggak pas ketemu sama adik kembar kamu?" Tanya Aurel malas menyebut nama Sabrina.

"Kaget dong, dek. Aku kira Sabrina itu siapa, kan. Banyak banget orang-orang yang bilang aku mirip dia. Gak taunya aku kembaran dia." Ujar Bella excited.

Aurel dan Bella bercengrakam penuh semangat layaknya adik kakak pada umumnya, sesekali Abi menimbrung dengan anak-anaknya. Sementara umi, sejak tadi hanya terdiam dengan kepala menunduk.

"Umi kenapa diem aja?" Tanya Aurel khawatir.

Umi Aminah mengangkat kepalanya, menggeleng pelan. "Umi cuma kangen sama nak arhan."

Suasana mendadak hening.

"Aurel masih nggak nyangka sama almarhum meninggal secepat itu. Perasaan baru kemarin-kemarin dia Dateng kesini, membawa kedamaian dengan sikapnya." Ucap Aurel dengan nada sedih.

"Begitulah orang-orang baik. Selalu cepat meninggalkan dunia ini. Mungkin karena Allah sayang sama nak arhan, jadi dipanggil lebih dulu. Allah nggak mau dia terlalu lama terjerat didunia ini, terlalu banyak maksiat yang akan menjerumuskan nantinya." Tutur kyai Hasan.

"Semoga Allah memberikan tempat terbaik ya, bi. Kita harus terus mendoakan dia setiap saat." Jawab umi Aminah menerawang jauh.

"Aamiin!" Ucap Aurel dengan netra berkaca-kaca, kyai Hasan menahan nafas yang terasa sesak. Bella menunduk mengaminkan dan mendoakannya.

"Umi kalau ingat-ingat sama dia, sering banget keinget dia Dateng kesini, lalu disamperin sama perempuan, dinyatain perasaan, dilamar sama mereka, bahkan anak-anak kyai dari pondok lain ngutarain ingin meminta melamarkan nak arhan untuknya." Umi menggulum senyum dibalik cadarnya, mengingat momen itu.

Kyai Hasan terkekeh kecil. "Abi inget banget sama dia yang langsung grogi, nyengir, terus nolak mereka dengan cara lembut banget, tanpa nyakitin sama sekali."

"Cara dia menolak perasaan orang lain bagus banget Abi. Gak bikin orang sedih. Justru bikin orang semakin kagum dan tertarik sama dia." Timpal Bella.

"Iya, mbak. Aku pas dulu, sering banget ngajakin dia nikah. Cuman dianya bilang gini. 'Aurel, kamu perempuan baik. Tapi saat ini, aku belum siap membimbing orang lain dalam ikatan sebesar itu. Aku masih belajar membenahi diri. Jangan tunggu aku, ya. Kamu pantas bahagia dengan seseorang yang bisa lebih dulu siap buat kamu.' "

Aurel menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku ngerti sekarang... dia nggak pernah nolak aku, tapi dia menjaga perasaanku sebaik mungkin." Ucap Aurel yang semakin ditolak, perasaannya semakin menggebu-gebu terhadap arhan.

"Dia nggak mau nyakitin orang lain dek. Sesungguhnya hati dia telah tertanam oleh wanita lain, yaitu adikku sendiri, Sabrina. Dia sendiri yang pernah mengatakan waktu anak gadis kyai dari pondok lain agak memaksanya untuk menikahi putrinya. Dan disitu dia bilang 'maaf, saya belum bisa menerima siapa pun, karena di hati saya... sudah ada seseorang. Namanya Sabrina. Saya mencintainya dalam diam, dan saya masih menjaga perasaan itu dengan cara yang Allah ridai',"

Bella menarik napas dalam-dalam. "Dia nggak pernah mau menyakiti siapa pun, dek," lanjut Bella lirih. "Bahkan ketika perempuan lain memaksanya, dia tetap menjaga tutur katanya. Tapi hatinya, sejak dulu, hanya untuk adikku, Sabrina."

"Sama seperti Abi ya. Nolak semua cewek demi umi!" Ujar umi Aminah.

Kyai Hasan menggulum senyum. "Itulah cinta. Tidak mengenal siapapun orangnya. Jika hati sudah memilih, yang lain numpang lewat."

"Misalkan ada orang yang lebih baik daripada orang yang dicintainya, gimana bi?" Tanya Aurel memberanikan diri.

Kyai Hasan menatap Aurel sejenak, lalu tersenyum bijak.

"Kalau cinta sudah berlabuh pada seseorang, maka kebaikan orang lain tak lagi menjadi alasan untuk berpindah. Karena cinta sejati tak hanya soal siapa yang terbaik, tapi siapa yang membuat hati merasa paling tenang. Dan ingat, Cinta itu datangnya dari Allah, maka letakkan ia pada tempat yang Allah ridhai" Tutur kyai Hasan. Umi tersenyum manis.

Bella dan Aurel terdiam membisu, paham.

"Assalamualaikum!" Suara seseorang dari pintu memecah keheningan itu.

Semua orang menoleh, melihat beberapa sosok yang menunduk, tanpa berani masuk, adab.

Kyai Hasan pamit sebentar dan kembali membawa 5 tamu laki-laki muda berparas lumayan tampan dengan pakaian khas Gus, pemuka agama. Dibelakangnya, 6 orang perempuan mengekori, istri. Satu laki-laki itu memiliki 4 istri dan satu yang lain memiliki 1 orang istri dan satu orang lagi sama, satu istri, sementara kedua laki-laki yang belum menikah itu saudara kandung dua pria yang sudah memiliki istri tadi.

Melihat kedatangan mereka, umi, Bella dan Aurel segera bangkit dan menyambut dengan hangat, menghormati tamu yang datang.

Seorang pria bernama Ammar, yang memiliki satu istri, menatap Bella dan bertanya dengan ramah, "Kamu Bella, ya?"

Bella hanya mengganguk pelan, tanpa menjawab.

Satu laki-laki yang belum menikah, menatap Bella sekilas, lalu berpaling, menyembunyikan pipinya yang memerah. Sementara satu laki-laki tadi, menatap Aurel yang tengah menatapnya juga. Ia tersenyum manis dan tampak cuek.

"Masyaallah, kamu cantik sekali." Ujar Ammar tersenyum kagum.

"Mas!" Tegur istrinya

Bella menunduk, merasa malu dan sedikit canggung dengan suasana ini. Pasalnya, Ammar dan ketiga laki-laki itu sangat mengganguminya, bahkan menyatakan perasaanya. meski terus ditolak, mereka tak menyerah dan gencar melamarnya berulang kali secara random, bersaing ibaratnya.

Umi segera mengalihkan perhatian, mengajak 6 perempuan kedalam ruangan, menyisakan Bella, Aurel dan kelima laki-laki itu, duduk disofa. Ammar tak henti-hentinya curi pandang menatap Bella yang sedari tadi menunduk.

"Bang!" Tegur adiknya pelan, memberi peringatan untuk menundukkan pandangan.

'astaghfirullah, kenapa aku suka disukain sama pria yang sudah beristri ya Allah!' gumam Bella tak habis pikir, takut sendiri.

Pak kyai mengajak kelima laki-laki itu bercengkrama membahas tentang pondok dan rencana kedepannya. Salah satu dari mereka, menyela dan malah menyatakan cintanya pada Aurel dengan niat ingin menikahinya. Pak kyai tersenyum, lalu bertanya kepada putrinya dan Aurel menolaknya mentah-mentah tanpa peduli perasaanya. Ia tidak cinta sama laki-laki itu.

Perkara selaan tadi, ketiga laki-laki itu yang masih mengira Bella anak kandung kyai Hasan, langsung gercep melamar Bella dan satu persatu ditolak sama Bella dengan cara sopan. Hingga yang terakhir, Ammar.

Ammar menatap Bella, suara agak memaksa, "Bella, aku serius. Kamu bisa bahagia bersama istriku. Dia rela dipoligami olehku."

Bella lembut. "Terima kasih, Mas Ammar, tapi aku sudah punya jalan sendiri. Tolong hargai keputusanku."

Ammar masih mencoba, "Pikirkan baik-baik, ini kesempatan langka."

Bella menatap, "Aku sudah pikirkan, mas. Tolong hargai aku, jangan paksakan kehendak mu. Aku tidak mau dimadu, maaf"

Ammar memaksa, "Bella, pikirkan lagi. Aku serius dan istriku setuju. Ini kesempatan langka."

Bella tegas, "Maaf, Mas. Aku sudah punya jalan sendiri. Tolong hargai keputusanku."

Ammar mendesak, "Tapi ini untuk kebaikanmu."

Bella menolak, "Aku tidak bisa. Tolong berhenti memaksa."

Namun, bukannya berhenti, Ammar justru semakin memaksa. Pak kyai yang ingin menengahi tak diberi kesempatan untuk sekedar mengatakan sepatah kata oleh Ammar yang menyakinkan Bella. Suara Ammar menggelegar, menyakinkan Bella dengan tegas.

Umi dan keenam perempuan yang hadir langsung terkejut dan cemas, saling berpandangan sambil menahan ketegangan yang semakin memuncak. Melihat itu, kyai Hasan dan ke empat laki-laki kecuali Ammar berdiri dan menghampiri para perempuan, menenangkan mereka yang ketakutan mendengar suara Ammar. Semua mata terpaku pada Ammar dan Bella. Sedangkan Aurel yang tadinya duduk, kini bersembunyi dan berlindung dibalik punggung umi Aminah, tegang.

Ammar semakin memaksa, suaranya tegas dan dingin, "Bella, aku serius. Tidak ada waktu untuk ragu. Kita nikah hari ini juga." Ucapnya, pria itu memang nekad dan keras kepala.

Bella terkejut, mencoba menjauh, "Mas Ammar, tolong jangan paksa aku seperti ini."

"Tidak ada pilihan lain. Ini keputusan aku, dan kamu akan ikut. Kamu harus menjadi istriku" Ammar melangkah mendekat, tangannya meraih bahu Bella.

"kurang ajar!" Belum sempat tangan Ammar menyentuh, tangannya langsung dihempaskan secara kasar oleh seseorang.

Bella terkejut, yang lain terdiam memandangi tangan itu. Ammar tersentak, wajahnya memerah, matanya menyala dan beralih menatap sosok yang kurang ajar itu.

"jangan coba-coba untuk menyentuh dia. Kalau berani, saya patahkan tanganmu detik ini juga!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!