Ceo Cantik Terjebak Cinta Pria Desa

Rio duduk di sofa ruang kerja Tere, menatap kekasihnya yang kembali larut dalam tumpukan dokumen di meja. Pikirannya sebenarnya berat — notifikasi dari ponselnya terus berbunyi sejak tadi. Akhirnya ia tak bisa menahan diri lagi. Ia menghela napas, lalu melirik layar ponsel. Sebuah pesan dari asistennya: "Pak Rio, klien dari Singapura sudah menunggu di ruang meeting. Mohon segera hadir, ini sangat penting."

Rio mengusap wajahnya, lalu berdiri perlahan.

“Tere... aku harus pergi sekarang. Ada meeting penting banget, klien dari luar negeri.” suaranya terdengar berat, seolah tak rela meninggalkan Tere begitu saja.

Tere mendongak, tersenyum tipis. “Iya, aku ngerti. Kamu pergi sana, urus pekerjaanmu. Aku juga masih banyak laporan yang harus aku periksa.”

Rio memandangi wajah Tere lama. Ada rindu yang mengendap, ada gejolak hati yang ingin dimuntahkan. Tanpa banyak kata, ia maju mendekat, dan sebelum Tere sempat mengelak, Rio mengecup lembut pipinya.

Tere membelalakkan mata, terkejut. Namun, tak ada amarah di sana. Hanya senyum kecil yang tak mampu disembunyikannya.

“Hati-hati, Rio,” ucap Tere pelan.

Rio tersenyum puas, lalu membalikkan badan. “Nanti aku telepon, ya.”

Dan tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar ruang kerja, meninggalkan aroma parfumnya yang maskulin mengambang di udara.

Begitu pintu tertutup, Tere bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah jendela. Pandangan matanya menerobos gemerlap gedung-gedung Jakarta. Hatinya bergemuruh tak menentu.

“Astaga... apa yang aku lakukan barusan? Aku sudah bersuami. Walaupun... walaupun aku nggak mencintai Arga, tetap saja ini salah. Salah besar...”

Perasaan bersalah mulai merayapi relung hatinya. Ingatan akan Arga, sosok sederhana yang penuh keikhlasan itu, kembali mengusik. Betapa polos dan tulusnya Arga, betapa kuat pendiriannya menolak cek yang ditawarkan Tere. Betapa sabarnya dia menghadapi semua hinaan dan kata-kata pedas Tere. Dan kini, di sini, Tere justru mengkhianatinya dalam hati.

Tere menggeleng keras, mencoba menepis lamunan itu. Namun semakin ia berusaha, bayangan Arga semakin kuat menguasai pikirannya.

"Tere!”

Suara ceria menyentaknya dari lamunan. Seorang wanita muda dengan rambut sebahu, berkacamata modis, masuk tanpa mengetuk. Dia adalah vina, sahabat sekaligus asisten pribadinya yang paling setia.

“Ya ampun, ke mana aja sih, loe? Dua hari ini kantor kacau balau. Banyak dokumen yang harus ditandatangan, klien nanya-nanya terus. Loe pergi ke mana, sih? Nggak bisa dihubungin lagi!”

Tere menghela napas, lalu tersenyum hambar.

“Duduk, vin. Aku... aku nggak bisa bohong sama loe. Aku capek banget.”

vina mendekat, duduk di sofa. Ia menatap Tere penuh selidik.

“tere... ada apa? Loe kelihatan beda. Loe sakit? Atau... ada masalah?”

Tere menatap mata sahabatnya itu lama, seolah mencari kekuatan. Lalu akhirnya ia membuka suara.

“Aku... aku nikah, vin.”

vina terbelalak. “Nikah? Maksud loe?!”

Tere menunduk, menatap jemari yang saling meremas gelisah.

“Iya. Aku nikah... tapi... nikah yang nggak aku rencanakan. Semuanya terjadi mendadak. Bukan sama Rio... tapi sama orang lain. Namanya Arga. Anak desa, jauh lebih muda dari Aku... aku bahkan nyaris nggak kenal dia.”

vina terdiam, mencoba mencerna kalimat demi kalimat.

“Ya Tuhan... loe serius? Trus... sekarang gimana? Loe... bahagia?”

Pertanyaan sederhana itu membuat dada Tere terasa sesak.

“Bahagia? Aku bahkan bingung sama diriku sendiri, vin. Aku nggak cinta sama dia. Aku nggak mau pernikahan ini. Tapi... dia itu baik banget. Sopan, tulus. Dan aku... aku malah kayak nggak punya hati. tadi... Rio datang, vin. Dia cium pipi aku... aku nggak marah. Tapi setelah dia pergi, aku ngerasa bersalah setengah mati.”

vina menghela napas panjang, menggenggam tangan Tere.

“tere... apapun yang terjadi, aku di sini buat loe. Tapi loe harus yakin sama hati loe. Jangan cuma ikutin gengsi. harus berani milih, supaya nggak nyakitin siapa pun.”

Tere menatap sahabatnya itu penuh haru. Di luar, matahari pagi makin tinggi, sinarnya menyelinap ke dalam ruangan, seolah ikut mendengar cerita rahasia itu. Hati Tere masih gelisah, tapi setidaknya kini ada satu orang yang tahu, ada satu bahu tempat ia bisa bersandar.