Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Luna akhirnya bisa beristirahat dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan nyaman. Semua kegiatan yang baru dilakukannya masih tampak sangat jelas dalam pandangannya.
Bukan karena lelah memasak, atau berdiri terlalu lama yang membuat kakinya terasa pegal, tapi semua menjadi sangat berat karena perlakuan buruk yang telah diberikan oleh Bu Galuh padanya.
Mungkin memang membutuhkan sedikit waktu untuk bisa lebih dekat dengan Ibu mertuanya itu. Luna harus paham, karena dirinya memang orang baru di rumah ini. Tapi apakah harus sampai sangat kasar seperti itu, hanya untuk berbicara dengannya?
Meski begitu, Luna sama sekali tak menyesal. Semua ini adalah keputusannya sendiri, menjadi istri yang baik, serta berusaha bertahan dan menyatukan diri dengan keluarga yang… sayangnya, sama sekali tidak menganggapnya ada.
Hanya satu hal yang menjadi pertanyaannya sekarang ini…
Apakah semua pengorbanannya ini akan sepadan dan berpengaruh pada kehidupan rumah tangganya dengan David? Entahlah…yang pasti, semua orang tahu jika sebuah pernikahan adalah pertaruhan yang besar.
Sesungguhnya, ia ingin mengeluh. Ingin berteriak dengan keras. Tapi pada siapa?
Kecuali keluarga ini, Luna hanyalah wanita yang hidup sebatang kara. Sang Ayah telah meninggal saat dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sedangkan sang Ibu? Tidak…menyebut namanya saja sudah membuat dada Luna terasa sesak.
Wanita itu pergi meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil tanpa sebuah penjelasan. Membuat Luna tumbuh menjadi wanita yang mandiri dan kuat, tidak ingin mengharapkan kasih sayang dari Ibunya lagi.
“Jangan,” gumamnya dengan lirih, matanya tertutup untuk mengenyahkan segala pikirannya. “Jangan ingat lagi nama itu,” ulang Luna, meyakinkan dirinya sendiri.
Keinginannya selama ini adalah bisa menemukan sosok pria sebaik Ayahnya. Sayangnya, semua itu hanya angan-angan semata. David memang bukan pria tukang selingkuh, bahkan juga bukan pria yang main tangan padanya. Tapi, sikap egois dan ingin menang sendiri itu, membuat rumah tangga yang diimpikan oleh Luna telah hilang seketika.
Lamunan Luna terhenti saat ponsel miliknya bergetar, menandakan satu buah pesan yang baru saja masuk. Tangannya mulai meraih benda pipih tersebut, membuka isi pesan yang sepertinya berasal dari salah seorang sahabatnya.
“Wah cantik sekali, andaikan aku bisa bergabung bersama kalian disana,” ucap Luna dengan suara parau saat melihat isi pesan berupa gambar dari sahabatnya itu.
Sebuah gambar yang menampilkan seluruh rekannya di restoran, tempat kerjanya dulu, tengah tersenyum bersama. Di belakangnya, tampak beberapa macam hiasan untuk menyambut festival bunga tahunan yang akan segera datang.
Sebenarnya Luna merasa ikut senang, meski dirinya tidak bisa bersama lagi dengan mereka. Dengan segera Luna mengetikkan beberapa kata balasan, yang mengatakan agar para rekannya tetap kompak dan bekerja keras.
Karena lelah, tanpa sadar Luna memejamkan matanya sejenak. Tapi langsung kembali tersadar, akibat suara pintu depan terbuka dengan beberapa macam suara celotehan memenuhi seluruh ruangan bawah. David dan anak-anak pasti baru saja pulang ke rumah.
Luna beranjak dari atas ranjang, lalu keluar dari dalam kamar untuk menyambut mereka. Sesampainya di bawah, Luna melihat kedua putrinya tengah tertawa bersama. Anehnya, si sulung Sarah langsung terdiam saat melihat Luna yang berusaha mendekati mereka. Berbeda dengan si bungsu Siena yang justru sangat senang dengan kehadiran Ibu mereka.
“Ibuuu,” teriak Siena dengan merentangkan kedua tangannya.
Tentu saja Luna menyambut hal itu dengan senang, dipeluknya sang putri yang masih tampak menggemaskan baginya itu. Setelah puas memeluk Siena, Luna tampak menatap ke arah Sarah penuh harap, agar si sulung itu juga mau melakukan hal yang sama seperti adiknya.
Tapi fakta berkata lain. Sarah justru membuang muka, seolah berpura-pura tak melihat kehadiran Ibunya. Luna menyadari sikap putri sulungnya itu, tapi sebagai seorang Ibu ia tak boleh memberikan perhatian yang berbeda pada kedua putrinya.
“Kalian pasti belum sarapan. Ayo kita makan, Ibu akan memanaskan makanannya lagi,” ajak Luna bersemangat.
Bukan hanya Sarah, kini Siena juga ikut terdiam. Membuat Luna kembali bingung karena David juga tak mengatakan apapun padanya. Pria itu dengan santainya hanya duduk di atas sofa sambil sesekali membuka beberapa lembar majalah lama.
Anehnya, pria itu tersenyum ke arah majalah tersebut. Entah apa yang dilihatnya saat ini, tapi yang pasti, seharusnya ia bisa lebih banyak tersenyum kepada istrinya sendiri daripada kepada benda mati yang tidak begitu penting.
Hening, dan hanya terdengar kekehan kecil dari David, lama-lama membuat pria itu merasa tak nyaman. Ia tampak menurunkan kakinya, menutup majalah disusul dengan hembusan nafas kasar, sebelum menoleh ke arah Luna dan mengatakan. “Kami sudah sarapan,” jawabnya singkat.
“Kalian sarapan dimana? Apa yang kalian makan?” tanya Luna memastikan.
Dari ekspresinya, David tampak semakin kesal dengan pertanyaan Luna. Matanya terpejam, hendak mengeluarkan kata-kata yang mungkin tidak enak untuk didengar.
“Sejak kapan kamu peduli dengan apa yang kami makan!” Benar saja, David menaikkan nada suaranya hanya untuk menjawab pertanyaan ringan dari Luna. “Bersikaplah seperti biasanya saja. Jangan melewati batas.”
“Kita bisa membahasnya nanti. Kau tak perlu bersikap seperti itu di hadapan anak-anak.” ucap Luna.
Secara tiba-tiba Sarah berlalu pergi menuju ke arah kamarnya. Hentakan kakinya yang keras pada lantai, memperlihatkan jika dirinya tengah merasa kesal.
“Kau lihat sendiri? Kau selalu membuat kami merasa tak nyaman,” tuduh David secara sepihak pada Luna.
Meski merasa kesal, tapi Luna enggan untuk menjawabnya. Ia lebih memilih mengajak Siena masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan David yang kini begitu marah akibat perlakuan Luna yang tidak ada rasa hormat padanya.
Tak lama kemudian, suara mesin motor baru saja berhenti tepat di halaman depan rumah. Tampak sosok sang Ibu juga kakak iparnya, Maria, yang baru saja kembali dari suatu tempat.
“David, kamu sudah pulang?” tanya Bu Galuh saat melihat putranya itu. “Bagaimana pendaftarannya, apakah semuanya lancar?”
“Semuanya lancar, Bu,” jawab David kini penuh senyuman.
“Ibu jamin, Sarah dan Siena pasti akan sangat senang sekolah di sini. Anak-anak di lingkungan ini sangat sopan dan baik pada semua temannya.”
“Aku harap juga begitu, Bu. Lagipula, guru mereka juga sangat baik.”
Bu Galuh tersenyum sangat senang sambil beberapa kali mengusap lengan putranya.
Sedangkan Maria yang membawa beberapa macam kantong bahan makanan, bergegas menuju ke arah ruang makan untuk memastikan sesuatu. Sesampainya disana, ia tak melihat sesuatu yang aneh. Semua masih tampak seperti sedia kala, bahkan tak berubah sedikitpun.
“Aneh. Semuanya baik-baik saja,” ucapnya melangkah mendekat untuk membuka tudung saji diatas meja makan. “Bukankah tadi aku sudah membuka pintunya.”
“Kamu sudah pulang?” suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah belakang.
Membuat Maria terlonjak dan hampir saja menumpahkan mangkok makanan diatas meja. Wanita itu menoleh dan mendapati suaminya, Doni, telah berdiri tepat di belakangnya.
“Kamu mengagetkanku,” ucap Maria. Tangannya memegang dada yang naik dan turun secara cepat. Merasa takut jika Doni telah mendengar apa yang baru saja ia ucapkan.
Pria itu bersikap seperti biasanya, ia mulai mengambil duduk setelah tangannya menyambar satu buah apel dari dalam keranjang. Maria yang merasa khawatir, kini mulai ikut duduk di sebelah suaminya itu, meletakkan perhatian penuh, tak seperti biasanya.
Merasa aneh, Doni menoleh ke arah Maria. Tatapannya mengatakan jika apa yang diinginkan oleh istrinya itu saat ini.
“Mas, apa kamu mendengar ku mengatakan sesuatu?” tanya Maria pada akhirnya.
Doni terdiam sejenak, sikapnya yang tidak terbaca itu sukses membuat tubuh Maria terasa bergetar. Namun, dalam sekejap Doni mulai membuka suara dan mengatakan, “Memangnya kamu mengatakan apa? Aku baru sampai, dan tidak mendengar kamu mengatakan sesuatu.”
Hembusan nafas lega langsung terdengar saat Doni mengucapkan sesuatu yang sangat diharapkan oleh Maria. Wanita itu tersenyum lalu bangkit dari duduknya, merasa jika tak ada lagi yang perlu dikhawatirkannya lagi.
“Aku akan mandi terlebih dulu, dan kita bisa makan sama-sama,” ucap Maria. Sebelum pergi ia menyempatkan untuk mencium pipi suaminya itu.
Setelah melihat kepergian Maria, Doni menatap prihatin pada sosok istrinya. Wanita itu masih saja memendam rasa bencinya pada orang lain tanpa memiliki keinginan untuk menghapusnya dan membangun sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Sekedar informasi, bahwa orang yang menutup kembali pintu belakang tersebut adalah Doni. Ia tanpa sengaja melihat aksi jahat istrinya itu, dan langsung mengambil sikap agar Luna tidak menjadi orang yang bersalah disini.
Bahkan sebenarnya Doni juga mendengar semua yang Maria ucapkan tadi, tapi lebih memilih diam untuk menghindari rasa canggung di antara mereka.
“Luna, kuharap kamu bisa bertahan lebih lama lagi dengan David,” ujar Doni, melanjutkan menikmati buah apel yang berada di tangannya.
BERSAMBUNG