Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 5 - Kedatangan Seseorang
Di hari-hari berikutnya, tepat setelah obrolan bersama ayah dan ibu—yang telah menekankan bahwa keputusan mereka tetap sama, aku merasa semakin hari semangat untuk hidup kian menipis.
Sudah tiga hari aku tak mengunjungi rumah sakit. Pihak rumah sakit sempat menelepon, tapi aku mengabaikan. Lusa kemarin, aku sempat datang, tapi hanya mentok berdiri di depan pintu saja.
“Nerissa, kamu selalu pergi keluar beberapa hari ini ternyata tidak datang ke rumah sakit, kan?”
Aku ketahuan.
Tanganku yang sibuk menyulam langsung berhenti, kepalaku terangkat naik, menatap sosok perempuan yang barusan bicara padaku.
“Kamu tahu, Darius masih perlu pemulihan yang cukup intens, orang tuanya tidak bisa menanganinya. Dia hanya ingin bertemu dengan kamu. Jadi—”
“Bukan ingin bertemu denganku, Bu. Tapi dia ingin bertemu dengan Kak Soraya,” kataku menyela.
“Nerissa!” tegur ibu yang tampaknya mulai tersulut emosi.
Dia menyeret kursi yang kududuki, tubuhku terguncang saat kursi itu dihadapkan padanya—sehingga saat ini kami saling berhadapan. Dia menatapku serius sembari berkacak pinggang.
“Apa perlu diingatkan lagi? Dia hanya kehilangan ingatan, mungkin sementara. Kamu hanya berpura-pura menjadi Soraya dan melanjutkan pernikahan yang sempat tertunda. Dengan begitu—”
“Dengan begitu perjanjian kerja sama di antara kalian akan tetap berjalan kan?” potongku sambil menilik, memendam kesal.
“Apapun itu, terserah. Yang terpenting kamu harus selalu memastikan bahwa Darius tidak berpikir untuk membatalkan pernikahannya. Kalian harus tetap menikah. Anggap saja itu hanya sebatas pernikahan kontrak, dan itu akan berakhir jika ingatan Darius kembali lagi. Sampai waktu itu tiba, tetaplah berpura-pura menjadi Soraya.”
Pernikahan ini bukan sesuatu yang bisa dipilih, dan aku rasa mereka—Soraya dan Darius juga tak bisa memilih pada awalnya. Karena ini lebih dari sekadar janji atau ikatan cinta. Mereka dipaksa menjalani hubungan yang berlandaskan urusan bisnis—masuk ke dalam kontrak yang pada akhirnya mengikat kedua keluarga.
Beruntungnya, dalam perjalanan menuju pernikahan, mereka bisa saling jatuh cinta.
Dan aku memahami betul kenapa ibu dan ayah mendesakku untuk memanfaatkan momen ini—momen di mana Darius kehilangan ingatan dan menganggapku sebagai Soraya. Karena setelah kehilangan putri tercinta mereka, hanya satu-satunya momen itu yang tersisa agar mampu setidaknya membalikkan keadaan.
“Kamu akan hidup enak sebentar lagi, jadi berhentilah membuat hal yang tidak berguna,” tutur ibu sebelum beranjak meninggalkan kamar.
Aku melenguh sebal, menatap beberapa kain hasil sulamanku sambil menghela napas berkali-kali. Padahal dulu ibu selalu memujiku. Tapi sekarang ... entah kenapa aku seperti orang lain di rumah ini, meskipun faktanya memang begitu.
***
Hingga nyaris satu bulan aku tetap keras kepala—enggan pergi menemui Darius, aku hanya tetap berdiam diri di rumah, mengurung diri di kamar, melakukan berbagai macam hal yang katanya tak berguna.
Semua itu terjadi karena tindakan ibu yang sudah mengusir Arjuna dan memintanya untuk jangan datang kembali. Sedang aku hanya bisa berdiri dibalik kaca jendela, mengamati lelaki yang paling kucintai memasang ekspresi kebingungan.
Seharusnya aku berlari padanya ... memberi jawaban ‘Ya’ yang sudah dia nantikan. Tapi kini, setelah hampir satu bulan berlalu, aku hanya bisa menelan fakta bahwa Arjuna sudah pergi keluar kota—meninggalkanku sendirian di sini.
Ibu dan ayah selalu membujukku, tapi aku tak mengindahkan. Sampai ketika...
“Soraya.”
Itu bukan namaku. Tapi aku tahu suara panggilan itu tertuju padaku. Aku mematung di tempat, jarum di tanganku terlepas. Jantungku langsung berdegup kencang menyadari pemilik suara tersebut.
“Sudah lama sekali ... Soraya.”
Sesuatu merayap pada bahu, menyentuhnya dengan lembut. Jari-jemari hangat itu membangkitkan bulu kudukku.
Aku memejamkan mata kuat-kuat. Menaruh benang sulam di atas paha.
Hembusan napasnya dapat kurasakan. Wajahnya mendekat padaku, berhenti tepat di sebelah kuping. Aku ... bisa merasakan meski tak melihatnya.
“Aku selalu menunggumu, tahu?” katanya pelan, nyaris terdengar seperti bisikan.
Jemari tebalnya berpindah—menyentuh leherku, menggerakkan rahang agar aku menoleh padanya.
Meski tak ingin, aku tetap membuka mata. Kini jelaga hitam kami saling bertatapan. Aku tahu, dibalik tatapan itu ada suatu makna tersirat yang tak pernah bisa aku pahami.
“Setiap hari ... aku terkurung dalam ruangan itu. Aku pikir kamu hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Tapi ternyata ... kamu bahkan tak berusaha untuk kembali,” sambungnya dengan tangan yang sudah menyentuh daguku.
Dadaku kembang kempis. Aku kesulitan untuk bernapas dalam posisi seperti ini, rasanya seperti benar-benar terpojok. Aku masih syok, tidak menyangka bahwa Darius—pria yang semula masih terbaring di rumah sakit, kini ada dihadapanku.
Aku mencoba untuk menjawab, mulutku berusaha untuk terbuka. Tapi suaraku tak keluar, tenggorokanku merasa tercekat.
Sementara Darius masih tetap menatapku, bola matanya itu bergerak naik turun untuk mengamatiku. Dia terlihat berbeda—tidak seperti di rumah sakit dulu.
Saat itu dia terlihat rapuh, penuh kebingungan. Tapi kini tatapannya itu lebih dingin dan seakan-akan berusaha mengintimidasi.
“Kamu tidak merasa bersalah?” pertanyaannya lebih dalam, seperti mengandung maksud sesuatu.
Aku mundur secara refleks, Darius justru menyeringai tipis.
Dia memiringkan kepala, sebelah alisnya dinaikkan. “Lihat? Kamu sekarang takut padaku,” nadanya lebih tenang tapi tetap saja tatapan itu selalu membuatku menelan ludah.
“Aku...” Kepalaku kosong, aku tak mampu membuat alasan, “Aku hanya ... sibuk.”
Darius menyunggingkan senyum. “Sibuk? Apa kamu benar-benar ingin aku mempercayai itu?”
Suara itu membuat tubuhku menegang. Aku bahkan tak mampu berkedip.
“Soraya, aku banyak merenung sejak kamu berhenti mengunjungiku. Aku bertanya-tanya, apa aku terlalu menekanmu selama ini?”
Darius menegapkan punggungnya, menarik tangannya dari wajahku—tapi tatapannya tak sedikitpun dialihkan, tetap memandangiku dengan penuh maksud.
Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. “Tapi akhirnya aku sadar. Ini bukan soal aku, tapi soal kamu yang berusaha menjauh dariku.”
Aku spontan geleng-geleng kepala, tak mau membuatnya salah paham. “Aku tidak berusaha menghindar ataupun menjauhi kamu, Mas.”
“Oh, ya?”
Darius menyipitkan matanya. “Aku tidak mengerti, Soraya. Aku tahu bahwa kita terlibat kecelakaan dan membuat keadaan jadi seperti ini. Meski aku tidak ingat banyak. Tapi...”
“... aku yakin bahwa kecelakaan itu bukan kebetulan.”
Dia tersenyum yang membuat jantungku mencelos. Aku membatin, apa maksudnya itu?
Sebelah tangannya ia tarik keluar dari saku celana. “Sepertinya ... ada seseorang yang tak ingin aku hidup,” imbuhnya sambil mengamati kuku-kuku tangannya dengan tampang tak peduli.
Padahal setiap kata yang keluar barusan laksana pisau yang terasa menguliti setiap bagian tubuhku.
Lalu Darius kembali mengangkat wajahnya lagi, menatapku lurus-lurus. Dia terus memandangiku selama seperkian detik, sebelum akhirnya tubuhnya membungkuk lagi—mendekatiku sambil mendaratkan kedua tangan pada leherku.
“Dan kamu ... tahu siapa seseorang itu, Soraya,” bisiknya tepat di depan celah bibirku yang terbuka.
Mulutku mangap-mangap, mataku berkedip cepat—melotot sambil memukul-mukul kedua tangannya yang berada di leherku. Dia mencengkramnya, berusaha ingin mencekikku.
“Kamu masih menyembunyikan sesuatu dariku, kan?” tanyanya lagi sambil menyeringai puas saat menyaksikan bahwa aku sudah hampir kehabisan napas.
Aku tidak ingin mati dengan cara seperti ini.
***