Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan Rahasia
Sejak malam itu, hari-hari Nayla tak pernah lagi sama.Ia bangun di sepertiga malam dengan hati yang lebih lapang. Meski air mata masih jadi sahabat setia, tapi kini ia menangis bukan karena luka semata, melainkan karena rindu pada Allah yang selama ini ia abaikan.
Ustazah di pondok mulai mempercayakan beberapa tugas kecil padanya. Menjadi pengajar iqra bagi anak-anak kecil di sekitar pesantren, membantu menata acara kajian rutin, bahkan terkadang diminta menyampaikan sepatah dua patah kata setelah pengajian khusus muslimah.
Nayla yang dulu hidup dalam hingar bingar dunia malam, kini menemukan kedamaian dalam setiap lafaz dzikir dan lembaran Al-Qur’an. Ia bukan lagi perempuan yang menatap masa lalu dengan benci, tapi dengan penuh penyesalan dan rasa syukur karena Allah memberinya kesempatan untuk bertobat.
Dan di tempat lain…
Azam duduk termenung di ruang kerjanya.
Jurnal dan makalah yang biasa memenuhi mejanya kini tak satu pun disentuh. Matanya menatap kosong pada satu kotak kecil berisi buku-buku lama, dan di antara tumpukan itu, ada mushaf kecil milik Nayla yang tertinggal. Di dalamnya, ada coretan kecil di halaman depan:
"Jika aku jauh, aku sedang mencoba dekat dengan-Nya. Jangan cari aku... sebelum kau pun siap mendekat kepada-Nya."
— Nayla
Azam mengepal jemarinya.
"Kenapa kamu tidak pernah bilang semuanya dari awal, Nayla?" bisiknya pelan, penuh sesal.
Ia mulai menyesal—bukan karena masa lalu Nayla, tapi karena ia pernah merasa lebih suci dari perempuan yang kini berjuang keras kembali pada Tuhan-Nya.
Beberapa kali Azam mencoba menghapus bayangan Nayla dari pikirannya. Tapi selalu gagal.
Doa-doanya kini dipenuhi satu nama: Nayla Azahra.
Ia menghindar bukan karena benci, tapi karena takut mencintai dalam keangkuhan. Ia takut mengulang kesalahan: mencintai tanpa memaafkan.
Suatu malam, Azam kembali datang ke masjid tempat ayahnya mengajar. Duduk di samping sang Abi, yang kini mulai tahu bahwa anaknya sedang gundah.
"Abi..." suara Azam lirih.
"Apa salah kalau aku mencintai seseorang yang masa lalunya gelap? Seseorang yang pernah salah… sangat salah?"
Abi tersenyum tipis, menepuk bahu Azam.
"Nak… jika Allah saja Maha Pengampun, lalu siapa kita hingga tega terus-menerus menghukum dengan masa lalu?"
Azam menunduk. Air matanya jatuh perlahan.
"Saat kamu mencintai seseorang karena Allah," lanjut sang Abi, "maka cintamu akan membawamu pada doa, bukan hukuman. Pada penerimaan, bukan penghakiman."
Dan malam itu… untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Azam bersujud dalam sunyi. Ia mengucap nama Nayla di tengah doa panjangnya.
Bukan lagi sebagai perempuan dengan masa lalu hitam, tapi sebagai perempuan yang dengan segala luka dan penyesalannya, justru membawanya lebih dekat pada Allah.
Di kampus.
Kabar bahwa Pak Azam adalah pria beristri mulai menjadi buah bibir di kalangan mahasiswi Fakultas Ushuluddin. Entah siapa yang memulai, tapi desas-desus itu menyebar cepat. Mereka penasaran. Wajah tampan, gaya bicara tenang, ilmu mumpuni, dan sikapnya yang karismatik—semua itu membuat Azam bak tokoh utama dalam novel romansa kampus.
Tapi tak satu pun tahu siapa wanita yang beruntung mendampingi pria sehebat itu.
“Aku yakin istrinya pasti cantik banget. Kayak model.”
“Enggak. Aku pernah denger katanya istrinya orang pesantren.”
“Jangan-jangan malah janda?”
“Ah, mana mungkin. Pak Azam itu terlalu perfect buat dapat istri bekas siapa-siapa.”
Dan di tengah kerumunan mahasiswa yang membicarakan tentang sang dosen, Nayla hanya bisa menunduk. Tersenyum getir. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu bahwa "istri misterius" itu adalah dirinya.
Di sisi lain, ada seorang dosen muda bernama Dr. Rayhan, rekan sejawat Azam yang cukup dekat dengannya. Rayhan memang cerdas dan mudah bergaul, dan belakangan ini ia mulai menunjukkan ketertarikan pada Nayla. Ia sering memberi buku referensi tambahan, mengundang diskusi di luar kelas, dan sesekali menyelipkan pujian halus.
Azam memperhatikan perubahan itu. Awalnya ia hanya diam. Tapi lama-lama, hatinya mulai bergejolak. Ada rasa yang sulit ditahan saat melihat pria lain begitu leluasa mengagumi wanita yang masih sah sebagai istrinya.
Namun, Rayhan tak tahu.
Tak tahu bahwa wanita yang ia dekati adalah istri sah dari sahabat sejawatnya sendiri.
Dan Nayla pun tak bisa mengungkapkan. Karena tak ada yang tahu status pernikahan mereka masih berlaku. Azam tak pernah menjatuhkan talak. Bahkan Nayla sendiri sempat bingung—apa statusnya saat ini di hadapan hukum dan Allah? Namun yang ia yakini, dia belum halal bagi siapa pun, selain Azam.
Suatu hari, saat keduanya hadir dalam diskusi terbuka, Rayhan secara terbuka menyampaikan kekagumannya terhadap Nayla di hadapan forum.
“Saya yakin, dengan kecerdasan dan akhlak yang dimiliki Mbak Nayla, dia akan jadi panutan luar biasa. Kalau saja ada lelaki yang mendapatkannya sebagai istri… dia sangat beruntung.”
Semua mata menoleh, termasuk Azam. Dan Nayla menunduk dalam-dalam, wajahnya memucat.
Azam menggenggam jemarinya di bawah meja. Tak berkata apa-apa. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan cemburu yang diam-diam menggerogoti.
Dan di malam itu, Azam sujud lebih lama dari biasanya.
“Ya Allah, jika dia adalah amanah yang Kau titipkan untuk kujaga… maka kuatkan aku, agar tak kalah oleh waktu, tak menyerah pada keadaan.”
Dua minggu berlalu.
Hari itu sore menjelang senja. Kampus mulai sepi, namun di ruang dosen Fakultas Ushuluddin, dua pria masih terlibat dalam diskusi yang awalnya akademis—hingga perlahan mulai mengarah ke hal yang lebih pribadi.
Azam menutup laptopnya perlahan. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya ia angkat bicara dengan nada tenang tapi tegas.
“Rayhan, boleh kutanya sesuatu yang agak pribadi?”
Rayhan menoleh sambil tersenyum, “Tentu. Ada apa, Zam?”
Azam menatapnya lurus-lurus. “Kamu serius sama Nayla?”
Senyum Rayhan seketika memudar. “Kamu tahu?”
Azam mengangguk pelan. “Tentu saja. Aku lihat cara pandangmu setiap kali bicara tentang dia, dan… Nayla itu mahasiswi yang tak biasa.”
Rayhan menarik napas, lalu berkata, “Iya. Aku memang tertarik. Dia beda, Azam. Pintar, tenang, tapi matanya menyimpan luka. Aku pengin jadi bagian dari penyembuhannya.”
Azam memejamkan mata sejenak. Hatinya terasa mencengkeram. Ia tahu ini waktunya.
“Aku hargai kejujuranmu. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu.”
“Apa itu?” Rayhan menatap penasaran.
Azam berdiri. Menatap jendela yang mulai menggelap. Lalu berbalik dengan suara yang nyaris terdengar seperti ledakan emosional yang ditahan sekian lama.
“Nayla adalah istriku, Rayhan. Masih sah. Aku belum pernah menjatuhkan talak padanya.”
Sejenak ruangan itu membeku. Rayhan menatap Azam dengan mata terbelalak. “Apa… kamu serius?”
Azam mengangguk perlahan. “Kami memang berpisah sementara. Aku beri ruang untuk dia memperbaiki diri. Tapi secara hukum dan agama… dia masih milikku.”
Rayhan melangkah mundur satu langkah. Antara terkejut dan malu. “Kenapa kau tak bilang sejak awal?”
Azam mendesah. “Karena aku pun sedang diuji. Aku ingin tahu, apakah aku benar-benar mencintai Nayla karena Allah… atau karena egoku sebagai suami.”
Rayhan menunduk dalam. “Aku tak tahu, Zam. Aku minta maaf…”
Azam menepuk pundaknya, menunjukkan kedewasaan yang tulus. “Bukan salahmu. Nayla pun tak mengumbar statusnya. Dia sedang berjuang. Tapi mulai hari ini, aku minta satu hal: jangan lagi kau ganggu jalannya. Biarlah aku yang menjemputnya kembali… dengan cara yang diridhai Allah.”
Rayhan mengangguk pelan, dengan hati yang berat namun penuh hormat. “Baik, Zam. Aku doakan semoga Allah mempertemukan kalian dalam takdir terbaik.”
Dan hari itu, dua pria mengakhiri percakapan mereka dengan ketegangan yang perlahan menguap. Tapi di hati Azam, bara cinta itu menyala lebih terang—karena kali ini, dia tak hanya ingin memiliki Nayla kembali… tapi ingin menebus luka-lukanya.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan