Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 5 Malaikat Penolong Nenek
Sabtu pagi yang cerah, Sakha menghabiskan waktunya di rumah, kesendirian menyelimuti ruang keluarga yang luas. Tidak ada aktivitas khusus yang ia lakukan, hanya sesekali melirik ponselnya, menunggu panggilan dari sang ibu yang kini berada ribuan mil jauhnya di Kanada.
Sakha, sang anak tunggal, hidup dalam bayang-bayang kehilangan. Ibunya, seorang manajer sukses di perusahaan asuransi internasional, harus bekerja di Kanada. Ayahnya, sosok yang sangat dicintainya, telah pergi saat Sakha masih berusia tujuh tahun, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
Sang ibu pernah memintanya untuk pindah dan tinggal bersamanya di Kanada, namun Sakha menolak. Jakarta adalah rumahnya, tempat kenangan indah bersama sang ayah tersimpan rapi. Ia tidak sanggup meninggalkan jejak-jejak masa kecilnya.
Keluarga Sakha terbilang berada. Kakeknya adalah seorang pengusaha hotel sukses. Setelah kepergian ayahnya, kondisi ekonomi mereka tetap stabil berkat warisan yang ditinggalkan. Namun, sang ibu memilih untuk mandiri, membangun karirnya di Kanada, dan tetap mengirimkan uang setiap bulan untuk kebutuhan Sakha.
Setiap hari, sang ibu selalu menelepon, memastikan Sakha baik-baik saja, tidak kekurangan kasih sayang atau perhatian. Neneknya pun tak pernah absen memberikan cinta dan dukungan, memastikan Sakha tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan mandiri.
Namun, di balik sikap tegar dan mandirinya, Sakha menyimpan luka mendalam, sebuah trauma yang menghantuinya sejak kecil. Trauma itu berasal dari kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ayahnya.
Sakha menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya ditabrak oleh mobil yang melaju kencang di jalan besar dekat rumah mereka. Bayangan mengerikan itu terus menghantuinya, dan ketika trauma itu kambuh, Sakha akan mengalami reaksi fisik yang mengerikan: keringat dingin, jantung berdebar kencang, napas terengah-engah, sakit kepala hebat, bahkan pingsan.
Trauma itu membuatnya menarik diri dari kehidupan sosial, menjadi pribadi yang tertutup dan waspada. Ia selalu merasa terancam, sulit berkonsentrasi, dan hidup dalam ketakutan.
Kematian ayahnya diselimuti rumor bunuh diri, sebuah topik yang sangat sensitif bagi Sakha. Jika ada yang berani mengungkitnya, emosinya akan meledak, amarahnya tak terkendali. Hal ini pernah terjadi di sekolah lamanya, membuatnya dijauhi teman-teman sebayanya.
Neneknya membawa Sakha ke psikolog, menjalani terapi dan pengobatan. Kini, kondisinya jauh lebih baik. Selama tidak ada pemicu yang membangkitkan traumanya, Sakha bisa menjalani hidupnya dengan normal.
...------...
"Sakha, ke sini coba!" seru Nenek Yasmin, suaranya memecah keheningan rumah. Sakha, yang sedang bersantai di kamarnya, segera beranjak.
"Kenapa, Nek?" teriak Sakha dari kamarnya, penasaran.
"Sini! Ada yang mau Nenek kasih lihat!"
Sakha melangkah cepat menuju kamar Nenek Yasmin, mendapati neneknya sedang sibuk membereskan barang-barang lama.
"Kenapa, Nek?" tanya Sakha, memasuki kamar yang penuh kenangan itu.
"Sakha, coba kemari, lihat payung ini," ujar Nenek Yasmin, menunjukkan sebuah payung kuning yang tergeletak di dalam kardus.
Sakha mendekat, berjongkok di samping neneknya. "Memang kenapa sama payungnya, Nek? Mau dibuang?" tanyanya, bingung.
"Masa dibuang? Sembarangan! Ini, Sakha, lihat!" Nenek Yasmin membuka setengah payung itu, menunjukkan sulaman nama yang tertera di sana. "Lihat namanya. ALANA PUTRI. Ini namanya Lana, bukan?"
Sakha mengamati sulaman nama itu, lalu mengangguk perlahan.
"Iya, ini nama lengkapnya Lana, Nek," ujarnya yakin. "Ini payung Lana?" Sakha menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya Tuhan, berarti benar dia yang sudah menolong Nenek waktu itu," gumam Nenek Yasmin, matanya berkaca-kaca.
"Maksud Nenek?" tanya Sakha, dahinya berkerut.
"Kamu ingat waktu tas Nenek dicuri di pasar? Kejadiannya beberapa tahun lalu, Nenek kehilangan HP, uang, dan semuanya. Lalu, Lana-lah yang membantu Nenek. Dia memberikan payungnya pada Nenek karena saat itu sedang hujan deras. Dia juga mencarikan taksi sekaligus membayarnya untuk Nenek," cerita Nenek Yasmin, suaranya bergetar.
"Nenek yakin itu Lana?" tanya Sakha, masih ragu.
Nenek Yasmin mengangguk mantap. "Iya, makanya sejak bertemu Lana kemarin, Nenek merasa familiar dengannya. Ternyata, dia yang sudah menolong Nenek," ujarnya, matanya berkilauan.
Nenek Yasmin menatap Sakha dengan haru.
"Dia membantu Nenek lapor polisi juga waktu itu. Kalau tidak ada dia, rasanya Nenek sudah panik luar biasa. Dan yang harus kamu tahu juga, dia sempat-sempatnya membelikan Nenek makanan karena saat itu Nenek lapar sekali. Dia membelikan Nenek roti dan aneka jajanan pasar. Nenek tidak habis pikir, waktu itu sepertinya dia masih SMP, tapi anak itu sudah sangat peka dan baik hati," tutur Nenek Yasmin, suaranya penuh kekaguman.
Sakha terdiam, terpaku mendengar cerita neneknya tentang Lana.
"Nanti kamu ajak Lana main ke sini lagi, ya, tapi bukan untuk mengajari kamu. Nenek ingin membalas kebaikannya," pinta Nenek Yasmin, matanya berbinar.
Sakha hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh.
"Kamu selalu begitu kalau disuruh," gerutu Nenek Yasmin, memicingkan mata.
"Bagaimana nanti saja, Nek," jawab Sakha, malas.
"Eh, menurut kamu dia anak yang seperti apa? Kok kamu bisa dekat sama dia?" tanya Nenek Yasmin, rasa penasarannya memuncak.
"Siapa yang dekat?" wajah Sakha bersemu merah.
Nenek Yasmin terkekeh melihat tingkah cucunya. "Dia anak yang seperti apa di kelas? Coba cerita sama Nenek," pintanya, tak sabar.
"Ah, Nenek kepo banget!" keluh Sakha, pura-pura kesal.
"Sakha!" tegur Nenek Yasmin.
Sakha mendecakkan lidah, malas.
"Ya, biasa saja. Dia... pintar... itu saja," jawabnya singkat.
Nenek Yasmin mengusap pelipisnya, lelah.
"Lah, itu mah Nenek juga sudah tahu. Makanya dia bisa disuruh untuk mengajari kamu, ya karena dia pintar. Maksud Nenek bagaimana kepribadiannya? Apakah dia ramah di sekolah? Bagaimana kalian berkenalan?" tanyanya, menuntut jawaban.
Nenek Yasmin menatap Sakha dengan penuh harap, tidak akan membiarkan cucunya pergi sampai mendapatkan informasi yang diinginkannya.
"Waktu itu Lana yang menemani Sakha berkeliling sekolah. Dia... mmm..." Sakha tampak berpikir. "Dia cukup dikenal di sekolah, sepertinya imagenya juga baik. Semua anak di kelas menyukainya. Oh iya, dia sangat suka belajar dan sangat aktif jika guru sedang mengajar. Dia tidak segan bertanya jika ada hal yang tak ia mengerti. Beberapa teman sekelas juga sering bertanya padanya jika ada hal yang tidak dimengerti. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya Nenek Yasmin, semakin penasaran.
"Terkadang Lana berusaha tidak terlihat menonjol atau mungkin dia tidak ingin terlalu mendominasi. Jika Pak Guru mengajukan pertanyaan, dia akan memperhatikan sekelilingnya dahulu sebelum memberi kesempatan dirinya untuk menjawab. Jika dirasa anak lain tidak akan menjawab, gadis itu baru mengangkat tangannya. Mungkin juga dia tidak suka berkompetisi," jelas Sakha, menggaruk kepalanya.
Nenek Yasmin diam-diam memperhatikan cucunya, tersenyum lebar.
Sadar akan tatapan aneh neneknya, Sakha bertanya, "Kenapa lihat aku kayak gitu, Nek?"
"Kamu suka, ya, sama dia?" tanya Nenek Yasmin, matanya berbinar.
"Hah?" Sakha terkejut, matanya membulat.
"Ngaku saja sama Nenek," goda Nenek Yasmin.
"Enggak, Nek. Lagipula, Sakha baru kenal satu bulan sama dia," elak Sakha, wajahnya memerah.
"Iya, sih. Kalau dipikir-pikir, Lana tidak terlalu cantik," pancing Nenek Yasmin.
"Kok Nenek bisa bilang kayak gitu?" protes Sakha, alisnya berkerut. "Dia cantik, Nek! Kulitnya putih, hidung, mata, wajah, tangan, semuanya cantik," ujarnya, membela Lana.
"Nah, kan, benar apa kata Nenek," ujar Nenek Yasmin, menjentikkan jarinya.
"Apa?" tanya Sakha, bingung.
"Kamu naksir sama Lana," simpul Nenek Yasmin, terkekeh melihat wajah bingung cucunya.
Ia pun beranjak, meninggalkan Sakha yang masih terpaku, tidak mengerti dengan kesimpulan neneknya.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri