menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Pagi ini, Aldebaran bersiap untuk pergi ke kantor. Ia tampak sedang bercukurdi dalam kamar mandinya yang mewah dengan fornitur berkelas. Selembar handuk yang melilit di pinggang dan rambut yang masih sedikit basah menandakan ia baru saja selesai mandi, sambil sesekali memeriksa kembali penampilannya.
Setelah bercukur Aldebaran keluar dari kamar mandi. Aroma segar dari sabun masih menempel di kulitnya, namun di dalam kamar, perhatian Aldebaran teralihkan pada pakaian kantornya sudah terlihat rapi di atas tempat tidur lengkap dengan sepatu yang sudah di semir.
Senyum kecil terukir di bibirnya, tapi di balik senyum itu, ada kehangatan yang mulai menguar dari dalam dadanya. Ia mendekat, menyentuh dasi yang sudah di lipat rapi, lalu melirik sepatunya. Sentuhan kecil ini begitu sederhana, namun penuh perhatian.
"Astaga, dia benar-benar mempersiapkan segalanya dengan baik," pikir Aldebaran, suaranya nyaris bergetar di kepalanya. Ada sesuatu di balik kesederhanaan ini yang membuat hatinya berdenyut.
"Lilia..." bisiknya lirih. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menghalau perasaan yang pelan-pelan merayap di dalam hatinya. "Kau lebih mirip seorang istri dari pada menjadi putriku, Lilia."
Pernyataan itu keluar dengan nada pelan, hampir seperti pengakuan yang ia takutkan. Dadanya terasa sesak, bukan karena dosa, melainkan karena perasaan yang selama ini ia simpan terlalu dalam. Perasaan yang tak seharusnya ada, tapi tetap tumbuh, liar dan tak terkendali.
Aldebaran menatap cermin di sudut ruangan, memandang bayangan dirinya sendiri. Di balik pancaran dingin seorang pria dewasa berusia tiga puluh dua tahun, ada kekacauan yang tak seorangpun tahu. Ia tahu betul perasaanya, tetapi setiap kali meliat perhatian kecil Lilia—setiap kali ia menangkap tatapan gadis itu—logikanya runtuh satu persatu.
"Aku tidak mungkin menyimpan perasaan seperti ini pada Lilia..." gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, meskipun di dalam hatinya, Aldebaran tidak benar-benar ingin melawan perasaannya.
Sementara itu di dapur, Lilia sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Aldebaran, ia sudah mengenakan seragam sekolahnya yang khas—seragam seifuku lengan panjang dan rok lipit berwana biru dongker yang sedikit di atas lutut.
Lilia berdiri di atas tingklik yang setia menemani setiap aktivitasnya di dapur, Lilia selalu membutuhkan tingklik untuk membantunya meraih barang yang tinggi, mengikat desain ruangan dan tata letak barang di dalam apartemen ini menyesuaikan dengan tinggi badan Aldebaran yang menjulang 205 cm.
Sementara Lilia yang hanya memiliki tinggi badan 140 cm jelas akan kesulitan untuk mengambil dan melakukan aktivitas di dalam apartemen Aldebaran, di mana segala sesuatu di sana terasa sangat tinggi dan besar baginya gadis itu.
Sama seperti pagi ini, Lilia berdiri di atas tingklik dan ia masih harus berjinjit untuk meraih lemari penyimpan rempah di atas meja dapur. Karena tidak sampai Lilia memutuskan untuk naik ke atas meja dapur dengan cara kedua tangannya bertumpu di atas meja dengan gerakan sedikit melompat Lilia menaikan salah satu kakinya keatas meja meraih lemari penyimpan untuk berpegangan, sebelum ia menarik tubuh mungilnya ke atas meja dapur, gerakannya bak pemanjat tebing profesional saat Lilia berhasil mengambil bumbu rempah dari dalam lemari penyimpan.
Tanpa gadis itu sadari, Aldebaran yang baru saja turun dari lantai dua melihat Lilia naik ke atas meja dapur, matanya menyipit tajam. "LILIA!" Aldebaran berteriak keras, langkahnya besar dan cepat menghampiri Lilia yang masih berada di atas meja dapur.
"Lilia, apa yang aku lakukan?" menarik Lilia dari meja dapur dengan kasar namun tetap hati-hati agar tak melukai gadis itu, "kau mau mati, HAH?!" suaranya terdengar sedikit bergetar karena menahan amarah namun juga khawatir dan kelembutan di balik tindakannya.
Aldebaran menurunkan Lilia dari pelukannya sambil masih memegang erat lengan Lilia, "Jangan lakukan itu lagi Papa tidak suka, nanti kau terluka bagaimana?"
"Papa, Lilia hanya mau mengambil bumbu dapur." Kata Lilia.
Mata Aldebaran berkedut, "bumbu dapur?" lalu ia menatap tajam ke arah lemari penyimpanan.
"Lain kali kau bisa meminta bantuan Papa mengambilkannya, kenapa harus memanjat seperti itu." kata Aldebaran mencari bumbu dapur di atas rak penyimpanan, ia masih menggenggam lemang Lilia dengan tangannya yang lain, menjaga gadis itu tetap berada di antara meja dan tubuh Aldebaran yang menjulang.
Saat itu Lilia bisa mencium aroma parfum mahal Aldebaran yang maskulin, ketika hidungnya nyaris bersentuhan dengan dada Aldebaran yang masih mencari-cari bumbu dapur di dalam lemari penyimpan di atas kepala Lilia. Tangan besar pria itu menggenggam sempurna lengan mungil Lilia.
"Wangi Papa..." Bisik Lilia pelan, tanpa ia sadari wajahnya memerah, tanpa Lilia sadari ia menikmati momen itu.
Sementara itu, sepertinya Aldebaran tak menyadari apa yang Lilia lakukan, ia masih sibuk mencari bumbu dapur yang Lilia minta. "Yang mana lada? mereka semua terlihat sama." Kata Aldebaran, sedikit mengeluh namun masih mencari.
"Sepertinya aku harus merenovasi rumah." Gumam Aldebaran lagi, ia masih berdiri di depan Lilia mengacak-acak isi lemari penyimpan.
Lalu karena tidak tahu dengan bumbu dapur yang namanya 'lada', Aldebaran mengeluarkan beberapa toples kaca kecil yang berisi bumbu dapur.
"Nah! Pilihlah! Papa tidak tahu yang mana lada, mereka terlihat sama di mata Papa." kata Aldebaran, "Eh?!" dia sedikit terkejut saat menyadari Lilia sangat dekat dengannya dan tangannya masih menggenggam lengan Lilia.
Aldebaran yang menyadari sentuhannya buru-buru melepaskan cengkeramannya dari lenga Lilia.
"Terimakasih, Papa." Kata Lilia.
Aldebaran memalingkan wajahnya, ia tersenyum tipis, namun cepat sirna, ia masih terlihat tegang. "Hmm." Ia menatap Lilia penuh arti.
"Jangan buat Papa khawatir lagi, ya?" kata Aldebaran lembut, sambil mengacak lembut rambut Lilia.
"Papa..." Aldebaran terdiam, membiarkan kalimatnya menggantung di udara, sesaat Aldebaran masih memandangi Lilia.
"aku tidak bisa memendam perasaanku lebih lama lagi... Tapi bagaimana? Bagaimana caranya aku mengatakannya?" batin Aldebaran, ia merasa gelisah dan ragu untuk mengatakan perasaanya.
"Papa..." katanya lagi, lalu memalingkan wajahnya dari Lilia. "Sudahlah, sebaiknya kita sarapan, kau juga harus berangkat ke sekolah, kan?" kata Aldebaran mencoba mengalihkan pembicaraan.
Lilia menyadari kegelisahan Aldebaran dan kata-kata Aldebaran yang menggantung membuat Lilia penasaran.
"Papa? Papa kenapa?" tanya Lilia penasaran, sambil memiringkan kepalanya dengan polosnya ia seolah ingin mencari tahu apa yang ingin Aldebaran katakan.
Aldebaran terlihat gugup, ia mengepalkan tangannya dan melepaskannya berulangkali, "tidak ada apa-apa, Lilia." Ia menghela nafas panjang mencoba meredakan kegugupannya.
"Ayo, makan! Papa akan mengantarmu ke sekolah." Lanjutnya berusaha bersikap tenang.
Aldebaran menarik tangan Lilia dan membawanya ke meja makan, berusaha menyembunyikan kekhawatiran dan kegugupannya. "Jangan banyak bertanya, makan saja, hari ini Papa sibuk sekali." ucapnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Papa yakin? Papa baik-baik saja?" Tanya Lilia berusaha menyakinkan.
Aldebaran menghentikan langkahnya, menatap Lilia dengan tatapan tajam namun penuh keraguan, ia mengigit bibir bawahnya, terlihat jelas keraguan dan kekhawatiran di matanya, "Papa... Baik-baik saja." Ucap Aldebaran, suaranya rendah dan sedikit bergetar.
"Papa hanya sedang banyak pekerjaan, jangan khawatirkan Papa."
Ucap Aldebaran berusaha meyakinkan Lilia. Namun ia tahu kata-katanya kurang meyakinkan gadis itu.
Aldebaran berusaha agar tetap bersikap seperti biasa, meski hatinya masih berdebar-debar, ia khawatir dan gelisah, bagaimana mungkin ia bisa menyimpan perasaan seperti ini terhadap putri angkatnya sendiri, perasaan yang tak seharusnya pernah ia rasakan sekarang malah tumbuh semakin kuat di dalam hatinya.
Dari sebrang meja Aldebaran, memandangi Lilia makan, tatapannya sendu.
"Mungkin... Dengan menjadi ayahmu aku masih bisa dekat denganmu, Lilia."
Aldebaran tersenyum tipis, namun bukan senyum kebahagiaan melainkan sebuah senyum pahit yang penuh dengan dilema dan sarat akan pengakuan yang tak pernah keluar dari mulutnya.
Bersambung.....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️