Aluna terpaksa harus menikahi seorang Pria dengan orientasi seksual menyimpang untuk menyelamatkan perusahaan sang Ayah. Dia di tuntut harus segera memiliki keturunan agar perjanjian itu segera selesai.
Namun berhubungan dengan orang seperti itu bukanlah hal yang mudah. Apa lagi dia harus tinggal dengan kekasih suaminya dan menjadi plakor yang sah di mata hukum dan Agama.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka? Baca terus ya, semoga suka! Dan maaf jika cerita ini agak kurang mengenakkan bagi sebagian orang🙏
Warning!
"Ini hanya cerita karangan semata. Tidak ada niat menyinggung pihak atau komunitas mana pun"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 – Suara malam
“Luna, kau harus mencuci piring bekas makanmu sendiri,” tunjuk Dean pada piring bekas Luna di atas Whastaple yang sengaja ia taruh disana.
“Kenapa? Kau mencuci piring bekas Jeffrey, kenapa tidak sekalian punyaku juga.” Protes Luna.
“Itu berbeda. Sekarang aku tidak mau tahu, cuci piringmu sendiri sampai bersih. Di rumah ini kau harus mandiri urus dirimu sendiri, karena disini tidak ada pelayan yang akan melayanimu 24 jam,” kesal Dean. Dia melempar celemek yang baru saja di lepasnya ke atas lemari es.
“Iya iya aku tahu, dasar bawel,” keluh Luna, namun Dean tak menanggapinya dia langsung pergi begitu saja.
Luna memang sudah tak terlalu asing dengan kehidupan seperti ini setelah dia jatuh miskin, sedikit-sedikit dia mulai terbiasa, atau mungkin bisa disebut membiasakan diri.
Selepas dia menyelesaikan pekerjaannya Luna kembali ke lantai atas. Dia mendapati ponselnya teronggok tak berdaya di lantai sudah dalam kondisi mati, sepertinya baterainya habis, beruntung layarnya tidak pecah mengingat betapa kerasnya benda elektronik itu jatuh tadi.
“Haish, untung saja tidak papa. Si Brengsek Dean itu benar-benar menyebalkan,” rutuk Luna, sambil mencolokkan kabel charger ke ponselnya. Tak butuh waktu lama, ponselnya pun kembali menyala.
”Mytha?”
Luna mendapati belasan panggilan tak terjawab dari sahabatnya Mytha, sepertinya Mytha berusaha menghubunginya sebelum ponselnya benar-benar mati tadi.
Luna memutuskan untuk balas menghubungi Mytha. Beberapa saat kemudian telpon pun tersambung, yang langsung di sambut oleh suara gerutuan Mytha dari sebrang sana.
“Luna, kemana saja kau? Kenapa kau tidak mengangkat telpon dariku?!” kesal Mytha.
“Maaf aku ada urusan tadi dan aku lupa membawa ponselku,” dalih Luna.
“Haish, kau membuatku panik. Hampir saja aku pergi ke rumahmu, aku takut kau melakukan hal bodoh,” terdengar helaan napas dari sebrang sana.
“Heh, kau pikir aku akan bunuh diri? Aku tidak sebodoh itu untuk melakukannya meski seberapa susahnya pun hidup yang ku jalani, perjuangan Ayahku membesarkanku akan sia-sia kalau begitu,” ujar Luna.
“Baiklah-baiklah, aku hanya takut saja. Aku baru saja pulang dari luar kota, ayo kita bertemu lain kali.”
“Hem, kita lihat nanti.”
“Bagaimana kondisi perusahaanmu?” tanyanya lagi.
“Sepertinya sudah lebih baik,” tanggap Luna.
“Syukurlah kalau begitu. Aku ingin tidur sebentar, betapa lelahnya aku bos sialanku itu tak sedikit pun memberiku waktu istirahat aku harus terus bekerja tiap waktu, huah ... Bahkan sekarang aku belum tidur,” keluhnya.
“Ya sudah tidur sana.”
“Oke, bye.”
“Bye.”
Sambungan telpon pun terputus.
Mytha adalah satu-satunya teman yang Luna punya selama ini, hanya dia yang tulus berteman dengannya tanpa menginginkan apa pun. Bertepatan dengan berakhirnya panggilan telpon dari Mytha, Luna mendapat pesan dari Tuan Adiyasa.
‘Luna, bagaimana kabarmu?’
‘Aku cukup baik,’ balas Luna pendek. Setelah itu dia tak membalas lagi sama sekali.
Malam pun tiba. Luna turun untuk mengambil air minum ke lantai bawah karena tenggorokannya terasa kering.
Argghh ... Luna dikejutkan oleh suara teriakan Jeff, dari dalam kamar.
“Dean, pelan-pelan sedikit, aww!”
“Aku sudah mengurangi tenagaku, tahanlah sedikit,” balas Dean.
“Tapi ini sakit,” keluh Jeffrey.
“Aku tahu, aku akan menambahkan minyak agar sedikit licin.” Balas Dean.
“Apa sih yang mereka lakukan malam-malam begini,” keluh Luna, telinganya menjadi merah dan panas, dia juga tak dapat mengendalikan pikiran-pikiran aneh yang timbul di kepalanya akibat suara Jeff dan Dean.
Argghh...
Lagi-lagi Jeffrey berteriak.
“Sial. Tidak bisakah mereka mengecilkan suaranya, benar-benar tidak menghargai telinga orang lain,” kesal Luna. Dia buru-buru naik ke lantai atas dan menutup pintu kamarnya.
Namun, suara Jeffrey masih saja mampu menjangkau telinganya, membuat Luna kesal dan menyumbat telinganya sendiri.
“Seharusnya mereka membuat kamar yang kedap suara. Jika rumah ini berada di tengah kota, sudah pasti semua tetangga sekitar akan tahu apa yang tengah mereka lakukan. Ck, ini benar-benar memalukan.” Luna benci pikirannya sendiri.
***
Keesokan harinya. Luna turun selepas mencuci muka, bermaksud untuk membuat sarapan di dapur. Namun dia tak sengaja melihat Jeffrey keluar kamar sambil meringis memijat-mijat pinggang bagian belakangnya.
“Kenapa kau menatapku begitu?” tanya Jeffrey kesal saat mendapati Luna menatapnya dengan pandangan sulit di artikan.
“Sepertinya kau sudah bekerja keras semalaman?” ucap Luna dengan nada mengejek.
“Apa maksudmu, dengan bekerja keras semalaman?” tanya Jeffrey bingung.
“Bukan apa-apa,” dalih Luna, dia hendak pergi menuju dapur masih dengan air muka yang sama.
“Ish kau,” keluh Jeffrey, dia ingin protes namun terhalang pinggangnya yang sakit.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya membantunya memijat pinggangnya semalam. Karena Jeff jatuh di kamar mandi,” jelas Dean.
“Oh kau ternyata jatuh Jeff. Tapi sebetulnya kau tidak perlu menjelaskannya padaku Dean. Itu urusan pribadi kalian,” ujar Luna santai.
“Kalau aku tidak menjelaskannya padamu, kau akan berpikiran yang tidak-tidak tentang kami,” balas Dean.
“Aku bukan orang seperti itu,” sanggah Luna.
“Ck, Isi pikiranmu terlihat jelas di wajahmu, mana mungkin kau bisa menyembunyikannya.” Kesal Dean.
“Ish ish ish, ternyata pikiranmu sekotor itu,” cibir Jeff seraya mendekat.
“Kau berteriak-teriak semalaman seperti itu, bagaimana mungkin aku tidak berpikiran kotor,” keluh Luna.
“Ck, dasar si mesum bodoh.” Ujar Dean.
Pltak... Tiba-tiba Dean menjitak kepala Luna, membuat wanita itu memekik kesakitan.
“Kau–,” kesal Luna.
Plak... Jeff juga ikut menghadiahi geplakan di kepala Luna sambil tertawa.
“Jeffrey!” teriak Luna.
“Haha rasanya lumayan, Dean ternyata cukup menyenangkan menindasnya seperti ini,” kekeh Jeffrey.
“Benarkah? Baguslah kalau kau senang,” balas Dean, mereka bicara sambil berlalu pergi.
“Awas kalian berdua, aku akan membalas kalian!” teriak Luna, sial harga dirinya seperti ternodai, belum pernah ada yang berani memukul kepalanya selama ini, bahkan Ayahnya sekali pun.
wkwkwkwkwk
jadi ingat dulu pernah baca hubungan poliandri tahun 2019