NovelToon NovelToon
TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Tumbal
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Pita Selina

Sebuah pembangun rumah sakit besar dibangun depan rumah Gea, Via dan Radit. Tiga orang sahabat yang kini baru saja menyelesaikan sekolah Menengah Kejuruan. Dalam upaya mencari pekerjaan, tak disangka akhirnya mereka bekerja di rumah sakit itu.

Sayangnya, banyak hal yang mengganjal di dalamnya yang membuat Gea, Via dan Radit sangat penasaran.

Apakah yang terjadi? Rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan para author? Penuh ketegangan. Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pita Selina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gegabah

"Gea, bangun." Terdengar samar-samar suara Ibu membangunkanku.

"Ibu!" Langsung kumemeluk Ibu dengan cepat. Air mataku berderai. "Tolong aku Ibu! Dia datang! Dia menggangguku lagi Ibu!"

Terlintas di pikiranku, aku takut bahwa Ia bukan Ibu. Aku melepas pelukanku. Aku menjauh. "Ibu ... Ibu siapa?"

Sesekali Ibu merangkulku tetapi kulepaskan.

"Pergi! Ibu bukan Ibuku!"

Raut wajah Ibu keheranan. "Ada apa Gea? Ini Ibumu! Siapa? Siapa dia yang mengganggumu?"

Aku menangis di pojok. "Nenek Itu! Dia menggangguku lagi! Aku takut Ibu." Aku merangkul tubuhku sendiri. "Tolong pergi!"

"Ini Ibu ...."

Ibu terlihat panik. Ibu mencari orang-orang yang berlalu-lalang. Untungnya Ibu melihat Radit di luar. Ibu langsung memanggilnya. "Radit! Radit sini!" teriak Ibuku. "Radit!"

"Radit sini!" panggil Ibu.

Tak lama Radit datang.

"Ada apa, Bu?" tanya Radit polos.

"Temani Gea sebentar. Tolong jangan ditinggalkan. Ibu akan pergi ke Kakek Wono."

Kakek Wono adalah orang pintar di desaku. Ia pandai sekali berinteraksi dengan makhluk halus. Tepatnya, mengobati yang bersangkutan dengan hal-hal ghaib.

"Memangnya Gea kenapa?" Dengan panik Radit langsung melihat keadaanku. "Kau kenapa Gea?" Radit melihatku. Aku sedang ketakutan di pojok pintu. Radit berusaha menenangkanku. "Ada apa?"

Kupeluk Radit dengan erat. "Tolong! Tolong aku Radit! Dia ada di sini! Dia menggangguku! Aku tak tahu lagi harus bagaimana tapi tolong aku!"

Wajah Radit memerah. Ia pengap karena pelukan erat dariku.

"Iya tapi ... jelaskan secara perlahan! Aw—"

"Dia menyamar jadi Ibu. Wajahnya terbakar ... senyumnya lebar. Tak bisa kujelaskan dengan rinci, karena dia akan datang kembali. Percaya padaku. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Kumohon ... tolong aku!"

"Tenanglah Gea ... aku di sini sudah bersamamu. Tenangkan dirimu, dia tak akan kembali."

"Dia akan kembali! Radit! Percayalah!"

Dalam pandanganku, sosok itu berada di belakang Radit. Ia sedang berdiri menatapku. Wajahnya marah, terdengar lintasan di telingaku. 'Kau mengusirku, tetapi aku akan selalu ada.'

Mataku terbelalak. Tubuhku diselimuti rasa takut yang mendalam. "Tidak! Tidak pergi! Jangan kembali! Memangnya kau siapa!"

"Tenang Gea!"

Tangisku mulai pecah. "Tidak Radit! Dia kembali! Sudah kubilang dia kembali, Radit! Wajahnya marah. Tolong aku! Aku tak melakukan apapun, Ia saja yang tiba-tiba datang!"

****

"Kau memikirkan apa tentang gedung itu?" tanya Kakek Wono padaku.

Aku memeluk Ibuku. "Aku hanya memikirkan penghuni di sana—" (ucapanku langsung disergah).

"Pikiran yang kuat akan mengundang mereka. Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Karena Pak Suryo mengatakan bahwa kita semua harus berhati-hati. Aku tidak percaya pada cerita omong kosong itu!" ucapku dengan keras. "Masih saja menganut hal-hal semacam itu."

Mata Pak Wono terbelalak menatap tajam padaku. "Jaga lisanmu itu! Mereka ada. Mereka datang karena pemikiranmu itu. Jangan pernah bermain-main dengan mereka."

Pak Wono langsung mengeluarkan keris kecil seraya mulutnya yang terus berkomat-kamit. Tangannya bergetar, perlahan Ia arahkan pada mataku.

Pak Wono meniupnya. Tangannya mengusap mataku. "Pyuhhh!"

Hingga saat itu aku tak sadarkan diri.

"Jika dibiarkan, mata batinnya akan terus terbuka. Dimensi lain mengajaknya agar bisa melihat mereka. Semua itu akibat dari kegegabahan Gea."

"Jangan pernah meninggalkan Gea dalam daerah yang mungkin akan memicu pemikiran seperti itu lagi," lanjut Pak Wono. "Sekarang ... istirahatkan Gea di tempat tidurnya. Jangan ada yang membahas ini lagi padanya."

"Baik Pak."

"Radit, bantu Ibu membawa Gea ke kamarnya," pinta Ibuku pada Radit.

"Baik Ibu," jawab Radit.

Ibu dan Radit menopang tubuhku menuju kamarku.

"Radit ... kau jaga Gea terlebih dahulu," pinta Ibu.

"Tapi Ibu—" (ucap Radit disergah Ibu, padahal Radit ketakutan).

"Sudah! Tidak akan terjadi apapun. Kau tetap di sini bersama Gea. Kalau Gea sudah mulai sadar, kau jangan membahas ini ya ... kau tahu kan Gea sifatnya sangat penasaran? Maka hindarilah."

"Ba–baik Ibu."

Raut wajah Radit penuh dengan rasa takut. "Aduh Gea ... kumohon. Cepatlah sadar! Kau merepotkanku! Kau pikir aku tidak takut? Perutku mulas Gea ... aku ingin buang air besar. Kumohon cepatlah sadar! Lagian kau ini aneh-aneh saja."

****

"Memangnya aku kenapa?" tanyaku. Pikiranku terasa terbatas. Aku tak mengingat hal-hal yang sudah terjadi diwaktu dekat-dekat ini.

"Kau tidak mengingatnya? Kau jatuh di halaman rumahmu!" jelas Radit. "Gea ... kumohon, aku ingin sekali buang air besar. Tapi Ibumu tak mengizinkanku, sedari tadi aku harus menjagamu."

Tak lama, Ibu membawakanku makanan. "Radit .. ini makan berdua bersama Gea."

"Tapi Ibu ...." Ucapan Radit lagi-lagi dipotong Ibu.

"Makan dahulu. Kau belum mengisi perutmu, kan? Maka dari itu makanlah bersama Gea."

Aku tersenyum hendak tertawa menatap raut wajah Radit yang sudah semakin memerah.

"Bu! Tolong!"

"Kau hanya alasan. Ibumu selalu mengeluh, katanya kau selalu bermain play station di warung internet sana. Jangan seperti itu Radit, hari ini kau harus menjadi anak rumahan." Ibu mengoceh pada Radit.

"Bu ...." Raut wajah Radit sudah memerah.

"Makan dahulu, Ibu tunggu sampai kau mengunyah makanannya. Tubuhmu sudah kering kerontang. Ayo makanlah! Tak usah malu-malu anggap aku Ibumu," oceh Ibuku.

"Bukan begitu, tapi."

BROTTTT

Suara itu mengagetkanku bersama Ibu.

"Radit? Yang berbunyi itu apa?" tanya Ibuku, terkejut.

Raut wajahku menahan tawa.

"Sudah kubilang! Perutku mulas. Izinkan aku pergi ke kamar kecil," ketus Radit seraya berlari. "Aku sudah menahannya setengah jam. Kalian tega sekali."

Kini tinggal aku berdua bersama Ibu.

"Sebenarnya, apa yang telah terjadi Bu? Rasanya ingatanku telah hilang. Aku lupa tentang kejadian kemarin, aku terkejut saat melihat aku berbaring di kamar."

"Oh iya? Memangnya kau tak mengingat bahwa tadi Radit menolongmu? Katanya kau terjatuh. Sekarang ... tak usah pikirkan semua itu. Beristirahatlah." Ibu mencium keningku. Ibu mengusap kepalaku. "Pulihlah seperti dahulu."

Aku hanya terdiam seraya menoleh pada Ibu yang keluar dari kamar. "Aneh ...."

****

"Huh ... lega." Radit kembali. "Mana makanannya?"

"Kau berharap apa? Makanannya telah kuhabiskan. Lama sekali. Memangnya kau telah mengeluarkan apa dari dalam perutmu? Bom?"

"Wajar saja ... aku menjagamu sudah hampir setengah jam. Kala itu aku harus menahan rasa sakit pada perutku. Ya sudah ... aku pulang saja. Jaga dirimu baik-baik, aku sibuk."

"Ya ... pergilah. Terimakasih atas jasamu, Radit." Aku mengingat sesuatu. "Hei Radit!"

Radit menoleh. "Apalagi? Kalau kau rindu padaku, temui aku esok hari."

"Malas sekali. Kau mahu kemana?"

"Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."

"Apa?"

Radit mengambil ancang-ancang untuk berlari. "Menyelesaikan game perang level akhir."

"Heh! Sudah kubilang selesaikan dulu remedialmu itu!" teriakku.

****

Rasanya punggungku sudah sangat pegal. Kuputuskan untuk berjalan-jalan santai di sore hari. Biasanya, aku, Via dan Radit selalu bersantai melihat sunset di atas bukit belakang rumah. Namun tampaknya Via dan Radit hari ini tidak bisa menemaniku. Via harus mengantar Ibunya sedangkan Radit ... Ia harus menyelesaikan game perangnya. Huftt!

"Bagaimana dengan kabarmu, Gea?" sapa tetanggaku.

"Baik ...." Kutersenyum, balik menyapanya.

"Bagaimana bisa kau melihat arwah itu?" tanyanya lagi.

"Arwah? Tidak. Kurasa aku tak pernah melihat arwah sekali pun. Memangnya ada apa?" tanyaku kembali.

Raut wajahnya tampak aneh. "Ya sudah ... lanjutkanlah perjalananmu. Sepertinya aku hanya berhalusinasi saja. Tetaplah berhati-hati."

Kubalas dengan senyuman dengan tatapanku yang heran. "Aneh."

Kulanjutkan perjalananku. Sesekali kumemikirkan kejadian yang sudah terjadi menimpaku.

"Bukankah aku hanya terjatuh dan pingsan? Apa hubungannya dengan arwah?" tanyaku lagi.

Seseorang dari belakang mengagetkanku.

"Heh kocak!" teriaknya.

Sontak membuyarkan lamunanku.

1
Rena Ryuuguu
Sempat lupa waktu sampai lupa mandi, duh padahal butuh banget idung dipapah😂
Hafizahaina
Ngakak sampe perut sakit!
sweet_ice_cream
🌟Saya sering membawa cerita ini ke kantor untuk membacanya saat waktu istirahat. Sangat menghibur.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!