NovelToon NovelToon
Desa Hujan

Desa Hujan

Status: tamat
Genre:Horor / Tamat
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: David Purnama

Sudah dua tahun ini Feri tidak pernah pulang ke rumah. Ia tinggal di asrama tempatnya bersekolah. Rencananya ia hanya akan pulang setelah lulus. Tapi di liburan kenaikan kelas kali ini firasatnya berbeda. Hatinya menuntunnya untuk pulang. Ia juga mengajak sahabatnya untuk pulang ke desa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Hujan

Di lelap malam harinya mata para warga serempak terjaga. Hujan deras membangunkan mereka. Senja yang gelap mendung tidak berdusta sejalan dengan musim hujan yang telah datang untuk mereka. Mulai malam itu penduduk desa wajib bersiaga.

Iwan yang turut terbangun mengikuti langkah Feri yang sudah beranjak dari tempat tidurnya. Iwan memperhatikan Feri yang tengah mengintip ke luar rumah melalui celah jendela.

“Ada apa Fer?”, tanya Iwan yang tidak bisa membendung rasa penasarannya.

“Lihat saja sendiri”, kata Feri.

“Tidak ada apa-apa. Cuma hujan deras”, Iwan yang melihat sendiri.

“Iya. Hujan yang deras”, Feri yang langsung kembali ke kamar.

Di pagi harinya warga berkumpul di balai desa setelah di malam sebelumnya hujan dengan lebat mengguyur kampung mereka. Dipimpin oleh Pak Dirman selaku kepala desa warga diberikan pengarahan tentang bagaimana mereka harus menghadapi musim hujan yang sudah membangunkan mata. Terlihat tanah mereka sudah basah setelah semalaman disiram oleh awan.

Dengan dikoordinasi oleh Sukri selaku sekretaris yang merangkap juga sebagai bendahara desa masyarakat mengantri untuk mengambil sembako jatah pangan untuk mereka yang akan digunakan sebagai pokok selama musim hujan ini. Bahan pangan itu berasal dari hasil bumi mereka sendiri yang di setiap panennya mereka wajib untuk mengumpulkannya guna ditabung sebagai persediaan di kala musim penghujan yang mengungkung tiba.

“Sekarang siapa sukarelawan yang mau pergi ke embung?”, tanya Pak Dirman kepada warga yang sedang berkumpul.

“Biar saya Pak Lurah”, Feri mengajukan diri.

“Dua orang ya. Ini sepedanya sudah disiapkan ada dua”, lanjut Pak Dirman.

“Saya Pak. Saya mahir naik sepeda”, tiba-tiba Iwan ikut-ikutan walau masih belum tahu arti dari semuanya.

“Ya sudah sana kalian berdua yang berangkat. Ketika sampai embung langsung balik ya Fer”, suruh Pak Dirman setelah tidak ada tanggapan dari warga yang lain.

Feri dan Iwan menaiki sepeda ontel aset milik desa menuju embung tempat penampungan air di desa mereka. Jika raut muka Feri berhias kekhawatiran layaknya penghuni desa yang lain Iwan justru kegirangan menaiki sepeda menuju embung.

“Ayo balapan Fer”, tantang Iwan.

“Ndak usah ngebut nanti jatuh repot Wan”, jawab Feri.

“Eh Fer, kenapa ya semenjak aku datang ke desa ini mereka tampak dingin kepadaku. Seolah mereka tidak suka aku datang ke sini. Cuma Pak Tomo yang bersikap baik dan ngajak aku ngobrol”, keluh Iwan.

“Jangan diambil hati. Tidak ada maksud apa-apa Wan. Memang orang-orang di sini akan bersikap demikian jika hujan sudah mulai turun”, terang Feri.

Kayuhan mereka berhenti ketika sudah sampai di embung. Feri hanya cukup melihat bagaimana kondisi embung setelah tadi malam terjadi hujan deras untuk pertama kalinya sejak kemarau. Embung yang sebelumnya kering itu kini telah terisi air hujan. Tanah kering kini tidak terlihat lagi.

“Wan!”, Feri menepuk pundak kawannya yang mematung melihat embung seperti tempo hari.

“Ayo kita kembali ke desa”, pinta Feri.

“Kamu di depan Wan”,

Feri meminta Iwan untuk jalan terlebih dahulu. Ia tidak mau mengambil resiko terjadi apa-apa dengan kawan baiknya itu yang belum paham sepenuhnya tentang situasi di desanya.

Baru sebentar mengayuh sepeda mereka untuk keluar dari kawasan di dekat embung tiba-tiba Iwan menghentikan laju sepedanya.

“Aneh Fer”, kata Iwan.

“Kenapa?”, sahut Feri di belakang.

“Jalannya sekarang sudah berlumpur”,

Iwan heran dengan jalan satu arah yang mereka lewati. Ketika berangkat jalan tanah itu masih keras.

“Tuntun saja sepedanya Wan”, perintah Feri.

Ketika mereka berangkat untuk memeriksa embung Iwan begitu bersemangat. Tapi dalam perjalanan pulang nyalinya menjadi menciut. Setibanya di balai desa kembalinya dua anak muda itu membuat bisu seluruh warga desa yang sedang banyak bicara. Kaki Feri dan Iwan begitu juga dengan sepeda mereka yang berlumuran lumpur mengisyaratkan waktu yang mereka takutkan sudah semakin dekat.

“Setinggi apa air embungnya Fer?”, tanya Pak Dirman memecah kebisuan.

“Airnya sudah hampir setengah Pak Lurah”, jawab Feri.

Mendengar kesaksian utusan mereka penduduk desa tampak panik dan takut yang semakin menjadi nyata. Setelah pertemuan itu warga diminta untuk pulang ke rumah dan bersiap-siap guna menghadapi musim hujan yang selalu menjadi momok untuk mereka.

“Perasaan waktu kita berangkat ke embung warga desa masih banyak. Kenapa saat kita balik jumlahnya sedikit berkurang?”, tanya Iwan yang semakin penasaran dengan situasi di desa ini.

“Sebagian warga ada yang memilih mengungsi ke tempat lain setelah mengambil jatah pangan untuk musim hujan”, jelas Feri.

“Kenapa kita tidak mengungsi saja?”, tanya Iwan.

“Percuma”, timpal Endang yang ikut berjalan dibelakang mereka yang membuat Iwan terdiam.

Mulai hari ini segala aktivitas di desa akan dipantau dan dilakukan secara bersama-sama. Semua warga diharapkan menjaga satu sama lain dan saling memperingatkan. Malam hari semua orang wajib sudah berada di rumah masing-masing dengan mengunci pintu dan jendela yang sudah dilapisi dengan bambu kuning di sisi luarnya. Sore hari sebelum magrib setiap kepala keluarga atau yang mewakilinya wajib untuk memastikan setiap anggota keluarga mereka telah berada di dalam rumah. Tidak ada berkegiatan di luar rumah setelah malam tiba.

Iwan yang mendengar rentetan peraturan di desa dimana ia tinggal untuk liburan sekolah menggeleng-gelengkan kepala. Tidak habis pikir buatnya yang niatnya kemari untuk bersenang-senang malah jadi uji nyali. Ia masih penasaran mengapa semua tindakan ini dilakukan oleh seluruh penduduk desa termasuk temannya Feri beserta keluarga. Ia masih menunggu kejutan apalagi yang akan didapatkannya di desa yang menurutnya semakin aneh ini.

“Nduk. Inikan adikmu di rumah sudah ada temannya. Bagaimana kalau bapak menemanimu tidur di rumahmu dari pada kamu sendirian kami khawatir”,

Pak Tomo memohon kepada Endang untuk tidak tinggal di rumahnya seorang diri di tengah situasi genting seperti ini.

“Atau biar Feri yang menemanimu”, lanjut Pak Tomo.

“Tidak usah repot-repot Pak. Rumahku itu paling jauh dari embung”, balas Endang yang menolak untuk ditemani.

1
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
makin penasaran
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
gurauan nya kurang bisa gw pahami
Kustri
ini beneran 26 part?
pendek BGT...
coba lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!