Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Sesampainya di rumah, Mehmet segera membawa Stela ke kamar tidur mereka.
Dengan kehati-hatian luar biasa, Mehmet menaruh tubuh istrinya di atas ranjang.
Ia dengan lembut mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat dan bau alkohol dengan piyama sutra.
Sambil membersihkan wajah Stela yang pucat, hati Mehmet hancur.
Mehmet menangis melihat istrinya seperti itu. Ia duduk di samping Stela, memegang tangannya.
"Andai saja ia tahu Tasya ada disana, pasti ia tidak akan mengajaknya," bisik Mehmet, menyalahkan diri sendiri.
Ia seharusnya lebih tegas, ia seharusnya tahu bahwa mantan kekasihnya itu akan melakukan apa saja untuk menghancurkan kebahagiaan mereka.
Ia menyesali keputusannya membawa Stela ke dalam jebakan emosional itu.
Sepanjang malam, Mehmet menemani istrinya sampai tidak istirahat. Ia mengecek suhu tubuh Stela berulang kali, memastikan napasnya teratur, dan tidak berani menutup mata karena takut terjadi sesuatu pada Stela dan calon anak mereka.
Keesokan paginya, cahaya matahari mulai masuk melalui tirai kamar.
Stela membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sakit dan berat.
Hal pertama yang ia lihat adalah wajah lelah suaminya. dan melihat suaminya yang sedang menatap wajahnya dengan tatapan penuh penyesalan dan kekhawatiran yang mendalam.
Stela melirik ke bawah dan melihat pakaiannya yang sudah diganti.
Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi untuk cuci muka.
Setelah itu, ia berjalan ke dapur tanpa bicara apapun kepada suaminya yang kini sudah duduk di meja makan, menatapnya dengan pandangan memohon.
"Stela, aku minta maaf," ucap Mehmet lirih, suaranya serak karena kurang tidur.
"Aku janji, Tasya tidak akan pernah muncul di depan kita lagi. Aku akan mengurusnya. Tolong, jangan diamkan aku."
Stela tidak merespons. Stela membuat kopi untuk suaminya hitam, tanpa gula, persis seperti yang disukai Mehmet melakukan semua gerakan mekanis tanpa emosi.
Setelah selesai ia menaruh cangkir kopi itu di depan Mehmet dan melanjut masak untuk sarapan.
"Stela!" panggil Mehmet lagi, kali ini dengan suara lebih keras, frustrasi dengan keheningan istrinya.
"Tolong dengarkan aku! Bicaralah denganku, Sayang. Marahi aku, tapi jangan diam seperti ini!"
Stela masih diam dan melanjutkan memasak, membelakangi Mehmet.
Ia mengaduk bubur di panci, berusaha mengabaikan semua yang terjadi semalam dan rasa sakit di perutnya.
Ia benar-benar sudah mencapai batas ketahanan emosinya.
Tiba-tiba, mata Mehmet melebar. Ia bangkit dari kursinya dengan cepat, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
"Stela! Ada darah di kakimu!" seru Mehmet, panik.
Stela masih diam dan melanjutkan memasak tanpa menyadari darah mengalir dari kedua kakinya.
Darah merah segar itu mulai menetes di lantai dapur.
Mehmet melihatnya dan berlari ke arahnya. "Ayo kita ke rumah sakit, sekarang!" teriaknya.
Stela menarik tangannya saat Mehmet mencoba memegangnya.
Stela menggelengkan kepalanya, air mata akhirnya mengalir tanpa suara membasahi pipinya.
"Stela!" Mehmet mencoba membujuk.
Tiba-tiba, Stela berbalik, tatapannya kosong dan penuh luka.
"Aku tidak mau dan ayo kita bercerai!"
"Aku lelah, Met, aku capek! Aku tidak tahan lagi dengan semua dramanya! Biarkan aku sendiri!" teriak Stela, suaranya pecah bersamaan dengan jatuhnya centong kayu di tangannya.
Darah semakin mengalir deras, membasahi lantai keramik. Stela mencengkeram perutnya, rasa sakit luar biasa menghantamnya.
Tanpa membuang waktu sedetik pun, Mehmet langsung membopong tubuh istrinya ke dalam pelukannya.
Ia tidak peduli dengan teriakan minta cerai atau penolakan Stela.
Ia hanya peduli pada keselamatan jiwa yang ia cintai.
"Kita ke rumah sakit, Sayang! Kita selesaikan ini nanti!" raung Mehmet, berlari secepat mungkin dan membawanya ke rumah sakit.
Di dalam mobil, Mehmet mengemudi sangat cepat. Ia menoleh sekilas ke Stela yang terbaring lemah di kursi penumpang, darah terus mengalir membasahi gaun tidurnya.
"Met, hentikan! Aku nggak mau ke rumah sakit," lirih Stela, suaranya lemah karena kesakitan.
"Diam, Sayang! Jangan bicara!" bentak Mehmet, air matanya menetes di pipi karena rasa takut.
"Lepaskan aku, Met. Kembalilah pada Tasya! Jangan siksa aku begini!" isak Stela, menuding Mehmet adalah penyebab semua rasa sakitnya.
Mehmet melajukan mobilnya dan tidak menghiraukan perkataan dari istrinya sedikit pun.
Fokusnya hanyalah satu yaitu sampai di rumah sakit.
Ia mencengkeram kemudi, berulang kali berteriak meminta Stela untuk bertahan.
Sesampainya di rumah sakit, Mehmet menghentikan mobilnya tepat di depan Unit Gawat Darurat (UGD). Dengan cepat, ia meminta bantuan petugas dan menaruh Stela di ranjang dorong.
Petugas medis segera membawa Stela masuk, dan pintu UGD tertutup di depannya.
Mehmet berdiri di luar, tangannya gemetar dan pakaiannya berlumuran darah Stela.
Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain mondar-mandir.
Ia menunggu di ruang UGD, setiap detik terasa seperti siksaan.
Ia memaki dirinya sendiri, menyesali soda, klub malam, dan yang paling utama, drama Tasya.
Tak berselang lama, Dokter keluar dari ruang UGD. Ekspresinya suram.
Ia memandang Mehmet dengan tatapan penuh simpati.
"Dokter, bagaimana istri saya? Dan bayi kami?" tanya Mehmet, bergegas menghampiri Dokter, nadanya memohon.
Dokter tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menunduk dan perlahan menggelengkan kepalanya
"Maafkan kami, Pak Mehmet," ujar Dokter dengan suara rendah.
"Istri Anda selamat, dan kami berhasil menstabilkan kondisinya. Tapi karena stres yang luar biasa, pendarahan hebat, dan kemungkinan intoksikasi alkohol..."
Dokter menghela napas panjang.
"Stela mengalami keguguran."
Mehmet merasakan lantai di bawah kakinya berputar.
Suara dentuman jantungnya sendiri terasa jauh. Bayi bakso, bayi kepiting, harapan yang baru lahir, lenyap begitu saja.
Mehmet ambruk ke kursi tunggu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tangis pilu yang tak tertahankan keluar dari bibirnya. Ia telah kehilangan segalanya.
Dokter segera memindahkan Stela ke ruang perawatan biasa setelah kondisinya stabil.
Di dalam ruang perawatan, suasana hening dan dingin. Bau rumah sakit menyelimuti Stela.
Perlahan, Stela membuka matanya dan melihat suaminya.
Mehmet yang menundukkan kepalanya, duduk di samping ranjang dengan bahu bergetar.
Stela mencoba bergerak, tetapi rasa sakit dan infus menahannya.
Mehmet mengangkat wajahnya, air mata membasahi pipinya.
Ia memegang tangan Stela, menciumnya, dan akhirnya, ia memberanikan diri untuk mengatakan kenyataan pahit itu.
"Sayang,.Aku minta maaf," bisik Mehmet, suaranya tercekat.
"Kamu menang, Stela. Aku akan menceraikanmu, jika itu yang kamu inginkan. Tapi..."
"Anak kita pergi, Sayang. Kita sudah kehilangan dia," ucap Mehmet, air matanya kembali menetes.
Stela yang mendengar langsung menangis sesenggukan.
Suara tangisnya memenuhi ruangan, tangisan yang bukan hanya karena kehilangan janinnya, tetapi juga karena rasa bersalah, penyesalan, dan kehancuran total.
Mehmet mencoba menenangkannya, memeluknya erat-erat, membiarkan Stela menumpahkan semua rasa sakit di bahunya.
Tangisan Stela begitu histeris sehingga perawat harus memanggil dokter.
Dokter memberikan obat penenang ringan melalui infus untuk meredakan syok emosional Stela.
Sebelum pergi, Dokter meminta Mehmet menjaga Stela dengan ketat, memastikan tidak ada lagi tekanan emosional, dan menjauhkan semua benda yang dapat melukai dirinya.
Mehmet menganggukkan kepalanya tanpa ragu.
Ia duduk di kursi, menggenggam tangan Stela, dan menemani istrinya sampai ketiduran karena efek obat penenang.
Kelelahan yang ekstrem membuat Mehmet ikut terlelap di samping ranjang Stela, kepalanya bersandar pada kasur.
Pukul jam dua pagi, dalam keheningan total, Stela membuka matanya.
Efek obat penenang sudah hilang. Ia menatap wajah Mehmet yang lelap.
Ia menarik tangannya perlahan, dan melepaskan selang infusnya dengan paksa, darah segar kembali menetes.
Tatapan matanya kosong, dipenuhi kehampaan yang mematikan.
Semua rasa sakit kehilangan bayi, pengkhianatan emosional, kebohongan, hingga rasa bersalah karena meminum alkohol menghancurkan jiwanya.
Ia merasa tidak pantas hidup.
Ia bangkit dari ranjang, berjalan pelan keluar dari kamar, tanpa alas kaki.
Dengan langkah gontai, ia berhasil menemukan tangga darurat dan berjalan naik.
Stela berhasil mencapai roof top rumah sakit. Angin malam dingin menerpanya.
Ia berjalan ke tepi, menatap lampu-lampu kota yang seolah mengejek kebahagiaan yang hilang darinya.
Menangis sesenggukan, Stela berbicara kepada angin.
"Mama minta maaf karena sudah egois. Mama minta maaf karena tidak bisa menjagamu, Nak. Mama lelah. Mama akan menyusulmu."
Di ruang perawatan, Mehmet membuka matanya, kaget karena merasakan hawa dingin di tangannya. Ia melihat ranjang yang kosong.
"Stela!"
Mehmet melompat, berteriak panik. Ia segera berlari keluar kamar dan bertanya kepada perawat di nurse station.
"Istri saya! Stela! Di mana dia?" teriak Mehmet histeris.
Perawat menggelengkan kepalanya panik. "Kami tidak melihatnya, Tuan! Baru saja kami cek, dia ada di dalam!"
Mehmet tidak tahu tempat apa yang akan dituju Stela.
Ia berlari keluar dari ruangan, menuju tangga darurat, mendahului semua orang.
Saat ia mencapai lantai teratas, ia melihat sebuah kerumunan kecil.
Ia keluar dan security yang berhasil menyusul melihat wanita yang akan bunuh diri di tepi atap.
Stela berdiri di bibir atap.
Tangan security itu terulur, berteriak agar Stela tidak melompat.
Mehmet melihat sosok Stela, tubuhnya yang rapuh di ambang kehancuran.
"STELA!!" teriak Mehmet dengan suara yang dipenuhi keputusasaan dan ketakutan yang mencekik.