Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Dinginnya Tanah Liat dan Kelelahan Sandiwara
Satu Bulan Kemudian.
Kabar kehamilan Naira kini bukan lagi kejutan; itu adalah realitas yang berisik dan tak terhindarkan. Rumah itu dipenuhi dengan obrolan tentang vitamin, kunjungan bidan, dan pemilihan nama. Raka telah menjalankan perannya sebagai calon ayah dengan sempurna, setiap gerakannya diukur, setiap sentuhannya pada Naira penuh kelembutan yang memuakkan bagi Luna.
Luna, sebaliknya, kini terikat pada alibi yang lebih rumit: Keramik.
Ia telah menemukan Studio Seni Keramik di pinggiran kota, jauh dari keramaian, persis seperti yang Raka inginkan. Setiap sesi di Unit 903 dimulai dengan ritual baru: Raka memastikan Luna mengoleskan sisa tanah liat yang nyata di tangannya, di bawah kukunya, dan bahkan di kerah hoodie agar tercium bau tanah yang khas.
Hubungan mereka tidak lagi tentang gairah eksplosif yang liar. Gairah itu digantikan oleh rutinitas yang monoton, yang terasa seperti sesi terapi yang dingin dan penuh perhitungan.
Selasa Sore. Unit 903.
Luna duduk di tepi ranjang, tangannya masih dingin oleh tanah liat yang baru ia cuci. Ia mengenakan hoodie hitamnya, yang kini berbau lumpur dan tanah—bukan aroma cat air yang manis, melainkan bau yang kasar dan jujur.
Raka baru saja selesai. Ia tidak terengah-engah seperti dulu. Ia kembali mengenakan kemejanya dengan ketenangan yang terlalu cepat.
"Piring-piring itu harus sudah selesai dalam dua minggu, Lun," ujar Raka, sambil merapikan simpul dasinya di depan cermin. "Naira akan sangat terharu. Dan itu akan memberi kita alasan kokoh untuk memperpanjang sewa di sini."
Luna menatapnya. Raka tidak memandangnya, ia memandang pantulan dirinya sendiri—pria sukses yang sempurna.
"Semua ini tentang piring keramik itu, Mas?" tanya Luna, suaranya kosong.
Raka akhirnya menoleh. Ia tersenyum, senyum yang dingin dan hanya menyentuh bibirnya. "Tentu saja. Piring keramik itu adalah penutup untuk kehamilan Naira. Itu adalah bukti visual dari pengabdianmu pada keluarga."
"Dan aku? Apa aku?"
"Kamu adalah kebebasan terbesarku, Luna. Kamu adalah kejujuran yang aku beli dengan sewa apartemen ini," jawab Raka, nadanya datar, seolah ia sedang mendiskusikan harga saham.
Saat itu, sebuah kesadaran menghantam Luna. Ia tidak cemburu pada Naira lagi; ia bosan. Ia bosan menjadi alat, bosan menjadi 'kejujuran yang dibeli' Raka. Intensitas gila yang ia cari telah digantikan oleh skenario yang kaku dan penuh instruksi. Raka tidak memuja kegilaannya; Raka menggunakannya untuk menstabilkan kehidupan barunya.
Kecemburuan adalah gairah. Kebosanan adalah kematian.
"Aku lelah, Mas," bisik Luna.
Raka mengambil dompetnya. "Kita semua lelah, Lun. Kehamilan membuat Naira sangat sensitif. Aku harus bekerja dua kali lipat untuk menenangkannya. Sekarang, ambil kunci itu dan pastikan kamu terlihat kelelahan yang sah."
Raka berjalan ke arahnya, namun tidak untuk menciumnya. Ia hanya mencondongkan tubuh, memeriksa sisa tanah liat di kerah hoodie Luna.
"Sempurna. Bau tanah liat dan sedikit bau asap tungku. Itu adalah keterangan yang jelas. Sampai ketemu hari Kamis," Raka mengakhiri, dan berjalan keluar, mengunci pintu di belakangnya.
Luna duduk di sana, terpaku. Ia tidak merasa ditinggalkan oleh kekasih, melainkan oleh atasan yang baru saja selesai memberinya tugas. Ia tidak lagi melihat api di matanya sendiri, hanya refleksi dingin dari langit-langit.
Dia bilang aku adalah kebebasan terbesarnya. Tapi aku? Aku tidak bebas. Aku adalah Luna yang paling terkekang, terjebak dalam jadwalnya, dalam bau tanah liatnya, dalam kehamilan kakaknya.
Aku mencari kegilaan, tapi yang aku temukan adalah rutinitas perselingkuhan yang lebih membosankan daripada kehidupan yang aku tinggalkan. Aku tidak mencintai dia karena keahliannya lagi. Aku membencinya karena ia telah mengambil keahlian itu dan mengubahnya menjadi kandang emas.
Luna melihat kunci di meja. Kunci itu tidak lagi menuju kejujuran. Kunci itu menuju penjara kebosanan yang sama.
Keesokan Harinya. Pagi di Rumah.
Luna sedang duduk di dapur, pura-pura mencari ide desain keramik. Naira duduk di seberangnya, tersenyum sambil mengelus perutnya yang kini mulai sedikit menonjol.
"Kamu serius banget, Lun. Aku senang kamu sudah menemukan jati dirimu," kata Naira lembut.
"Iya, Kak. Aku harus fokus," jawab Luna.
"Aku mau tanya, Mas Raka bilang dia menemukan Studio Keramik di mana-mana. Apa kamu sering ketemu sama dia di dekat sana?" tanya Naira santai, sambil menyesap teh hangatnya.
"Nggak, Kak. Studio ini jauh dari kantor Mas Raka. Dia cuma bantu cari di internet," Luna berbohong dengan otomatis.
"Syukurlah. Soalnya aku perhatikan, Mas Raka sering bilang dia lelah bekerja, tapi dia jadi sering refreshing sendiri akhir-akhir ini," Naira tertawa kecil, "Aku rasa dia juga butuh ruang. Tapi jangan sampai dia jadi lupa istrinya sendiri, ya kan?"
Kata-kata Naira tidak menyiratkan kecurigaan. Itu adalah keluhan lembut seorang istri yang merasa sedikit ditinggalkan. Tapi Luna mendengar hal yang berbeda.
Refreshing sendiri. Itu adalah kode. Raka menikmati permainannya, sementara Luna hanya merasakan kelelahan.
Saat itu, Luna membuat keputusan. Ia tidak bisa melanjutkan sandiwara ini hanya karena ia takut sendirian. Kebosanan adalah dosa yang lebih besar daripada perselingkuhan.
Ia harus mengakhirinya.
Kamis Siang. Unit 903. Pukul 15:00.
Luna tiba lebih dulu. Ia tidak membawa tas keramik. Ia hanya membawa kunci. Ia duduk di tengah ranjang, membiarkan hoodie-nya terbuka.
Ketika Raka masuk, ia langsung merasakan perubahan atmosfer. Luna tidak memiliki aura hasrat yang membara. Ia memiliki aura penutupan.
"Kamu terlambat tiga menit," Raka menegur, nadanya segera menjadi profesional. "Naira baru saja mengirim pesan. Dia ingin aku meneleponnya sebelum rapat berikutnya."
"Aku tidak datang untuk bercinta, Mas," kata Luna, suaranya tenang, dingin, dan tegas—suara yang belum pernah didengar Raka darinya.
Raka membeku. Ia tidak melepas jasnya. Ia menatap Luna, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kebenaran yang tidak bisa ia manipulasi.
"Ada apa, Luna?"
Luna mengeluarkan kunci Unit 903 dari sakunya. Kunci itu berdetak saat ia meletakkannya di seprai abu-abu gelap, di antara mereka.
"Aku ingin mengakhirinya, Mas," kata Luna.
"Mengakhiri apa? Hubungan kita? Aku sudah bilang, ini bukan hubungan," Raka mencoba mengendalikan situasi dengan meremehkan. "Ini adalah kesepakatan. Kamu bosan? Kita ganti strategi lagi. Kita bisa mulai dengan patung kayu, itu butuh studio yang lebih jauh."
"Tidak," Luna menggeleng. "Aku tidak bosan denganmu. Aku bosan menjadi alatmu. Aku bosan menjadi kebenasanmu saat kamu membeli kenyamanan untuk dirimu sendiri dengan kehamilan Kak Naira."
"Luna, jangan emosional. Ini bukan cinta. Ini strategi!" Raka mulai meninggikan suaranya.
"Justru itu, Mas! Aku lelah dengan strategimu!" Luna bangkit berdiri. "Aku mencari pria yang memujaku karena kegilaanku. Aku menemukan pria yang mengatur kegilaanku, yang memberikan jadwal, kode warna, dan sekarang bau tanah liat yang harus aku pakai agar kamu aman!"
Luna menunjuk kunci itu. "Kunci itu tidak lagi menuju kejujuran. Kunci itu menuju kebosanan yang sama seperti rumah Kak Naira. Dan aku tidak mau dipenjara dua kali."
Raka menatap kunci itu, lalu menatap Luna. Ekspresinya menunjukkan ia terkejut, namun ia segera menutupinya dengan kemarahan.
"Kamu tidak bisa pergi, Luna. Aku yang menciptakan kamu. Aku yang memberimu kebebasan ini. Di luar sana, kamu kembali menjadi Luna yang menyedihkan yang ditahan oleh kakaknya," Raka berusaha menekan Luna.
"Tidak. Aku keluar dari sini dan aku akan mencari passion yang nyata, yang tidak perlu aku laporkan padamu. Aku akan pergi dari rumah itu, dan aku tidak akan menjadi bayangan yang mengintaimu," tegas Luna.
Ia meraih hoodie hitamnya. Raka melangkah cepat, mencekal lengan Luna.
"Aku akan memberimu apa pun yang kamu mau. Uang, apartemen ini, waktu lebih lama—"
"Aku tidak mau uangmu, Mas. Aku mau kejujuran yang tidak kau beli!" Luna menarik tangannya dengan kasar. "Aku membencimu karena kamu lebih mencintai sandiwara daripada aku. Dan aku terlalu mencintai diriku untuk menjadi alat dalam sandiwara yang membosankan ini."
Luna berjalan ke pintu. Ia mengambil napas dalam-dalam.
"Ambil kunci itu, Mas. Aku tidak akan kembali. Dan aku akan mencari cara untuk pergi dari rumah Kak Naira, sendiri."
Luna membuka pintu, keluar, dan tidak menoleh ke belakang. Ia meninggalkan Raka di tengah ruangan, berdiri sendirian dengan kunci dan kehamilan istrinya—di tengah kehancuran sebuah kesepakatan yang sempurna.