NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:480
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1: Prolog

Seoul adalah kota yang tak pernah benar-benar terlelap. Waktu hanya sekadar angka di sini—siang dan malam berjalan begitu cepat, seolah setiap detiknya dihitung dengan ambisi. Gedung-gedung tinggi berdiri seperti penjaga sunyi, sementara jalanan dipenuhi langkah-langkah tergesa yang terus mengejar sesuatu—entah bisa mereka raih atau tidak.

Namun, di balik hiruk-pikuk itu, tersembunyi kisah-kisah kecil yang tak terlihat oleh mata dunia. Kisah seseorang yang tak mencari sorotan, yang hidupnya mungkin tampak biasa di tengah gemerlap kota ini. Seperti di rumah sederhana itu—tempat seorang gadis bernama Min Areum tinggal, menjalani hari-harinya tanpa menyadari bahwa takdir telah menulis kisah lain untuknya.

Di dapur kecil yang hangat oleh aroma sup mendidih, seorang gadis tengah sibuk mengaduk masakan di atas kompor. Rambut panjangnya yang tergerai sedikit bergoyang saat ia bergerak, ujungnya hampir menyentuh pundaknya yang ramping. Sesekali, ia menyelipkan helai-helai rambut yang jatuh ke wajahnya ke belakang telinga, memperlihatkan garis rahangnya yang lembut.

Wajahnya dihiasi senyum tipis—bukan senyum yang dipaksakan, melainkan ekspresi alami seseorang yang terbiasa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Kulitnya sehalus porselen, bercahaya di bawah bias matahari pagi yang menembus jendela. Bibirnya tipis, sedikit melengkung saat ia mencicipi kuah di sendok, sementara hidung rampingnya bergerak samar ketika ia menghirup aroma masakan.

“Areum, cepat bawa ke sini, Nak!” teriak sang ibu yang sudah duduk di meja makan. Wanita paruh baya itu terlihat begitu ramah, dan masih menyimpan kecantikan yang lembut untuk seseorang seusianya.

Min Areum—seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun—adalah anak tunggal di keluarga Min. Sang ibu bernama Nam Hyerin, sedangkan sang ayah bernama Min Taesik. Pagi itu, ketiganya tengah berkumpul di meja makan, menikmati sarapan sederhana. Hidangan itu memang tidak bisa disebut mewah, tetapi menjadi menu favorit Areum sejak kecil: kimchi jjigae buatan sang ibu, nasi hangat, dan sedikit lauk ikan panggang.

“Eomma, Appa... hari ini kalian akan keluar?” tanya Areum sambil mengambil sumpit, lalu mulai makan perlahan.

“Eomma tidak, Sayang. Tapi Appa-mu iya, dia ada pekerjaan di kantornya,” jawab Hyerin sambil menatap lembut putrinya.

“Oh begitu. Eomma, setelah kuliahku selesai nanti, aku tidak ingin melanjutkan pendidikan lagi. Aku ingin mulai bekerja,” ujar Areum sambil tersenyum.

“Bekerja di mana?” tanya Taesik, yang sedari tadi menyimak percakapan mereka dengan penuh perhatian.

“Di salah satu restoran terkenal milik keluarga Park itu, Appa,” jawab Areum dengan senyum mengembang.

“Keluarga Park? Maksudmu yang mana?” tanya sang ayah yang tampak heran.

“Iya, Appa. Keluarga Park yang terkenal itu,” sahut Areum sambil mengangguk kecil.

“Memangnya kamu sudah melamar? Kalau belum, sebaiknya lanjutkan saja kuliahmu,” ujar sang ayah dengan nada bijak.

“Justru itu, Appa. Selama ini aku sudah bekerja paruh waktu di sana. Nah, atasan menawarkan aku menjadi karyawan tetap, dengan gaji yang jauh lebih besar dibandingkan pekerjaan paruh waktu tentunya,” jelas Areum mantap.

“Eomma tidak tahu kalau kamu bekerja paruh waktu selama ini?” tanya Hyerin, kali ini dengan nada sedikit meninggi.

“Hehe… aku memang sengaja bekerja diam-diam karena takut kalian tidak akan mengizinkanku,” ucap Areum dengan senyum tipis, sedikit menunduk.

“Pantas saja kamu sering pulang terlambat. Eomma tidak suka kamu berbohong seperti ini pada kami,” ujar Hyerin sambil menatap putrinya tegas.

“Maaf, Eomma… aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya pikir pekerjaan itu tidak penting untuk dibicarakan, karena aku melakukannya di sela waktu luang saja. Tapi sekarang aku bicarakan karena keputusanku berhenti kuliah setelah wisuda ini cukup besar. Aku tidak ingin menyembunyikannya lagi,” ujar Areum pelan, suaranya terdengar tulus.

“Jika itu pilihanmu, kami tidak masalah. Jadi, bosmu itu bernama Park apa?” tanya sang ayah sambil menatap Areum dengan nada ingin tahu.

“Park… apa ya? Aku tidak tahu, Appa. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Selama ini hanya berurusan dengan kepala karyawan saja. Soalnya, dia jarang datang ke restoran. Maklum, orang kaya—setelah membuka usaha, dibiarkan saja berjalan sendiri,” jelas Areum sambil mengaduk nasi di mangkuknya. Taesik mengangguk pelan, mengiyakan ucapan putrinya itu.

“Tapi, apa kamu tidak ingin melanjutkan pendidikanmu dulu? Sayang sekali, kami masih mampu membiayainya, Areum,” ujar Hyerin yang tampak belum setuju dengan keputusan putri dan suaminya.

“Aku tahu, Eomma. Tapi aku ingin bekerja,” jawab Areum lirih, membuat sang ibu hanya bisa menghela napas panjang, seolah tak berdaya menghadapi tekad anaknya.

“Sudahlah,setidaknya dia sudah menyelesaikan pendidikan S1-nya.” ujar Taesik kemudian, suaranya lembut namun tegas.

“Terserah kalian saja,” sahut Hyerin sambil menatap keduanya bergantian. “Lagipula, kalau Eomma melarang pun, kamu tidak akan mendengarkannya, kan?” katanya dengan nada pasrah, meski senyum tipis tersungging di bibirnya.

Sarapan pun usai. Ketiganya berdiri dari meja makan, lalu membungkuk ringan ke arah satu sama lain—kebiasaan kecil yang sudah menjadi tradisi dalam keluarga mereka sebelum berpisah untuk beraktivitas. Aroma kimchi jjigae dan nasi putih panas masih tersisa di udara saat Areum mengambil tasnya. Ia berpamitan dengan lembut.

“Eomma, Appa, aku berangkat dulu.”

“Hati-hati di jalan, Areum-ah,” ujar Hyerin sambil melambaikan tangan dari dapur.

Areum pun melangkah keluar rumah dengan langkah ringan. Pagi di Seoul terasa sibuk seperti biasa—bunyi klakson, suara sepatu di trotoar, dan angin yang membawa aroma kopi dari kedai terdekat. Di sisi lain, sang ibu tetap di rumah, menjalani rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga (ajumma) yang mengurus rumah dengan penuh cinta.

•••

Sementara itu, di sisi lain kota Seoul yang dipenuhi hiruk-pikuk lalu lintas pagi, suasana di lantai atas sebuah gedung perkantoran justru tegang. Seorang pria berdiri di balik meja kaca besar dengan wajah memerah karena amarah. Suaranya menggema di seluruh ruangan, membuat para karyawan lain menunduk ketakutan.

“Apa ini?!” serunya lantang sambil melempar beberapa berkas ke arah meja. Kertas-kertas itu beterbangan, sebagian jatuh di kaki seorang karyawan wanita yang gemetar hebat.

“Mianhae, Tuan... sepertinya ada sedikit kesalahan dalam menganalisis data keuangan, jadi terjadi kekeliruan,” ucap wanita itu terbata-bata, matanya menunduk dalam-dalam.

“Kesalahan, katamu? Aku punya bukti kalau kau melakukan kecurangan. Katakan—siapa yang membantu?” pria itu menatap tajam, suaranya turun menjadi dingin. Urat-urat di lehernya menonjol, napasnya memburu. Tatapan matanya tajam seperti bilah pisau.

“Itu tidak benar, Tuan! Saya tidak melakukan kecurangan, hanya salah menghitung datanya,” jawab wanita itu hampir berbisik, suaranya bergetar menahan air mata.

“Terlalu banyak bicara. Dasar tidak tahu diri,” ujarnya datar, namun mengandung amarah yang menekan.

Dua pria berpakaian hitam—bodyguard perusahaan—datang tanpa suara dan segera menyeret wanita itu keluar dari ruangan. Sepatunya menyeret lantai marmer yang licin, meninggalkan gema samar di antara ketegangan yang masih terasa.

“Bawa orang-orang tidak tahu diri itu keluar dari pandanganku,” ucap sang pria dingin, menatap ke arah bawah dari balik jendela besar yang menampilkan panorama Seoul. Tepat saat keheningan mulai menelan ruangan, terdengar suara lembut namun jelas dari arah pintu.

“Hyung...” panggil seseorang pelan.

Semua kepala spontan menoleh. Pria yang tadi mengamuk itu menoleh perlahan. Tatapannya yang sedari tadi tajam mulai sedikit melunak ketika melihat orang yang memanggilnya.

“Kim, urus sisanya,” ujarnya singkat kepada sekretaris pribadinya.

“Ne, Sajangnim,” jawab pria itu cepat sambil menunduk hormat, lalu memberi jalan bagi sang atasan untuk pergi.

Semua karyawan menundukkan kepala ketika pria itu melangkah keluar dari ruang rapat dan menyusuri lorong panjang yang sepi. Setiap langkahnya berat dan penuh wibawa. Sepatu kulitnya beradu dengan lantai marmer, menimbulkan gema yang terdengar menekan di antara detak jantung para karyawan yang menatap lantai, tak berani menegakkan kepala. Aura dingin yang memancar darinya membuat siapa pun enggan bersuara—seolah udara di sekitar ikut membeku.

Pria yang memanggilnya Hyung berjalan di belakang dengan langkah lebih santai, namun sesekali ia menggelengkan kepala pelan. Sudah terlalu sering ia melihat ledakan emosi seperti itu—bagi orang lain mungkin menakutkan, tapi baginya, itu hanyalah rutinitas.

Keduanya memasuki lift yang menuju lantai atas—lantai teratas gedung megah itu. Ketika pintu lift terbuka, ruang kerja yang luas dan elegan menyambut mereka. Dinding kaca raksasa memperlihatkan pemandangan kota Seoul dari ketinggian. Gedung-gedung menjulang tampak seperti miniatur yang tertata rapi, dan cahaya sore mulai menembus dari sela-sela awan, menciptakan pantulan lembut di kaca.

“Ada apa sampai datang kemari?” suara berat itu memecah keheningan. Nada bicaranya datar namun tetap memiliki tekanan yang sulit diabaikan.

“Kita tunggu Yoonjae hyung dulu,” jawab sang adik dengan tenang. Pria itu hanya mengangguk singkat, menandakan ia mengizinkan.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka, memperlihatkan seorang pria berwajah lelah masuk dengan langkah tergesa. Satu tangan menenteng tablet, tangan satunya menggenggam ponsel. Ia langsung duduk di sofa kulit hitam, menutup mata sejenak sambil menarik napas panjang. Terlihat jelas betapa letihnya ia, seolah energi dalam tubuhnya hampir habis, padahal hari kerja masih jauh dari selesai.

“Hyung lama sekali,” protes Minjoon sambil menyandarkan tubuh di kursinya.

“Aku bekerja, bukan bermain,” jawabnya tanpa membuka mata, nada suaranya tenang tapi tajam.

“Baiklah, mari kita serius,” ujar Jihoon akhirnya, menatap dua adiknya dengan sorot mata yang tegas. “Apa yang membuat kalian datang ke sini?”

Ruang itu hening beberapa detik sebelum salah satu dari mereka membuka suara. Di ruangan luas itu hanya terdengar dengung lembut mesin pendingin dan bunyi samar mobil di luar jendela.

Kim Jihoon, pria berusia tiga puluh tiga tahun, adalah CEO muda yang memimpin perusahaannya sendiri—Kim Group. Wajahnya tampan dan karismatik, tapi di balik ketenangannya tersembunyi sikap dingin dan kejam yang membuat banyak orang gentar. Ia dikenal sebagai sosok yang overprotektif terhadap kedua adiknya, tapi juga menakutkan ketika marah. Bahkan bagi Minjoon dan Yoonjae sendiri, menghadapi Jihoon saat sedang serius terasa seperti menghadapi badai yang diam-diam menghantam.

Adik pertama Jihoon adalah Kim Yoonjae, pria berusia tiga puluh dua tahun—hanya terpaut satu tahun darinya. Ia dikenal dengan sikap dingin yang tak jauh berbeda dari sang kakak. Yoonjae bekerja sebagai dokter bedah ternama di Seoul, dan namanya sudah lama dikenal luas di kalangan profesional medis. Hampir setiap operasi yang ditanganinya berakhir dengan keberhasilan, membuatnya dijuluki sebagai “the miracle hands” oleh para pasien dan rekan sejawat. Garis wajahnya tegas, tampan, dan berwibawa, seolah menegaskan bahwa darah keluarga Kim memang tidak pernah jauh dari kesempurnaan.

Sementara itu, Kim Minjoon, si bungsu dari keluarga Kim, dikenal sebagai pria dengan pesona lembut dan senyum manis yang selalu menampilkan lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Rambutnya hitam legam, sedikit bergelombang, dan bola matanya memancarkan kehangatan yang kontras dengan kedua kakaknya yang tampak dingin. Pria berusia tiga puluh satu tahun itu dijuluki “genius man” karena kemampuannya mengelola berbagai bidang bisnis. Ia memiliki jaringan restoran dan kafe mewah, sejumlah hotel dan tempat wisata, bahkan terlibat aktif di dunia seni sebagai perantara transaksi karya-karya berharga fantastis. Dunia menganggap Minjoon sebagai simbol kesuksesan muda—seorang pengusaha yang luwes, berwawasan luas, dan berkarisma.

Keluarga Kim seolah benar-benar diberkati oleh Tuhan. Terlahir dengan paras sempurna, kecerdasan di atas rata-rata, dan kehidupan yang nyaris tanpa cela, membuat nama mereka selalu dibicarakan di kalangan elit Seoul.

Namun, seperti pepatah lama yang sering diucapkan orang Korea, “Jageun bitdo geuneul mandeul su eopda” — bahkan cahaya kecil pun tidak bisa ada tanpa bayangan.

Di balik segala kesempurnaan, tersimpan luka dan penyesalan yang tidak terlihat oleh dunia luar. Mereka hanya manusia yang berusaha menutupi sisi kelamnya di balik senyum dan keberhasilan.

“Aku ingin bicara tentang Harabeoji,” ujar Yoonjae pelan, namun cukup jelas untuk memecah keheningan ruang itu.

Kedua saudaranya sontak menoleh, pandangan mereka tajam dan serius. Tatapan yang sama-sama menyimpan pertanyaan—dan sedikit ketegangan. Udara tiba-tiba terasa berat, seperti ada sesuatu yang besar akan terbongkar.

1
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!