NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Bayangkan Yang Tak Pernah Pergi

🦋

Pagi di kota itu tidak benar-benar cerah. Langit menggantung kelabu, seakan matahari enggan terbit di tempat yang penuh rahasia. Gavriel menatap bayangannya di cermin. Kemeja hitamnya tampak rapi, tapi matanya kosong.

Bahunya masih terasa nyeri, bekas luka semalam belum benar-benar sembuh. Di balik bajunya yang rapi, inisial VZ tetap tercetak jelas di kulit punggungnya, seperti tanda peringatan.

Tanda. Peringatan. Dosa.

"Aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya."

Ia memasukkan ponsel ke saku celana, mengambil jaket kulit, lalu keluar dari kamar. Tak ada siapa pun di rumah. Hening. Seperti biasanya sejak Valora tiada. Sejak Wardana hancur perlahan dari dalam.

Jam tangannya menunjukkan pukul 07.45 ketika ia menyalakan motor tua yang selama lima tahun tak pernah disentuh. Suaranya masih kasar, tetapi cukup untuk membawanya ke Basecamp, tempat kenangan masa mudanya, dan kini, tempat tanya yang menunggu jawaban.

Basecamp itu bukan hanya sekadar tempat tongkrongan. Dulu, di masa lalu, itu adalah tempat kepercayaan, persekutuan, dan rencana-rencana besar anak muda yang merasa mereka akan menaklukkan dunia. Kini, bangunannya terlihat tua, cat dinding mengelupas, dan pintu tua itu berderit pelan saat Gavriel mendorongnya.

Suara musik lama menyambutnya. Lagu yang sangat dikenalnya, lagu yang pernah diputar Valora saat mereka pertama kali bertemu.

"Gav!"

Hardi menyambutnya dengan tawa lebar dan pelukan penuh semangat.

"Akhirnya, manusia brandal itu bebas datang juga!"

"Aku tak pernah merasa terkunci," jawab Gavriel pelan, separuh senyum.

"Aku tahu kau sedang bohong." Hardi menepuk pundaknya pelan. "Kau terlihat... berubah."

"Apa hanya aku yang datang?"

Hardi mengangkat botol bir. "Vion nggak bisa datang. Samuel dan Kelvin... ya, kau tahu sendiri. Mereka semua sibuk dengan dunianya masing-masing."

Gavriel hanya mengangguk. Ada sesuatu yang salah. Ia bisa merasakannya. Basecamp ini terlalu sepi. Terlalu… steril.

"Ada yang ingin aku tanyakan, Har." Gavriel menarik kursi, duduk menghadap temannya.

"Lima tahun lalu… malam itu… apa kau datang ke gedung itu?"

Hardi terdiam. Wajah cerianya berubah tegang. "Kenapa tanya hal itu sekarang?"

"Karena aku nggak ingat. Dan aku rasa… aku harus mengingatnya."

Hardi menatap lantai beberapa saat, lalu mengambil rokok dari sakunya dan menyalakannya.

"Aku datang pada malam itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Polisi sudah di sana. Mereka bilang… kau sudah mendorong Valora dari rooftop."

Suara itu seperti palu godam yang menghantam dada Gavriel. Tapi kali ini ia tak memalingkan wajah. Ia menatap langsung mata Hardi.

"Aku tidak yakin aku yang melakukannya."

Hardi mengembuskan asap pelan. "Kadang... luka itu bukan dari tangan kita, Gav. Tapi dari kepala kita."

"Kau seperti menyembunyikan sesuatu."

Hardi tertawa pelan. Tapi tawanya kosong. "Kau kembali bukan untuk reuni, ya?"

Gavriel berdiri. "Aku kembali untuk menagih kebenaran."

***

Setelah Hardi masuk ke dapur untuk mengambil minuman, Gavriel mengelilingi ruangan. Tangannya menyentuh rak buku, meja kayu lapuk, dan... sebuah foto. Bingkai tua berdebu, foto masa muda mereka berlima. Tapi... ada enam orang di dalam foto itu.

Seorang wanita.

Bergaun peach.

Memakai topeng kupu-kupu.

"Miss Ki?"

Foto itu jatuh dari tangannya. Pecah. Potongan kacanya menyayat ujung jari Gavriel. Darah menetes di lantai kayu.

Langkah pelan terdengar dari belakangnya. Suara sepatu hak.

"Sudah ku bilang, banyak yang masuk ke mansion itu, tapi hanya sedikit yang keluar."

Gavriel membalikkan badan. Miss Ki berdiri di sana. Di tengah Basecamp yang nyata. Wajahnya masih tersembunyi di balik topeng butterfly. Tapi tatapannya... ia bisa merasakannya, menusuk kulitnya.

"Aku belum selesai bermain, Gavriel."

Gavriel berdiri mematung. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat. Miss Ki masih berdiri di tengah ruangan, gaun peach-nya mengalir seperti kabut tipis, dan topeng butterfly itu... memancarkan aura tak wajar. Ia tak tahu harus kabur atau menghadapi wanita itu.

"Apa kau nyata...?" lirih Gavriel.

Miss Ki tak menjawab. Ia berjalan perlahan ke arah Gavriel, hak sepatunya berdenting setiap kali menyentuh lantai kayu tua. Suara langkahnya lebih dingin daripada embusan angin malam.

"Aku sudah bilang, bukan?" ucapnya, suara seperti berdesis dalam kepala Gavriel. "Kau belum selesai bermain denganku."

Gavriel melangkah mundur, tapi tubuhnya menabrak meja. Di baliknya, dapur tempat Hardi menghilang... kini gelap gulita.

Sunyi.

Sepi.

Kosong.

"Hardi...?" panggil Gavriel.

Tak ada jawaban. Seolah Basecamp ini tiba-tiba ditinggalkan, seolah seluruh waktu berhenti berjalan.

"Apa kau benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada Valora?" tanya Miss Ki, menyentuh dinding dengan ujung jarinya. Lukisan tua di sebelahnya bergerak, berputar seperti roda dan di baliknya, terbuka lorong sempit yang gelap.

Gavriel menelan ludahnya. "Apa itu?"

"Kebenaran."

"Aku tidak takut padamu."

Miss Ki tersenyum, pelan... seperti pemangsa yang menyambut mangsanya mendekat.

"Kau takut. Tapi bukan padaku. Kau takut pada dirimu sendiri, Gavriel."

Lorong itu berbau tanah lembap dan besi tua. Dinding-dindingnya berlumut, dan setiap langkah Gavriel bergema panjang, seolah ia berjalan ke dalam perut masa lalunya sendiri.

Lampu-lampu redup berkedip-kedip, memberi cahaya samar pada lukisan-lukisan tua yang terpajang di sepanjang lorong. Lukisan wajah-wajah yang dikenalnya.

Valora.

Jevano.

Dirinya sendiri.

Dan banyak lukisan yang belum ia ingat wajahnya.

Tapi bukan wajah-wajah yang menjadi fokusnya.

Melainkan mata dalam lukisan itu. Mata-mata yang mengikutinya. Menatap. Menghakimi.

"Kenapa kau membawa aku ke sini?"

"Karena waktunya sudah dekat." Miss Ki berdiri di ujung lorong. "Kau pikir Valora mati karena kau mendorongnya? Kau pikir segalanya sesederhana itu?"

"Apa maksudmu?"

Miss Ki membuka pintu tua berderit. Di baliknya, tampak sebuah kamar... kamar rumah sakit.

Valora terbaring di ranjang. Masih mengenakan gaun peach. Infus menancap di lengannya. Napasnya pelan, lemah. Namun wajahnya... tenang. Terlalu tenang.

"Apa ini... masa lalu?"

"Bukan. Ini yang sedang terjadi. Sekarang."

Gavriel terpaku. "Tapi... Valora sudah mati..."

"Siapa bilang?" Miss Ki menoleh. "Valora tidak pernah mati. Kau hanya percaya bahwa dia sudah mati."

Gavriel menunduk. Dunia di sekelilingnya berputar. Napasnya tercekat.

"Aku melihat tubuhnya. Aku melihat darahnya. Aku didakwa. Aku dipenjara!"

Miss Ki mendekat, bisikannya menelusup ke dalam telinga Gavriel. "Atau mungkin... kau melihat apa yang ingin dilihat."

***

Gavriel terbangun di dalam kamar rumahnya. Tapi tak seperti tadi pagi, kamar ini berantakan. Jam dinding menunjukkan pukul 00.00. Lagi.

Tangannya gemetar. Ia berjalan ke meja rias, mengamati dirinya di cermin. Wajahnya pucat. Tubuhnya berkeringat. Tapi ada satu hal yang paling mengerikan dari semuanya

Di balik pantulan cermin itu, berdiri Valora.

Tidak seperti pantulan biasa. Ia tidak meniru gerak Gavriel. Ia hanya... berdiri. Menatapnya.

"Lalu siapa yang kau percaya, Mas?" bisiknyabisiknya lembut tapi dingin.

Cermin pecah.

Gelap.

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!