NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:623
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPILOG

Musim telah berganti. Tahun-tahun pun berjalan tanpa terasa, meninggalkan segala kenangan pahit di belakang. Hidup Luna kini jauh berbeda dari dulu. Ia tak lagi menjadi gadis pemalu yang selalu menunduk di tengah keramaian, atau remaja yang mudah gentar oleh tatapan orang lain. Ia tumbuh menjadi sosok perempuan yang tegar, berani, dan berpendirian. Pekerjaan yang ia jalani kini berjalan baik, kehidupannya stabil, dan segala luka masa lalu seakan telah tertutup oleh waktu.

Setiap orang yang mengenalnya akan berkata bahwa Luna adalah contoh sempurna seseorang yang berhasil bangkit dari keterpurukan. Ia pandai, sopan, dan lembut dalam berbicara. Senyum yang dulu jarang muncul, kini menjadi hal yang akrab di wajahnya. Ia belajar memaafkan masa lalunya, belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa diubah, dan bahwa beberapa luka justru membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat seperti sekarang.

Bu Sari dan Pak Rendi menjadi bagian penting dari perjalanan itu. Mereka tidak hanya menjadi penolong di masa sulit, tapi juga keluarga yang mengajarkan arti kasih sayang tanpa syarat. Luna tumbuh di bawah bimbingan mereka, menata hidupnya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Setiap pagi, ia bangun dengan rasa syukur, berterima kasih karena diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup.

Namun di balik semua itu, ada ruang kosong di hatinya yang tak pernah benar-benar terisi. Sesuatu yang tak bisa ia hapus, sekuat apa pun ia mencoba menutupinya. Ruang itu bernama Arga.

Bukan karena ia menyesal meninggalkan masa lalunya yang penuh luka, tapi karena di antara semua penderitaan itu, ada satu cahaya yang dulu selalu menemaninya—dan cahaya itu adalah Arga. Ia baru sadar, setelah semua waktu berlalu, bahwa Arga bukan sekadar teman yang peduli atau seseorang yang menolongnya saat jatuh. Arga adalah bagian dari dirinya yang hilang, potongan kecil dari masa lalu yang justru paling berharga.

Luna sering memutar kembali kenangan mereka di kepalanya—tentang bagaimana Arga selalu ada di saat semua orang menjauh, bagaimana tatapan matanya seolah selalu berkata, “Kamu tidak sendiri.” Ia ingat bagaimana Arga menahan amarah demi membelanya, bagaimana suara itu—yang dulu begitu akrab—kini hanya tinggal gema samar di pikirannya.

Kini, meski dunia Luna telah menjadi lebih terang, ada saat-saat di mana keheningan justru terasa terlalu berat. Saat malam tiba dan ia menatap langit dari jendela kamarnya, ada perasaan hampa yang tak bisa ia jelaskan. Ia sudah memiliki segalanya: keluarga yang baik, pekerjaan yang stabil, kehidupan yang damai. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang kurang.

Bukan karena ia menginginkan kembali ke masa lalu. Tidak. Ia hanya merindukan seseorang yang menjadi bagian dari alasan ia bisa bertahan kala itu. Seseorang yang mungkin kini sudah jauh, entah di mana.

Dan di sanubarinya yang terdalam, Luna tahu—tak peduli sejauh apa pun ia melangkah, secemerlang apa pun hidupnya kini—nama Arga akan selalu tinggal di sana. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang paling lembut dan paling berarti dalam perjalanan hidupnya.

Entah kapan dunia akan berbaik hati mempertemukan mereka kembali. Entah di waktu yang tenang, di tengah keramaian kota, atau mungkin di sebuah tempat yang tak pernah mereka rencanakan. Kadang Luna berpikir, apakah takdir masih menyisakan satu pertemuan untuk mereka berdua? Apakah jalan hidup yang kini mereka tempuh masih mungkin bersinggungan seperti dulu—saat segala hal terasa sederhana, sebelum waktu dan keadaan memisahkan segalanya.

Ia tak tahu bagaimana kabar Arga kini. Apakah ia baik-baik saja? Apakah hidupnya sudah bahagia bersama seseorang yang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah menemukan jawaban, hanya bergema pelan di sudut hatinya yang paling sunyi. Dan yang paling menyesakkan adalah, Luna tak tahu apakah Arga masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Entah itu cinta, entah itu kasih, atau sekadar kenangan yang pernah berarti.

Namun satu hal yang tak bisa ia pungkiri—betapa pun ia berusaha mengalihkan pikirannya pada hal lain, nama itu selalu muncul di sela-sela kesibukannya. Saat ia menatap hujan dari balik jendela, saat ia berjalan sendirian melewati jalan yang penuh lampu kota, bahkan ketika ia tertawa bersama teman-temannya—ada bagian kecil di dalam dirinya yang masih memikirkan Arga.

Bukan karena ia belum bisa melupakan, tapi karena ada sesuatu dalam diri Arga yang terlalu dalam untuk dihapus begitu saja. Seolah sebagian jiwanya masih tertinggal di masa lalu, di tempat di mana Arga pernah berdiri di sisinya, menjadi satu-satunya orang yang percaya padanya saat dunia seolah menentang.

Dan mungkin, pikirnya kadang kala, jika takdir memang berputar dengan caranya sendiri—mungkin suatu hari nanti, tanpa diduga, semesta akan mempertemukan mereka lagi. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk menyelesaikan sesuatu yang belum sempat mereka katakan.

Luna kemudian beringsut turun dari mobil, langkahnya pelan namun pasti, seolah setiap hembusan angin sore di halaman rumah itu membawa kembali kenangan yang telah lama ia kubur. Perjalanan dari kota memakan waktu berjam-jam, namun rasa lelahnya bukan berasal dari jauhnya jarak—melainkan dari beratnya harapan yang ia bawa pulang. Harapan untuk sekadar menemukan sosok yang selama ini menghantui pikirannya tak menemukan hasilnya.

"Sayang, kamu sudah pulang." Sambut Bu Sari sambil menuntun anak semata wayangnya itu masuk ke dalam rumah. "Bapak mengkhawatirkan kamu, Nak."

Begitu Luna melangkah masuk ke dalam rumah, aroma hangat masakan rumahan langsung menyambutnya. "Maafin Luna ya, Bu. Setelah bekerja, mengunjungi sekolah dan pulang dari makam, Luna tadi ke toko Indah dulu." Jelas Luna sambil melangkah terus berlanjut ke ruang makan.

“Luna, akhirnya pulang juga,” Ucapnya dengan suara berat namun lembut, suara yang selalu berhasil membuat suasana menjadi tenang. Ia menepuk kursi di sebelahnya, memberi isyarat agar Luna duduk.

Luna tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan lelah dan kecewa di matanya. Ia berjalan pelan menuju meja makan, menaruh tas di kursi sebelah sebelum duduk. Meja itu tertata rapi—ada sepiring nasi hangat, sayur bening, dan sambal kesukaannya. Semua tampak sederhana, tapi penuh perhatian.

“Capek ya, perjalanan dari kota?” Tanya Pak Rendi sambil menuangkan air putih ke gelas di depan Luna.

“Lumayan, Pak…” Jawab Luna pelan, menunduk.

"Luna, ada apa? Setelah kamu pulang dari tempat yang sama selalu murung?"

"Enggak kok, Bu." Geleng Luna. "Aku cuma... cuma capek."

"Tunggu sebentar, Ibu tadi buatkan kue untukmu." Bu Sari beranjak dari kursinya.

Luna mengangguk dengan senyuman. Ia tak dapat mengelak kalau kebahagiaannya kini terasa sempurna—seolah semua luka, penantian, dan air mata yang pernah menemaninya dulu kini terbayar lunas. Ada kedamaian yang menyelimuti hatinya, lembut dan hangat, seperti sinar matahari sore yang menembus jendela, menenangkan setiap sisi dirinya yang dulu pernah rapuh. Namun sungguh, kebahagiaan itu belum sempurna. Karena ada sisi yang rapuh dan hilang oleh rasa sesal dan rasa bersalah dalam dirinya. Satu nama terpatri apik di ruang bilik hatinya. Arga.

_TAMAT_

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!