Luna tak pernah bermimpi bekerja di dunia hiburan, ia dipaksa pamannya menjadi manajer di perusahaan entertainment ternama.
Ia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, menaati aturan terpenting dalam kontraknya. Larangan menjalin hubungan dengan artis.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Elio, sang visual boy group yang memesona tapi kesepian.
Perlahan, Luna terjebak dalam perasaan yang justru menghidupkan kembali kutukan keluarganya. Kejadian aneh mulai menimpa Elio, seolah cinta mereka memanggil nasib buruk.
Di saat yang sama, Rey teman grup Elio juga diam-diam mencintai Luna. Ia justru membawa keberuntungan bagi gadis itu.
Antara cinta yang terlarang dan takdir yang mengutuknya, Luna harus memilih melawan kutukan atau
menyelamatkan orang yang ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Menyukaimu
Elio menatap Ana dengan sopan. “Tante, saya izin membawa Luna keluar sebentar,” ucapnya.
Ana menatap mereka bergantian. Wajahnya yang ramah, kini sedikit berubah. Ada nada protektif seorang ibu yang tak bisa disembunyikan. Namun akhirnya, ia mengangguk pelan.
“Baiklah. Jangan pulang terlalu malam, ya,” katanya singkat.
Luna mengangguk cepat, tersenyum menenangkan ibunya. Mereka pun pamit.
Elio berjalan mendahului, membukakan pintu mobil untuk Luna. Begitu Luna duduk, ia menatapnya cukup lama.
“Kau cantik sekali,” bisik Elio.
Luna menunduk, wajahnya memerah. Mobil mulai melaju, dan setelah beberapa saat, Elio berdehem kecil. “Jadi kita cuma teman, ya?” suaranya terdengar lirih.
Luna menoleh, “Maaf, aku tidak ingin Mama tahu dulu,” ujarnya. Ia menunduk, jemarinya meremas ujung tas di pangkuannya.
Luna lalu menoleh ke arah Elio, "Kau sadar kan, apa yang kita jalani ini penuh risiko.”
Elio tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, menggenggam stirnya dan fokus menatap jalanan didepannya. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa ucapan Luna memang tidak salah.
Elio membelokkan mobilnya ke area drive-in theater. Ia sempat memesan makanan ringan, lalu memarkirkan mobil di tempat yang cukup dekat dengan layar besar di depan.
Pantulan cahaya film berpendar di kaca mobil. Luna menatap ke depan dengan takjub.
“Wah, aku baru pertama kali menonton bioskop seperti ini,” ucapnya kagum.
Elio menoleh dengan senyum kecil. “Maaf ya, aku cuma bisa mengajakmu ke sini.”
Luna tertawa pelan. “Yah, ini malah lebih aman.”
Tak lama kemudian, film mulai diputar. Namun, alih-alih film drama ringan seperti dugaan Luna, layar menampilkan adegan dark romance yang intens.
“Ah… aku lupa,” sela Elio sambil menepuk jidat.
“Ada apa?” tanya Luna.
“Aku lupa menanyakanmu mau nonton film apa. Aku asal beli tiket,” jawabnya jujur.
Luna terkekeh. “Yah, setidaknya kita tidak menonton film horor.”
Mereka pun menonton sambil mengemil dan menyeruput minuman dingin.
Disaat adegan mulai panas. Sontak mereka bersamaan menutup matanya dengan tangan masing-masing.
"Ah apa ini." Jerit Luna. "Kau beneran tidak sengaja membeli tiket untuk film ini kan?" Tanyanya.
"Tentu saja tidak. Aku bahkan tak tahu akan begini." Kata Elio sambil menutup mukanya malu.
Mereka lalu tertawa. "Setidaknya usia kita sudah legal untuk melihat ini." Ucap Elio seolah mencari pembenaran.
Luna masih mengintip disela jarinya, disaat adegan dilayar itu kembali normal, ia membuka tangannya kembali. "Akhirnya." Gumamnya.
Elio masih membenamkan wajah dilipatan tangannya di atas setir. Bahunya tampak bergetar menahan tawa.
Luna menepuk bahu Elio, "Kalau mau tertawa, ya tertawa saja." Seru Luna.
"Itu hanya film romantis, kenapa kau mengintip seperti itu seperti melihat hantu." Ujar Elio.
"Gara-gara siapa ini?" Kata Luna sambil memukul pelan lengan Elio.
Elio sigap menangkap tangannya, lalu mengecupnya lembut. Luna memalingkan mukanya karena malu.
"Sayang." Bisik elio memandang teduh arah luna.
"Hmm." Balas luna.
"Apa kau mencintaiku?" Tanya Elio tiba-tiba.
"Ke..kenapa kau menanyakan itu?" tanya Luna tergagap.
Elio meletakkan tangan Luna dipipinya. "Aku hanya ingin tahu."
Luna memandangnya sejenak, "Apa kau kepikiran karena aku mengakuimu sebagai teman?"
Elio mengeleng, "Kau tahu, fans ku selalu mengatakan kalau mereka mencintaiku. Aku membayangkan mendengar itu juga dari orang yang aku cintai."
Luna menunduk, "Apa-apaan itu. Dia sangat tahu cara membuat hatiku kacau." batinnya.
Namun Luna tidak tahu harus bersikap seperti apa. "Apakah aku harus mengakui bahwa aku juga mencintainya?, Ah itu sangat memalukan." Pikir Luna lagi.
Hening sejenak, Elio berdehem canggung.
"Maaf, aku membuat suasana menjadi tak nyaman. Jadi lupakan saja." Ucapnya sambil mengalihkan pandangannya lagi ke layar depan mereka.
Luna jadi tak ingin mematahkan semangat Elio. Lalu ia memberanikan diri, "Aku juga menyukaimu Elio," Ucap Luna akhirnya.
Elio refleks menoleh ke wajah Luna dan menatapnya tercengang. Wajahnya memerah di bawah cahaya layar.
“Aku malu banget,” ucapnya lirih.
“Seharusnya yang malu itu aku,” balas Luna cepat.
Lalu dengan jahil, Luna menempelkan cup soda dingin ke pipi Elio.
Sontak Elio terlonjak, “H-hei! Dingin!”
“Mukamu seperti tomat,” ucap Luna sambil tertawa meledek.
***
Di sisi lain, di dorm.Rey melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Ia tampak gelisah, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya.
“Kau kenapa?” tanya Adrian tanpa menoleh, masih sibuk dengan game di ponselnya. Tapi dari nada suaranya, jelas ia sudah memperhatikan perubahan ekspresi Rey sejak tadi.
“Dua anak itu belum pulang,” gumam Rey akhirnya.
Adrian berhenti bermain, menatap Rey sekilas. “Dua anak? Siapa?”
Rey menghela napas pelan. “Si tikus putih dan si cerewet kecil itu.”
Adrian langsung paham, “Oh... Elio dan Luna.”
Rey hanya mengangguk, pandangannya beralih ke arah pintu dorm yang masih tertutup. “Aku khawatir, jangan-jangan mereka kenapa-kenapa di luar.”
Tepat saat itu, Marcel masuk sambil membawa beberapa kotak makanan. “Hei, kenapa pada muram begini?”
Rey segera menoleh. “Kak, Elio dan Luna belum pulang.”
Marcel membuka kotak itu santai. “Luna tadi izin ke kampus lalu pulang ke rumahnya.”
“Lalu si tikus putih?” tanya Rey cepat.
“Elio juga izin pulang,” jawab Marcel dengan nada datar.
Rey menyipitkan mata. “Mereka kompak sekali, ya.”
Adrian terkekeh, “Jangan-jangan mereka berkencan.”
Marcel hanya tersenyum tipis tanpa menimpali, sementara Rey mendengus pelan.
“Kalau itu memang benar, tikus putih itu benar-benar cari mati.”