Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Damar menyesap kopinya perlahan, aroma pahit itu menyatu dengan ketegangan yang sejak tadi menempel di wajahnya. Tatapannya tidak lepas dari Zein yang duduk di hadapannya.
“Menurutmu,” Damar memulai dengan suara rendah, “seberapa persen kemungkinan kita bisa memindahkan perawatan itu? Saya ingin segera membawanya pergi dari tempat itu.”
Zein membuka berkas di pangkuannya, lalu menjawab mantap, “Sembilan puluh persen, Pak. Semua dokumen sudah sesuai prosedur. Rumah sakit seharusnya tidak punya alasan untuk menolak.”
Damar mengangguk tipis. “Bagus… tapi dokter penanggung jawabnya itu..”
Ia mendecak pelan. “...seperti sengaja ingin mempersulit.”
“Tenang saja, Pak Damar.” Zein tersenyum diplomatis. “Selama semua persyaratan lengkap, dokter itu tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya tinggal menunggu proses administrasi berjalan.”
“Ck.” Damar menaruh cangkirnya sedikit terlalu keras. “Saya benci menunggu.”
Zein menahan senyum. Ia sudah lama bekerja untuk banyak orang besar, tetapi pria dihadapannya ini, 'Damar Keenan Valeo' berbeda. Pengusaha muda berpengaruh, wajah tampan yang sering menghias majalah bisnis, pewaris salah satu keluarga konglomerat terbesar. Biasanya orang seperti dia tinggal menunjuk siapa pun yang ia mau, dan dunia akan mengikutinya.
Namun kini, ia justru mengejar seorang gadis dengan kondisi mental tidak stabil. Gadis sederhana, tidak punya latar belakang istimewa, tidak memiliki apa pun selain tatapan kosong dan masa lalu yang tidak seorangpun tahu.
Tidak masuk akal, setidaknya bagi logika manusia normal.
Zein memberanikan diri bertanya, “Pak Damar… kalau boleh tahu, saya penasaran. Kenapa Anda begitu menginginkan gadis itu? Anda bahkan rela mengeluarkan biaya besar untuk semua ini.”
Damar tertawa kecil, rendah, tetapi ada sesuatu yang kelam di baliknya.
“Apakah Anda akan percaya kalau saya katakan yang sebenarnya?”
“Mengapa tidak?” jawab Zein.
Damar mencondongkan tubuh, suara nyaris berbisik.
“Saya menyukainya sejak pertama kali melihatnya. Ada sesuatu di sorot matanya… kecantikan yang tidak bisa dijelaskan. Semacam… panggilan.”
Ia menatap keluar jendela sejenak, lalu melanjutkan, “Kalau dia sembuh… saya akan menikahinya. Dan anda..” ia menunjuk Zein ringan, “...akan jadi orang pertama yang saya undang.”
Zein terdiam beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum sopan.
“Terima kasih, Pak Damar. Itu suatu kehormatan.”
“Besok saya akan datang lagi ke rumah sakit,” ucap Damar, tegas. “Kali ini saya ingin menemuinya.”
“Apa Anda ingin saya ikut menemani?”
Damar menggeleng. “Tidak perlu. Saya saja.”
“Baiklah. Kalau begitu, jika tidak ada lagi yang harus dibahas, saya pamit dulu.”
“Silakan.”
Zein berdiri, menata jasnya, lalu menunduk hormat.
“Hubungi saya kapan pun jika Anda membutuhkan bantuan lagi.”
Damar hanya mengangguk tanpa ekspresi.
Begitu pintu menutup di belakang Zein, ia kembali menatap cangkir kopi yang hampir kosong.
Tatapan itu berubah menjadi kilatan tekad.
Apa pun taruhannya… Miranda akan menjadi miliknya.
......................
Sementara itu di rumah sakit, Jodi sedang memeriksa pasien lain ketika sebuah gerakan di luar jendela menarik perhatiannya. Secara refleks ia menoleh, dan tubuhnya menegang.
Di halaman samping, Miranda terlihat berjalan sendirian. Langkahnya pelan, tatapannya kosong, seolah ia berada di dunia lain. Tidak ada suster pendamping di dekatnya.
Kening Jodi langsung berkerut dalam-dalam.
“Apa-apaan ini?” pikirnya cepat.
“Kemana suster Risa? Kenapa Miranda dibiarkan keluar sendirian?”
Rasa cemas seketika menjalar di punggungnya, membuat detak jantungnya berubah ritme.
Berusaha tetap tenang di depan pasiennya, Jodi melangkah keluar ruangan. Di koridor, ia mendapati seorang suster muda yang baru saja selesai merapikan troli obat.
“Suster, semua sudah bereskan?” tanya Jodi, suaranya terdengar stabil namun tegang di ujungnya.
Suster itu menoleh cepat. “Sudah, Dok. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ada.” Jodi mengeraskan rahangnya. “Di mana suster Risa? Dan kenapa Miranda berjalan sendirian di halaman tanpa pendamping?”
Wajah suster itu langsung pucat. “Apa? Miranda… keluar, Dok?”
“Iya.” Jawab Jodi dingin. “Dan saya ingin tahu kenapa hal itu bisa terjadi.”
Suster itu menelan ludah, panik mulai merayap ke sorot matanya. “Saya… saya kira Miranda masih di kamarnya, Dok. Terakhir saya lihat, suster Risa yang…”
“Panggil suster Risa sekarang,” potong Jodi. “Dan kunci semua akses keluar. Jangan sampai Miranda menghilang lagi.”
Nada suaranya tak lagi menyisakan ruang untuk bantahan. Suster itu buru-buru berlari.
Jodi menarik napas panjang, lalu mempercepat langkah menuju halaman.
“Setidaknya harus ada suster yang mendampinginya kalau Miranda keluar dari kamar,” gerutunya, suara pelan tapi penuh amarah terpendam.
Pikiran Jodi berputar cepat.
Tadi pagi, Miranda bahkan tidak merespons apa pun, menatap kosong, seakan dunia tak lagi menyentuhnya.
Dan sekarang… ia tiba-tiba berjalan-jalan sendirian?
“Astaga!!” desahnya pelan.
“Bagaimana mungkin dia bisa keluar tanpa seorang pun melihat?” gumamnya, kini dengan langkah semakin lebar.
Rasa was was menindih dadanya, membuat napasnya berat.
Miranda bukan tipikal pasien yang bisa dibiarkan sendirian. Tidak dalam kondisi sekarang. Tidak setelah kejadian-kejadian yang belakangan ini sudah terjadi.
Saat mendekati pintu menuju area taman, langkah Jodi langsung melambat. Pandangannya tertuju pada sosok Miranda yang berdiri sendirian di bawah pohon.
Miranda tidak melakukan hal aneh, hanya berdiri diam, menunduk, dan menggesek ujung sepatunya ke tanah seperti seseorang yang gelisah atau tidak tahu harus berbuat apa. Namun tetap saja, pemandangan itu membuat dada Jodi sesak.
“Kenapa dia bisa sendirian begini…” gumamnya, rasa kesal dan khawatir bertabrakan di pikirannya.
Tanpa menunggu, Jodi mempercepat langkahnya, pintu kaca terbuka dengan suara klik pelan.
“Mira!!” panggil Jodi, suaranya keras tapi jelas, nada cemasnya tak bisa ia sembunyikan.
Miranda terangkat sedikit bahunya, menoleh perlahan, tampak bingung seolah baru sadar ada seseorang memanggilnya.
Jodi langsung mendekat, napasnya turun naik.
“Mas Gala!!”
Suara itu pecah begitu saja, tinggi dan penuh lega.
Sebelum Jodi sempat bereaksi, Miranda sudah berlari ke arahnya.. begitu cepat, begitu putus asa, lalu bruk… tubuhnya menabrak dada Jodi dan memeluknya erat seolah takut ia akan hilang lagi.
Deg.
Jodi terpaku. Ada hentakan aneh di dadanya, campuran antara terkejut, khawatir… dan entah kenapa, sedikit hangat.
“Mas Gala… akhirnya kamu datang…” suara Miranda pecah di bahunya. “Mira tahu… Mira tahu kamu pasti datang…”
Pelukan itu semakin erat. Miranda menenggelamkan wajahnya di dada Jodi.
Lalu tiba-tiba, seolah semua emosi yang ia tekan selama ini pecah, Miranda menangis keras.
“Kamu jahat!!” serunya lirih namun menyayat. “Kenapa aku, Mas? Kenapa harus aku? Kenapa aku yang diperlakukan seperti itu?”
Tangannya mengepal dan memukul-mukul dada Jodi, kecil, panik, bukan menyakiti… lebih seperti seseorang yang putus asa ingin didengar.
Jodi tak bergerak.
Tak sanggup.
Ada sesuatu yang menyeret hatinya saat perempuan itu memeluknya begitu penuh percaya… tapi sekaligus menamparnya dengan kenyataan.
Miranda tidak melihat dirinya.
Miranda tidak memeluk Jodi.
Dia memeluk Gala, seseorang dari masa lalunya, seseorang yang bukan dirinya.
Jodi menutup mata sejenak, menenangkan diri dari kekacauan emosinya sendiri… sebelum akhirnya ia mengangkat tangannya perlahan, berhati-hati, seakan takut membuat Miranda pecah, dan menepuk lembut punggungnya.
“Mira… sudah ya. Jangan menangis lagi, ada saya sekarang” ucap Jodi pelan, kendati hatinya bergetar hebat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Cinta itu aneh, bisa membuat orang waras terlihat gila, dan orang gila terlihat begitu manusiawi.”