Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 3: Pak Baskara
“Selina lo nyari mati namanya!” Tessa mendorong pelan bahu Selina sehingga dia terhuyung ke samping. Selina tidak marah sama sekali, dia malah tersenyum lebar merasa memenangkan sesuatu.
“Malam itu, lo mungkin aja selamat Sel… tapi kan kalo lo unlucky bisa bahaya!” Tessa terus-terusan mencecernya yang diikuti anggukan setuju dari Megan—dia terlalu speechless mendengar fakta bahwa Selina datang ke warung makan bakso dan mie ayam yang ternyata adalah sebuah bar malam tersembunyi.
“Chill, guys. Buktinya gua selamat dalam keadaan utuh. Ah lo harus tahu! Yang punya bar-nya ganteng banget… parah—selera gua,” celetuk Selina dengan semangat sambil membayangkan paras Leonhard malam itu.
“Mau dia selera lu atau apa…terserah. Pokoknya lo jangan ke sana lagi,” tambah Megan menatapnya penuh kekhawatiran. Senyum Selina melembut menenangkan Megan dan Tessa.
Dia berdehem, “Gua ajak kalian aja kali ya biar gak sendirian,” ujar Selina sambil bercanda.
“Lo nyari mati jangan ngajak-ngajak, dong!” tukas Tessa kembali memanas yang membuat Selina tertawa kencang.
“Guys… I said chill. Gua bisa Taekwondo. I know how to fight,” pungkas Selina sambil menunjukkan salah satu gerakan Taekwondo.
Megan memutar matanya, “Kenapa lo gak ngerti sih… you are in danger, Sel,” gumamnya.
Selina memang keras kepala. Dia akan mengejar sesuatu yang dia rasa menjadi tatangan baginya—mau itu bahaya atau tidak, dia akan membuktikannya sendiri.
“Yang kalian takutin apa sih?” tanya Selina yang sebenarnya bingung dengan kekhawatiran kedua temannya itu. Tessa dan Megan sama-sama membuang nafas frustasi.
“Kan gua udah bilang. Di sana tempat kumpulnya geng motor,” jawab Tessa. Suaranya sedikit dikecilkan saat mengucapkan ‘geng motor’.
“Walaupun rumor, ada 80% dari rumor itu benar,” tambah Megan yang ikut berbisik.
Selina mengalihkan pandangannya ke pohon yang rindang, bibirnya sedikit merengut seperti sedang berpikir. Perkataan mereka memang ada benarnya—memang lebih baik berantisipasi dan menghindari itu, tapi bagi Selina yang sudah terlanjur ‘nyemplung’ sangat sayang untuk dilewatkan. Lagipula, dia juga sudah terlanjur penasaran dengan Leonhard. Dia merasa ada sesuatu di bar karena keanehan staff yang dia temui saat itu.
“Gua cuma warning aja ini bukan drama Korea yang tiba-tiba lo jadi main character ya Sel,” ujar Megan. Tapi bukannya terintimidasi, Selina malah makin nyengir.
“Gua rasa ada sesuatu di sana yang harus gua temuin,” nada suaranya merendah, tapi penuh tekad.
Tessa menatapnya lama, kemudian menghela nafas berat. “Lo tuh keres kepala banget, sumpah. Ntar kalo kejebak masalah besar beneran, jangan bilang kita gak ngingetin.”
Selina mengangkat bahunya, lalu meraih tasnya. “Okay. Tapi kalau ternyata gua bener, jangan bilang gua gila.”
Megan dan Tessa saling berpandangan, sama-sama pasrah dengan keputusan Selina. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain mengikuti arus Selina yang keras kepala itu.
“Let’s go! Bentar lagi kelas,” Megan akhirnya menyerah, meraih lengan Selina dan Tessa sambil menariknya jalan.
Mereka meninggalkan Hamlet Bench—bangku panjang tempat nongkrong mahasiswa Sastra Inggris—menuju gedung C untuk mata kuliah Survey of American Literature.
Benar… kelasnya Baskara yang dihindari Selina, tapi sayang dengan berat hati dia harus mengambil kelas itu. Sebenarnya dia tidak punya dendam pribadi, dia hanya malas dengan orang modelan seperti beliau—diam-diam menghanyutkan. Walaupun begitu, dia juga tidak bisa terhindari dari sebutan nama beliau karena Megan dan Tessa sangat mengidolakan seorang Baskara.
Selina menghela nafas pelan saat menyusuri lorong kelas yang sudah penuh dengan mahasiswa lainnya. Dia sama sekali tidak siap untuk berhadapan dengan Baskara.
“Relax. It’s just Pak Baskara,” ujarnya Megan yang mendengar helaan nafas Selina, diikuti dengan Tessa yang mengusap lengannya.
“I know… tapi gua harus berhadapan Baskara itu dua kali dalam seminggu—God, have some mercy on me,” celetuk Selina sedikit membusungkan dada karena tidak bergairah memasuki kelas. Tessa langsung menegakkan punggungnya sambil tertawa kecil.
Pintu kelas sudah setengah terbuka mengartikan mahasiswa lainnya sudah berada di dalam. Selina menoleh singkat pada kedua temannya, senyum tipis mengembang. “Time to act like a normal student.”
Tanpa menunggu jawaban, dia mendorong pintu lebih lebar dan masuk—tidak tahu dalam beberapa menit, dia akan berhadapan dengan sosok yang sama sekali tidak ‘normal’.
Kelas sudah setengah penuh saat mereka masuk. Suasana riuh rendah, beberapa mahasiswa sibuk merapikan laptop, ada yang masih mengobrol menunggu dosen datang. Mereka mengampil kursi barisak ketiga dari belakang—tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang.
“Gila… ramenya, banyak banget ceweknya,” gumamnya melirik sekeliling.
“Believe me. Ini belum seberapa dari semester dua di kelas Labwork General—suaranya cuy asik banget didenger lewat headphone,” ujar Tessa, matanya berbinar mengingat masa itu. Di sampinya, Megan merengek kecil.
“You’re so lucky. Gua gak kebagian kelasnya,” kata Megan sambil pura-pura menangis.
Selina hanya bisa mendengar kehebohan mereka setiap topik ‘Pak Baskara’ muncul. Belum sempat dia membuka mulut, suara berat terdengar.
“Selamat siang, semuanya,” sapa beliau—Pak Baskara. Matanya langsung tertuju pada sumber suara. Dia mendengus pelan. Ternyata benar, pakaiannya selalu rapi, kemeja lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana. Kacamata… dan rambutnya yang tidak ditata. Ransel hitam menggantung di bahu kirinya.
Apa yang membuat mereka tergila-gila dengan dosen ini?
Bahkan, begitu langkahnya memasuki ruangan, beberapa mahasiswi di barisan paling depan langsung merapikan rambutnya dan duduk lebih tegak. Ada juga yang buru-buru membuka catatan, seolah ingin mencari perhatian langsung.
Selina menahan tawa kecil. Ayolah… dia hanya dosen yang kebetulan populer, bukan seorang rockstar.
Baskara meletakkan ranselnya di meja, lalu menyapu pandangannya ke seluruh kelas. Sorot matanya tenang dan tajam secara bersamaan.
“Baik, kita mulai perkuliahan hari ini ya,” ucapnya sambil mengambil laptop dari dalam rasel.
Selina menyenderkan pundaknya dan menghela nafas lagi. Dia terlihat lebih santai karena ini masih minggu pertama yang arti ya perkuliahan belum benar-benar dimulai karena masih membahas silabus untuk satu semester kedepan.
“Di sini… pasti udah ada yang pernah masuk kelas saya, juga pasti ada yang baru sama saya, kan?” tanya Baskara melepas fokus matanya dari layar laptop. Sebagian dari mahasiswa di kelas menjawab serentak.
“Baik. Peraturan kelas saya masih sama—ada dosen yang tidak masalah dengan presensi, tapi saya, di kelas ini presensi kehadiran kalian akan sangat membantu. Jika presensi kehadiran kalian kurang dari 80%, artinya kalian harus ngejar kekosongan itu lewat nilai. Paham?”
“Paham,” jawab mahasiswa serentak.
“Isn’t that… basic information?” bisik Selina kepada Megan.
“It is, but… jangan remehin. Nilai lo bisa diambang kematian,” jawab Megan sambil berbisik juga. Selina mengangguk, matanya masih memperhatikan dosen di depan.
“Untuk yang baru ikut kelas saya… jangan takut, saya gak gigit kok.” Bibirnya sedikit terangkat, sekilas senyum tipis yang entah kenapa langsung membuat beberapa mahasiswi di barisan depan bisik-bisik sambil cekikikan.
“Oh my God… such a millenial,” gumam Selina sambil menunduk karena merasa malu.
Baskara kemudian berjalan menuju papan tulis dan menarik layar projektor. “Kita bahas silabus semester ini,” ujarnya sambil menyambungkan laptop ke layar.
Di layar itu menampilkan table silabus lengkap. Dahi Selina mengernyit, tidak menyangka materinya sebanyak itu. “Kenapa gua ngambil sastra ya?” tanya Selina bercanda dengan Megan dan Tessa.
Tessa tertawa kecil, “Don’t ask me… gua juga mempertanyakan yang sama.”
“Setuju,” ujar Megan—mereka ketawa, menutup mulut mereka untuk mereda suara.
“Bisa kalian lihat, untuk mata kuliah ini saya akan membagi kalian per materi untuk dipresentasikan. Siap-siap untuk menyajikan materi sesuai urutan kalian dan…” kalimatnya terputus, matanya mengeksplorasi mahasiswanya, seperti sedang mengancam. “… berdiskusi setelah presntasi. Jadi siap, ya. Saya tidak suka kelas saya sepi,” tambahnya.
Apanya yang ramah? Ini mah sama aja seperti dosen pada umumnya. Mereka kena santet, kah?
Batin Selina tidak bisa berhenti mengutuknya.
Seketika kelas terdengar riuh, beberapa mahasiswa saling melirik. Selina menoleh sebentar, kemudian matanya kembali pada dosen itu. Kalau boleh jujur, Selina merasakan ada sesuatu dari caranya berbicara—tenang, tidak terburu-buru, dan tegas—yang bikin Selina sedikit menahan tatapannya lebih lama. Kemudian dia menggelengkan pelan kepala untuk menyadarkan pikiran.
“Okay. Siapa KM di kelas ini?” tanya Baskara sambil menepuk kedua tangannya.
Tiba-tiba sorot mata tertuju pada Selina. Apa-paan ini? Betul, Selina memang pernah menjadi KM di beberapa mata kuliah lainnya, tapi… oh rasanya berat sekalj kalau dia juga harus mewakili teman-temannya di kelas Baskara.
Mata Baskara mengikuti gerakan beberapa mahasiswa yang menunjuk Selina. Saat itu juga, dia tertegun. Matanya sedikit memesar dan jantungnya seperti jatuh ke lutut.
Tidak mungkin, kan? Batin Baskara meyakinkan.
“No… guys. Jangan gua, please,” bisik Selina sambil menggelengkan kepalanya. Dia bisa mendengar Megan dan Tessa tertawa kecil.
“Well… it’s going to be fun!” celetuk Tessa.
Baskara berdemen pelan, membersihkan tenggorokannya. “Seems like we already have the class representative,” ujarnya. Nada itu terdengar sedikit mengejek bagi Selina yang berkali-kali berkedip cepat.
“Siapa namamu?” tanya Baskara lagi, matanya turun ke laptop melihat daftar nama kelas.
Selina masih ragu untuk mengajukan diri, tapi teman-temannya banyak memohon kepadanya untuk menjadi KM. Sambil membuang nafas berat, Selina membuka mulut.
“Selina. Selina Lakeisha NPM 17”
Jemari Baskara membeku di atas laptop. Badannya juga kaku untuk digerakkan. Suara yang sama… dan nama yang sama. Dia menelan ludahnya dengan berat. Perlahan, memandang kedepan ke sang pemilik suara itu.
Sial.
Dia… Selina. Gadis yang tiba-tiba muncul di bar miliknya seminggu yang lalu. Apakah identitas Baskara akan terungkap?
Baskara, atau Leonhard—orang yang sama dengan profesi berbeda. Sudah hampir tiga tahun dia berprofesi sebagai dosen profesional, menyembunyikan identitasnya sebagai CEO underground. Bukan penyamaran, hanya ingin mencoba kehidupan ‘normal’ dari dunia yang ‘agak’ kotor sebelumnya.
Tidak ada yang tahu tentang identitas gandanya. Bisa bahaya untuk nama baik dan bisnisnya. Selama ini dia sangat berhati-hati agar tidak ada mahasiswa yang mengetahui keberadaan bar-miliknya—bar yang setiap Kamis malam mengadakan balap motor liar dengan taruhan uang. Namun, dengan keberadaan Selina… dia harus menyusun lagi strategi agar tidak membuatnya curiga.
Baskara berdehem lagi dan mengedipkan matanya. “Okay… Selina..?” Suaranya sedikit bergetar.
Gadis itu menatap matanya langsung. Tatapannya sangat berbeda ketika mereka pertama kalj bertemu—tatapan itu terlihat ketidaksukaan terhadap dirinya.
Hmm… menarik.
“Bisa ke sini sebentar?” perintahnya. Selina mengangkat kedua alis sebelum berjalan santai mendekati, sedangkan Baskara mengalihkan pikirannya dengan memandangi layar laptop yang masih menyala.
Selina semakin mendekat, wangi parfum yang dipakai berbeda dari malam itu.
“Saya butuh kontak kamu. Nanti saya kirimkan file tadi yang berkaitan dengan materi presentasi ke kamu, ya. Tinggal kamu sebar luaskan file-nya ke teman-temanmu,” ujar Baskara sambil tersenyum seperti biasanya. Gadis itu hanya berkomunkasi dengan mata dan anggukan mengerti. Dia benar-benar seperti orang yang berbeda.
Tangannya menuliskan nomor kontak pribadi di kertas yang sudah disediakan. “Baik, pak,” ujarnya sambil tersenyum singkat sebelum kembali ke tempat duduknya. Baskara membuang nafas sambil menyimpan kertas tadi.
Baskara mencabut kabel sambungan ke layar projetor dari laptopnya. Namun, pikirannya masih tertunggal pada sosok Selina. Tadi, tatapan gadis itu… polos, tidak seperti tatapan genit yang diberikannya malam itu. Senyumannya tipis, lebih seperti kepastian untuk dirinya sendiri. Baguslah… biarkan begitu.
Tangannya mengetuk meja dengan ringan, mencoba mengusir pikiran yang mengusiknya. “Ada yang perlu ditanyakan?” tanyanya dengan nada seperti biasa—ceria dan mudah didekati—berusaha menutup celah di antara dua identitas yang ia jalani.
Di bangkunya, Selina menuliskan beberapa catatan seadanya mengenai silabus kelas beliau agar tidak lupa. Walaupun dia sedikit rebel, pendidikan tetap nomor satu. Tapi entah kenapa, dadanya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Seakan rasanya sangat familiar, tapi dia masih belum bisa menjawab itu. Pikirannya masih dengan reaksi Baskara yang sedikit aneh saat dia memperkenalkan diri.
Selina berterima kasih karena diberikan kemampuan observasi yang sangat kuat. Dia bisa melihat gerak-gerik kecil yang dibuat oleh orang sekitarnya, dan… dia bisa merasakan otot tubuh dosen itu sedikit menegang saat dia mendekat.
“Kalau tidak ada… udahan aja ya kelasnya. Kita mulai ke materi minggu depan. Okay… see you, guys!” ucap Baskara, bergegas keluar kelas. Meninggalkan ruang kelas dengan helaan nafas mahasiswa dan perasaan aneh di dada Selina.