1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Rumah Marius
"Antarkan Nyonya ini ke kamar tamu lantai dua. Siapkan air untuk mandi dan makanan. Dia akan beristirahat sebentar sebelum kami berangkat malam nanti."
"Baik, Tuan."
Perempuan tua itu mengangguk, lalu beralih pada Pariyem dengan tatapan yang sedikit merendahkan, karena dia pelayan rumah pejabat tinggi yang terbiasa melayani tamu-tamu penting, sebagian besar tamu Eropa dan bangsawan tinggi pribumi.
Pariyem jelas bukan tamu biasa karena bisa menempati kamar tamu, tapi pakaian lusuhnya membuatnya terlihat seperti rakyat jelata biasa.
"Monggo, Nyai." (Mari, Nyai.)
Pariyem bangkit, membungkuk dalam pada Marius. "Terima kasih, Tuan."
"Istirahat yang cukup, Nyonya. Malam ini akan panjang."
Pariyem mengikuti Sutini melalui lorong panjang dengan lantai marmer yang mengkilap memantulkan cahaya senja.
Dinding-dinding dipenuhi lukisan besar dengan bingkai emas, pemandangan Belanda dengan kincir angin, padang tulip warna-warni, kanal-kanal dengan perahu.
Tapi yang membuat Pariyem berhenti sejenak adalah sebuah foto besar terpajang di dinding kanan. Foto keluarga dalam bingkai kayu gelap berukir mewah.
Seorang pria muda berdiri tegap dengan seragam putih penuh medali. Rambutnya pirang tersisir rapi ke belakang, wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata hijau yang jernih.
Tidak ada jenggot. Tidak ada kumis tebal seperti sekarang. Tidak ada bayangan kesedihan di wajah itu.
Di sampingnya, seorang perempuan cantik dengan gaun putih panjang berenda, rambut pirang disanggul gaya Gibson girl. Raut wajah lembut.
Di depan mereka, dua anak kecil. Bocah laki-laki sekitar lima tahun dengan seragam pelaut kecil. Dan bocah perempuan berusia dua atau tiga tahun dengan gaun putih berenda, rambut pirang ikal.
Keluarga bahagia. Lengkap. Utuh.
Begitu berbeda dengan Marius yang dia lihat tadi—pria dengan wajah lelah, jenggot dan kumis lebat yang menyembunyikan ekspresi, mata yang lebih banyak menyosot sedih.
Pariyem akhirnya mengerti. Pria itu kehilangan separuh hidupnya ketika istrinya meninggal.
"Ayo, Nyai!" Bi Sutini memanggil dengan nada tidak sabar, sudah berdiri di ujung lorong.
Pariyem tergesa mengikuti. Mereka naik tangga marmer dengan pegangan tangan dari besi tempa bermotif daun anggur. Di lantai dua, lorong lebih sempit tapi tetap mewah. Karpet merah tebal membungkam langkah kaki.
Sutini membuka pintu ketiga dari kiri. "Sampean bisa istirahat di sini."
Pariyem melangkah masuk dengan hati-hati, seolah lantai akan pecah jika dia menginjak terlalu keras.
Kamar itu ... luar biasa. Wangi mewah lavender menyambut.
Tidak ada dipan rendah seperti di rumahnya. Yang ada adalah tempat tidur tinggi dengan empat tiang berukir, kasur tebal yang terlihat sangat empuk, seprei putih bersih dengan renda di ujungnya, bantal-bantal besar bertumpuk rapi. Di atasnya, kelambu tipis berwarna putih tergantung anggun.
Lantainya bukan kayu gelap atau tegel seperti rumah Jawa. Ini parket kayu terang yang mengkilap sempurna, sebagian ditutupi karpet bermotif bunga-bunga merah dan emas.
Sebuah lemari besar dari kayu jati dengan ukiran rumit berdiri di sisi kiri. Meja rias dengan cermin oval besar dan kursi berlapis beludru merah di sudut kanan.
Di atas meja, ada sikat rambut dengan pegangan perak dan kotak-kotak kecil berukir yang entah apa isinya.
Jendela besar menghadap taman belakang, tertutup tirai beludru hijau tua yang diikat dengan tali emas.
Cahaya sore masuk melalui celah-celah, menyapu ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat.
Yang paling membuat Pariyem terpesona adalah lukisan di dinding, bukan lukisan Belanda, tapi lukisan perempuan Jawa dengan kebaya dan kain batik, duduk di bawah pohon beringin rindang. Wajahnya cantik, tenang, menatap jauh ke cakrawala.
"Air untuk mandi ada di sana." Sutini menunjuk pintu kecil di sudut kamar.
Pariyem membuka pintu itu dengan penuh rasa ingin tahu. Sebuah ruangan kecil dengan bak mandi keramik putih besar, bukan bak kayu seperti yang biasa dia pakai.
Ada keran kuningan mengkilap yang bisa diputar untuk mengeluarkan air. Di sudut, toilet dengan tempat duduk keramik putih, benda asing yang pernah dia dengar tapi belum pernah lihat langsung.
"Handuk di sana. Sabun juga." Sutini menunjuk rak kayu dengan handuk-handuk putih tebal yang dilipat rapi, dan sebatang sabun wangi impor dari Eropa dengan bungkus kertas bergambar bunga lavender.
Perempuan itu keluar tanpa banyak bicara, menutup pintu dengan tatapan semakin merendahkan.
Pariyem berdiri di tengah kamar, berputar perlahan, mengagumi setiap sudut. “Ini kamar tamu. Untuk tamu biasa. Bukan kamar utama. Tapi sudah semewah ini. Pantas saja banyak perempuan yang rela menjadi gundik Belanda meski dicibir orang banyak.”
Dia duduk di tepi tempat tidur dengan hati-hati. Kasurnya empuk, sangat empuk. Tangannya menyentuh seprei, katun halus yang dingin di kulit.
Dia berbaring sebentar, merasakan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan yang belum pernah dia rasakan seumur hidup.
Langit-langit kamar tinggi, dicat putih bersih dengan ornamen gips di sudut-sudutnya. Lampu gantung kristal kecil menggantung di tengah, belum dinyalakan karena masih sore.
Pariyem bangkit lagi, berjalan ke jendela. Dia membuka tirai sedikit, memandang ke taman belakang yang luas.
Rumput hijau dipangkas rapi. Pohon-pohon besar yang rindang. Ayunan kayu untuk anak-anak. Bangku taman dari besi tempa yang dicat putih.
Di sana, dia melihat Marius bermain dengan anak-anaknya. Mereka berlari-lari, tertawa riang.
Marius mengejar mereka dengan lambat, pura-pura tidak bisa menangkap. Suara tawa anak-anak itu terdengar samar melalui jendela.
Pemandangan yang membuat hati Pariyem mencelos. Ayah dan anak-anaknya. Bermain dengan bebas. Tertawa bersama.
Kapan dia bisa bermain seperti itu dengan Pram?
Ketukan di pintu membuatnya berbalik. Sutini masuk dengan nampan besar. Di atasnya, piring-piring keramik putih dengan gambar bunga biru, gelas kristal berisi air jernih, dan berbagai makanan yang belum pernah dilihat Pariyem.
"Makan." Perempuan itu meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela dengan tatapan yang semakin merendahkan.
Pariyem mendekat dengan ragu. Di piring ada roti putih yang dipotong kotak, diolesi mentega kuning dan selai merah.
Ada juga sepotong daging dengan saus cokelat kental, kentang rebus, dan sayuran hijau yang tidak dia kenali. Di mangkuk kecil ada sup kental berwarna krem dengan potongan roti mengambang di atasnya.
"Suwun, Yu," ucap Pariyem pelan. (Terima kasih, Mbak.)
Sutini mengangguk malas, lalu keluar lagi.
Pariyem duduk di kursi, memandangi makanan di depannya. Perutnya keroncongan setelah menyusui. Tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Roti dengan selai. Dia mengambilnya dengan tangan, menggigit kecil. Manis. Lembut. Sangat berbeda dengan nasi dan sayur yang biasa dia makan. Tapi enak. Sangat enak.
“Kalau tahu begini, aku jadi gundik Belanda saja dulu. Tidak ada mertua kejam,” gumamnya. Tapi kemudian dia terdiam, alis cantiknya berkerut dalam.
“Ahh … tidak. Gundik tidak dinikahi secara agama ataupun negara, itu perzinahan. Dengan Ndoro saya dinikah agama. Sah.”